cerpen : Dalam Diamku Menyimpan Banyuwangi


Catagories lia el muslich ini untuk nyemangatin adek….., diusahakan agar saya isi dengan karya2nya, isinya sih tentang remaja-remaja gitu dech, aku gak paham, tapi ya untuk adek,
kalau bisa dibuat alasan sih, ini sebagai referensi orang tua atau guru atau konseler dan psikolog untuk lebih memahami jiwa-jiwa anak remaja, dimana zamannya sudah begini, dan kemudian bagaimana mengarahkan kepada yang lebih baik. Kita berdoa agar para remaja yang kelak akan menjadi penerus generasi yang ada sekarang, menjadi orang yang lebih baik, cerdas hati dan cerdas fikiran.
ini contoh cerpen buatannya :
Dalam Diamku Menyimpan Banyuwangi
“Selamat malam semua” sapa Faya kepada semua orang yang datang di acara pembukaan restoran milik Ian “Di sini saya dan Ian akan mempersembah-kan sebuah lagu yang kami dedikasikan untuk semua orang yang spesial. Peterpan -Cobalah mengerti” lanjutnya lalu mulai bernyanyi setelah Ian telah memetik gitarnya di kunci A.
Aku takkan pernah berhenti akan terus memahami, masih terus berfikir bila harus memaksa atau berdarah untukmu apa pun itu asal kau mencoba menerimaku. Dan kamu hanya perlu terima dan tak harus memahami dan tak harus berfikir, hanya perlu mengerti aku bernapas untukmu,  jadi cepatlah kau di sini dan mulai menerimaku.
Cobalah mengerti semua ini mencari arti selamanya tak akan berhenti. Ingin kau rasakan rindu ini menjadi satu, biar waktu yang memisahkan……..
            Setelah Faya berhenti bernyanyi, gemuruh tepuk tangan berdatangan dari seluruh sudut ruangan. Ia tersenyum puas melihat itu semua, dan dari ujung matanya ia menangkap senyuman di wajah Ian sang raja pada malam ini. Malam ini adalah malam yang spesial untuk Ian, di malam ini untuk pertama kalinya restoran khas Banyuwangi miliknya secara resmi di buka. Restoran ini adalah bentuk sebuah impian yang baru saja terwujud. Maka wajar saja Ian secara khusus ditemani Faya menyanyikan sebuah lagu yang sangat Ian sukai.
“Fay, tepat jam 9 malam nanti, aku pulang ke Banyuwangi apakah kamu mau ikut aku?” ucap Ian kepada Faya yang sedang tersenyum menikmati tepuk tangan semua orang yang hadir.
“Apa?!” jawabnya dengan nada terkecut. “Kamu nggak kesambet kan? Restoran kamu baru buka dan langsung kamu tinggal balik ke Banyuwangi?” lanjutnya dengan nada penuh ketidak percayaan.
“Ya. aku gila. Aku gila kalau berlama-lamaan meninggalkan Banyu-wangi” kata Ian dengan mimik lucu. “Mau kan?” tanya Ian kepada Faya lagi.
Faya hanya menganguk antusias. Dan menerima tawaran gila dari orang yang gila. Orang gila yang mampu menyeretnya menjadi orang gila juga.
Waktu berjalan dengan sangat cepat hingga jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, sesuai jadwal yang Ian tentukan mereka meninggalkan restoran untuk memulai perjalanan ke kota Banyuwangi dengan mengendari mobil Ian. Faya melirik ke arah Ian yang sibuk mengemudi, dalam hati Faya bersyukur mendapatkan kesempatan yang langka ini.
‘Biarlah aku ikut larut dalam kegilaanmu, karena bagiku kegilaanmu adalah mukjizat. Biarlah aku mengambil kesempatan yang langka ini, biarkan aku untuk masuk dalam kehidupanmu yang sebenarnya. Kehidupanmu yang aku harap akan menjadi kehidupanku juga. Mungkinkah….?’
Tepat pukul satu dini hari mobil Ian berhenti disebuah rumah yang sederhana namun nampak Asri karena banyak tanaman yang menghiasi. Setelah berhasil memarkirkan mobilnya, Ian mengajak Faya untuk memasuki rumah dan mengenalkannya pada Ayah dan Ibunya yang ternyata belum terlelap.
“Mari ibu antar kamu ke kamar. Sepertinya kamu sangat kecapean” tutur Ibu Ian kepada Faya lalu mengantarkannya di sebuah kamar tamu. “Sebaiknya kamu istirahat dulu. Selamat malam” kata Ibu setelah sampai di sebuah kamar.
“Terima kasih” ucap Faya tulus kepada ibu Ian. Setelah Ibu Ian menganguk dan keluar dari kamar Faya baru menyadari bahwa ia tidak membawa baju ganti satupun. Dengan menghembuskan napas penuh kepasrahan Faya membaringkan tubuhnya ke kasur dan tidur hingga terlelap.
Tepat pukul 6 pagi Faya terbangun dari tidurnya yang nyenyak, Faya merasa tidurnya kali ini adalah tidur yang paling menyenangkan. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang telah lama tertutup oleh keterpura-puraan. Cahaya matanya bersinar cerah ketika cahaya sang surya mengintip melalui cendela.
Ttoook..tttooookkk…
Terdengar suara ketukan pintu. Dengan cepat Faya membuka pintu kamar, namun setelah pintu itu terbuka Faya buru-buru menutupnya, rasa malu tiba-tiba menyeruak ke permukaan, ia mendapati pipinya padam karenanya. “Fay, udah ditunggu di ruang makan. mari makan sama-sama” ujar seorang yang mengetuk pintu.
“Iya, sebentar” jawab Faya dari balik pintu. Faya menyalahkan dirinya sendiri yang telah lancang membuat mereka menunggu padahal ia hanya tamu. Ia juga menyalahkan dirinya yang tidak tahu malu keluar dan menemui seseorang dengan wajah bau bantal dan dengan penampilan yang berantakan lengkap dengan dress yang ia gunakan kemarin.
Tanpa buang-buang waktu Faya langsung ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuh. Setelah selesai ia terpaksa memakai dressnya yang sama, tidak lupa ia menyisir rambutnya yang panjang sebahu dan membiarkannya tergerai. Dengan senyum mengembang ia menuruni tangga dan menemui orang-orang yang telah menunggunya.
“Maaf telah menunggu, tadi saya bangun kesiangan” kata Faya dengan penuh permohonan maaf.
“Tidak apa-apa, kita memaklumi” ujar bu Bambang dengan nada penuh maklum namun menambah rasa tidak enak Faya.
“Mari-mari makan” ucap pak Bambang mempersilahkan makan dan menghilangkan suasana yang menjadi sedikit tegang.
Pagi itu adalah pagi pertama Faya di kota Banyuwangi. Ia merasa sangat senang bisa menginjakkan kaki di kota kebanggaan seseorang yang ia kagumi. Dengan ragu-ragu ia melirik ke arah orang itu, dia nampak sedang menikmati makan paginya, Faya pun merasa berselera memakan menu yang ada walaupun menu pagi ini adalah sayur kangkung dan ia paling tidak menyukai sayuran itu.
“Yan, bisa anterin aku ke toko baju?” ujar Faya kepada Ian setelah acara makan pagi selesai.
Ian menatap penampilan Faya dari atas sampai bawah lalu ia nyengir kuda seakan tahu masalah yang dihadapi Faya. “Oke” jawabnya.
Faya ditemani Ian pergi ke toko baju dengan menggunakan motor tua milik Ayah Ian. Baru kali ini Faya mengendari motor orbitan tahun 80’an seperti ini, tapi ia merasa senang dapat merasakan kesempatan yang langka ini apa lagi dengan orang yang membuatnya merasa selalu tidak menentu.
Motor Ian berhenti disebuah pasar, kening Faya berkerut meminta penjelasan. Bukan pasar yang ia minta tapi sebuah toko. Ia tidak pernah membeli pakaian disebuah pasar. “Yan..?” gumam Faya meminta penjelasan namun Ian hanya tersenyum entah apa artinya lalu menggiring Faya untuk memasuki pasar dan mencari baju yang sesuai dengan Faya.
Hampir satu jam mereka berkeliling pasar, ternyata pasar tidak seburuk apa yang Faya bayangkan. Setelah mendapatkan semuanya, mereka langsung kembali pulang namun takdir menahan mereka karena tiba-tiba hujan turun di tanah Banyuwangi.
Faya menatap hujan yang sedang turun, ia sangat menyukai hujan karena hujan telah mempertemukannya dengan seseorang yang spesial. Melalui hujan ia berharap perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan, namun pada kenyataannya perasaannya tidak akan terbalas. Faya menyadari bahwa dirinya siapa. ‘Lewat hujan aku sampaikan salam sayangku untuknya, karena aku masih di sini, berharap ada mukjizat datang dalam kehidupanku’.
Hari selanjutnya…
Faya terduduk di pinggir sungai yang jernih. Sungai ini berbeda sekali dengan sungai yang ada di Surabaya, mungkin karena di sini masih jauh dari polusi. Tiba-tiba saja dongeng tentang legenda Banyuwangi memenuhi otaknya. Seorang putri yang rela menceburkan dirinya ke dalam sungai untuk membukti-kan kebenaran dan kesetiaannya kepada raja, setelah putri itu meninggal barulah kebenaran terungkap dan air di dalam sungai itu menjadi harum karena kesucian sang putri.
Pertanyaan ‘apakah ia juga akan bersikap seperti putri itu yang rela melakukan apa pun untuk cinta?’ bersarang di otak Faya. Faya menggeleng-gelengkan kepalanya dan jawabannya ‘Tidak!’ ia bukan putri. Ia akan melakukan sesuatu yang tidak merugikannya demi kebenaran, kesetiaan dan cinta, ia bukan pecinta yang rela mati demi cinta, cinta itu penting namun realita harus tetap beriringan. ‘Ian, maafkan aku yang tidak pernah ingin menyerahkan nyawaku untukmu. Aku mengagumimu, menyukaimu, dan mencintaimu, namun aku memilih mencintai-mu melalui cara-caraku yang realistis’.
Hari selanjutnya…
Dengan ditemani oleh Syifa adik Ian, Faya memilih menghabiskan waktunya untuk melukis ditengah-tengah sawah. Sejak SMA ia bermimpi untuk bisa melukis ditengah-tengah sawah yang hijau nan indah, dan baru sekaranglah ia bisa melaksanakannya, seandainya saja Surabaya masih mempunyai sawah.
Sebelum cat minyak menyentuh kanvas yang putih Faya memilih untuk membuat sketsa terlebih dahulu. Ia ingin melukis alam sawah yang hijau nan indah, nyanyian burung-burung yang nyaring menemaninya dalam pembuatan lukisan. ‘Alam ini memang Indah, banyak obyek yang bisa aku lukis di sini namun hanya ada satu obyek yang menjadi pusat semua obyek, yaitu kamu Ian. Sadarkah kau aku menyukaimu dan sangat ingin menjadi bagian dari alam ini bersamamu?’.
Hari selanjutnya….
Faya menatap birunya pantai, ia merasa bahagia bisa melihat pantai karena pantai selalu bisa membuatnya merasa tenang, melalui ombaknya yang meliuk-liuk seakan menyapu semua kerisauan hatinya, melalui anginnya seakan memberi energi baru yang lebih menyehatkan.
Faya menatap seseorang yang membawanya ke pantai. Ia nampak begitu menikmati panorama yang ada di hadapannya. Tidak terasa Faya tersenyum ketika seseorang itu juga tersenyum. Faya mengagumi senyuman itu, senyuman yang selalu ia kagumi dan semoga selanjutnya akan tetap ia kagumi, meski senyuman itu tidak pernah hadir karenanya.
“Aku pernah membayangkan suatu hari nanti aku bisa membawa seseorang yang spesial ke tempat ini, dan yah… keinginanku terwujud juga, meskipun seperti itu aku tidak tahu apakah dia juga pernah mengharapkan seperti itu” Ian berhenti sejenak untuk mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan. “Mengagumi seseorang memang sangat menyenangkan” lanjutnya dengan suara lirih sambil tersenyum penuh makna.
Mendengar hal itu Faya terdiam untuk sejenak. “Menyenangkan jika orang itu membalasnya” timpal Faya sambil menatap Ian. “Kamu tahu? Mengagumi seseorang berarti berhadapaan pada 2 kenyataan, kekaguman itu akan terbalas lalu kita akan senang dan pilihan yang lain yaitu kekaguman itu tidak terbalas akhirnya hati kita hancur” kataku menunjukkan realita yang ada.
“Yah… kamu benar. Apa kamu pernah mengagumi seseorang?” tanya Ian yang berhasil membuat Faya menelan ludah dengan getir.
“Iya. Aku pernah mengagumi seseorang dan sampai sekarang pun aku masih mengaguminya. Tapi…” kata Faya menggantung namun akhirnya ia mengangkat bahu sebagai kata ‘lupakan saja’.
‘Yah, aku pernah mengagumi seseorang sampai sekarang pun aku masih terus mengaguminya. Seseorang yang ada di sampingku sekarang. Aku mengaguminya secara diam-diam. Karena kediamanku, aku menginginkan dia juga mengagumiku, yah… itu hanya khayalanku karena ia telah mengagumi orang lain. Kamu tahu? Aku sangat ingin kamu membalas kekagumanku walaupun hanya di dalam khayalanku’.
Hari selanjutnya….
Faya berjalan sendirian ke sebuah pasar, melalui petunjuk yang diberikan bu Bambang, ia ingin menikmati damainya kota Banyuwangi seorang diri. Cuaca yang sangat cerah seakan mendukung setiap langkah kakinya. Ia menjumpai lahan sawah yang luas dan hijau, ia menyukai suasana di sini jika boleh ia meminta ia ingin sekali menetap di sini. Ditemani sawah yang hijau, ditemani suasana yang damai, ditemani seseorang yang mempunyai hijau dan damainya desa ini, ‘Ian, apakah kau mau memintaku untuk tetap tinggal di sini?’ sambil tersenyum nakal dan menggeleng-gelengkan kepala Faya menghapus semua bayang-bayang itu, karena itu akan menyakitinya.
 ‘Yah, Banyuwangi tempat yang indah, alamnya indah, udaranya indah, makhluknya juga indah. Seperti kamu, IAN. Bisakah sesuatu yang indah itu menghiasi hatiku? Melengkapi semua yang ada pada diriku?Mewarnai hari dan memenuhi relung-relung jiwa ini? Walaupun hanya di dalam mimpi indahku’
Hari selanjutnya….
Kaki Faya tiba-tiba melemas melihat pemandangan yang begitu indah namun sangat menyakitkan. Mata Faya mulai memerah melihat itu, tanpa sadar ia menutup mulut dengan tangannya agar suara tangis tidak terdengar siapapun. ‘Aku merasa berada di ujung perjalanan cintaku’ ucap Faya dengan pilu.
Faya mencoba melihat pemandangan yang ada di depannya. Ian sedang bersama dengan Ivani, gadis yang tanpa sengaja ia kenal melalui Syifa, adik Ian. Mereka saling bertukar senyum dan berpandangan mesra, tangan mereka bersentuhan dan mereka saling menggenggam layaknya sepasang kekasih. Faya mencoba menyeka air matanya. Ian dan Ivani, mereka sangat cocok.
‘Aku menangis bukan karena melihatmu dengannnya. Aku menangis bukan menyesali mengapa aku yang menjadi saksi. Aku menangis bukan karena cintaku benar-benar bertepuk sebelah tangan.Namun aku menangis karena aku harus pergi, karena aku harus merelakan cintaku kepadamu tumbuh dan bahagia tidak bersama ragaku’.
Hari selanjutnya…..
Faya menatap langit yang berwarna orange keemasan, sangat indah. Langit seperti memberikan tenaga baru untuk memulai semuanya dari awal. Ia menarik napas perlahan dan menghembuskannya dengan lega, sore ini adalah sore terakhirnya di Banyuwangi. Ada perasaan sesal di hatinya karena menginjak tanah Banyuwangi namun ia segera menepis rasa sesal itu. Rasa sesal tidak akan membuahkan apa-apa. Ini pilihannya dan ia harus bertanggung jawab apapun konsekuensinya.
“Mau kopi?” terdengar suara cowok menghampiri Faya, dengan cepat ia mengenali suara itu, suara berat nan merdu itu berbulan-bulan dan bertahun-tahun telah memenuhi indra pendengarannya. Faya mendongakkan kepalanya ke atas, ia mendapati Ian sedang tersenyum kepadanya sambil menyerahkan secangkir kopi panas. Faya menerima kopi tersebut dan membalas senyumannya.
“Kalau aku lagi sedih, kalau aku lagi bete, kalau aku lagi stres, kalau aku lagi kacau, aku selalu menumpahkan semua itu kepada kopi. Dengan caffeinnya selalu berhasil membuatku lega. Dengan panasnya selalu berhasil meruntuhkan segala keburukan. Dengan hitamnya selalu berhasil membuat semuanya menjadi lebih terlihat” kata Ian sambil menatap langit yang mulai mengeluarkan air.
“Aku menyukai kopi, karena kopi selalu bisa memberi rasa yang berbeda. Aku menyukai kopi seperti halnya aku menyukai seorang gadis. Aku menyukai gadis yang luar biasa di tengah kehitamannya. Aku menyukai gadis itu entah apa, mengapa, dan bagaimana. Mungkin.. Aku menyukainya karena aku menyukai kopi, kopi yang mengajarkanku mencintainya” lanjutnya dengan nada yang penuh dengan ketulusan.
Mendengarkan perkataan Ian membuat Faya semakin menunduk dan menatap kopi yang ada ditangannya. Ia sangat merasa iri dengan gadis itu, gadis yang beruntung namun sayang ia tidak seberuntung gadis itu. Faya memberanikan diri untuk menatap Ian, dari penglihatannya ia bisa merasakan kecintaannya kepada gadis itu yang teramat dalam, kecintaannya terhadap Ivani, gadis banyuwangi yang ramah, cantik, dan baik hati.
Titik-titik air mulai keluar dari awan, dan semakin lama titik-titik itu menjadi rintik-rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Dari sudut mata Faya, ia melihat Ian sedang tersenyum. Senyum itu, senyum itu yang membuatnya selalu merasa baikan dan senyum itu pula yang berhasil membuatnya terseret dalam perasaan yang indah namun menggetirkan.
“Sebelum kau pulang ke Surabaya maukah kau menemaniku berdansa di tengah-tengah hujan ini?” ucapnya sambil menengadahkan tangannya ke arah hujan.
Mendengar hal itu Faya melebarkan matanya, ia sangat tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ada perasaan bingung di hatinya tapi ia menerima uluran tangan Ian yang membawanya ke luar dari teras rumah dan membuat seluruh tubuhnya basah karena terguyur air hujan. Ian membawanya ke tengah halaman rumahnya.
Ian meletakkan tangan Faya di bahunya dan ia memegangi pinggang Faya. Mereka berdansa mengikuti irama hujan, bagi mereka suara hujan adalah suara yang paling indah. Suara hujan adalah lagu yang paling pas sebagai soundtrek dansa mereka.
Faya menundukkan kepalanya ketika kedua bola mata Ian menatap matanya dengan sangat lekat. Ia tidak menyangka berada pada posisi seperti ini, bermimpi pun ia tidak berani. Di posisi yang sangat dekat ini ia merasa sangat gugup, dan ia bisa merasakan suara degup jantung yang sangat keras, sedetik kemudian ia merasa ketakutan bila Ian bisa mendengar suara degup jantungnya yang sangat berisik.
Dengan keberanian yang setebal kertas Faya berusaha mendongakkan kepalanya dan menatap mata elang yang ada di hadapannya. Mata itu terasa tajam namun meneduhkan. Faya mencoba membaca ke dalam mata elang itu, tapi tidak ada yang bisa terbaca. Mata itu seperti memancarkan cahaya yang berbeda namun Faya tidak bisa membaca cahaya itu, sesaat kemudian ia merasa takut dengan cahaya itu. Ia takut akan terlena dengan cahaya itu, karena cahaya itu bukan miliknya.
 ‘Biarlah aku merasakan surga dari rintikan hujan ini. Untuk detik ini saja aku ingin memilikinya, walau aku tahu dia tidak akan bisa aku miliki. Biarkan hujan ini menambah kekuatan cintaku padanya lalu meleburkannya dengan sekejap seperti air hujan yang turun ke tanah Banyuwangi yang menjadikannya gembur’
Hari selanjutnya…
Faya terbangun pada pukul lima pagi, setelah membersihkan diri, ia segera menunaikan tugasnya kepada sang pencipta. Setelah semuanya selesai ia segera membereskan semua barang-barangnya dan membersihkan kamar yang selama seminggu ini ia tempati.
Dengan senyuman, setelah sarapan pagi Faya pamit untuk meninggalkan kota Banyuwangi kepada keluarga besar Ian, ia sangat bersyukur pernah mengenal keluarga yang sangat harmonis, keluarga yang mengajarkannya tentang kehangatan sebuah keluarga.
Sebelum Faya meninggalkan Banyuwangi, Ian mengajaknya mampir ke sebuah jembatan. Faya tidak tahu kenapa Ian mengajaknya kemari, akan tetapi ia hanya menurut saja. Faya melirik ke arah Ian yang masih saja diam, sejak meninggalkan rumahnya sampai mereka berada di sebuah jembatan Ian tetap saja diam.
“Yan…?” seru Faya pelan untuk meminta penjelasan atas perilakunya.
“Maaf. Aku hanya ingin sedikit menunda kepergianmu” jawabnya lirih yang entah mengapa membuat hati Faya berdegup dengan kencang.“Kita jalan sekarang aja. Takutnya nanti kamu ketinggalan bus” lanjutnya sambil menstater motornya.
Mendengar hal itu Faya hanya diam dan duduk manis dibonceng seseorang yang harus akan ia lupakan. Motor Ian berhenti mulus diparkiran terminal, dengan langkah berat Faya mengikuti langkah Ian yang membawanya ke sebuah Bus.
Ian tersenyum dan berkata “Aku harap kamu bisa kembali lagi ke sini”
“Bisa saja, asalkan ada seseorang yang memberikan alasan untukku kembali ke sini” jawab Faya dengan penuh pengharapan agar Ian mengerti apa makna yang tersembunyi namun tiba-tiba Faya menampakkan cengiran dan berkata “Hanya becanda” tidak sepatutnya ia berkata seperti itu, karena itu hanya akan semakin membuatnya hidup disebuah pengharapan yang tidak akan berbuah. “Bye…” ucap Faya dengan nada yang ia buat biasa saja dan masuk ke sebuah bus yang ada di hadapannya.
“Fay. Ini buat kamu” kata Ian yang berhasil menghentikan Faya. “Berjanji-lah kamu akan membacanya ketika sudah meninggalkan Banyuwangi” lanjutnya sambil memberikan secarik kertas yang terlipat dan seulas senyuman ketika Faya menerimanya lalu melangkah memasuki bus.
Tidak berapa lama kemudian bus itu berjalan meninggalkan Ian, Ian hanya memandangi bus itu dengan perasaan yang tidak menentu. Namun ia berusaha tersenyum dan berjanji agar segera dapat menyusul orang spesial itu.
‘Aku akan menjemputmu dan memberikan alasan agar kau mau berada di sini. Karena aku sangat menginginkanmu, bahkan kota ini pun menginginkanmu untuk dapat menyatu dengan semua yang ada di sini, terkhusus menyatu denganku. Semoga Tuhan dan alam Banyuwangi merestui kita hidup bersama dalam kota yang wangi ini’.
♠♠♠♠♠
Aku merasa konyol ketika hatiku memaksa untuk menulis ini semua. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Yang aku tahu, hanya aku ingin menulis tentang dirimu, dirimu yang telah hadir ketika hujan turun, dan dirimu yang bergerak menjauh ketika pantai mengungkap fakta bahwa kamu telah mengagumi orang lain.
Kamu tahu? betapa aku dulu hingga sekarang sangat ingin memilikimu? Aku ingin memilikimu yang indah ditengah kehitamanmu. Keinginan itu semakin hari semakin kuat tapi aku harus menyimpannya rapat-rapat karena aku hanya sebuah daun yang selalu berada di bawahmu, di bawah bungamu yang tanpa kau sadari itu sangat indah. Akulah daun yang bertugas untuk menemani bunga itu agar tidak kesepian.
Kamu tahu? Perasaan ini semakin lama semakin bertumbuh subur di tengah hatiku yang tandus?. Ingin sekali meneriakkan namamu sebagai milikku agar semua tahu aku lelaki beruntung. Akulah daun yang selalu berharap memiliki bunga sepertimu.
Kamu tahu? Alam Banyuwangi ini menginkanmu untuk selalu hadir setiap saat. Jadi maukah kau menerima Banyuwangi yang tengah tumbuh dengan perlahan ketika diriku menjemputmu di Surabaya yang luar biasa?.
Nama               : Binti Iliya Faridah
Alamat             : Jl.Rungkut Menanggal III/10E, SBY
No HP             : *********
Aku sering dipanggil Lia, namun lebih sering dipanggil El, aku seorang dewasa muda yang lahir di Surabaya pada tanggal 17 November *****.
Aku hanya seorang mahasiswa psikologi yang sangat menyukai tulisan. Aku hanya ingin menulis dan menulis. Aku menulis karena dalam menulis aku bisa menciptakan dunia yang ku inginkan.
Hanya ada 2 hal yang menjadi cita-cita terbesarku, Kesuksesan di dunia dan DISANA, hal yang lain adalah sebuah kebahagian. Selama hidupku aku akan berusaha menggapai itu semua. Karena hidupku harus sukses dan bahagia.
Setiap aku melangkah harus ‘maju’ karena bagiku MAJU UNTUK SUKSES.