Mitokondria adalah organel subseluler yang ditemukan pada sitoplasma sel
eukariot dan bertugas untuk memproduksi energi bagi sel melalui pembentukan
senyawa adenosin triposfat (ATP). Salah satu keistimewaan dari organel ini yaitu
mempunyai sistem genetik sendiri dengan semua materi pendukung untuk
mengekspresikan informasi genetik yang dikandungnya.
Asam deoksiribonukleat mitokondria manusia (mtDNA) adalah molekul
penyimpan informasi genetik berbentuk sirkular dengan panjang 16.569 pasang
basa yang mengkode 37 buah gen: dua asam ribonukleat ribosom (rRNA),
komponen spesifik ribosom mitokondria, 22 RNA transfer (tRNA), berfungsi
untuk menerjemahkan kode genetik mitokondria, dan 13 polipeptida yang
merupakan subunit dari komplek protein pada sistem fosforilasi oksidatif, yaitu
tahap terakhir jalur pembentukan ATP. Peta informasi genetik mtDNA manusia
tersebut ditunjukkan pada Gambar II.1.
Jumlah kopi mtDNA pada setiap sel bervariasi, dari hanya berjumlah beberapa
ratus pada sel sperma sampai dengan 100.000 kopi mtDNA pada sel oocyte, sel
bakal ovum. Perbedaan jumlah kopi mtDNA yang demikian besar yang menjadi
penyebab mengapa mtDNA diturunkan kepada anak hanya dari pihak ibu,
meskipun sel sperma pada akhirnya bergabung dengan sel oocyte pada proses
reproduksi. Sebagian besar sel mitokondria berada pada bagian ekor sel sperma,
dan bagian ekor ini akan hilang pada proses fertilisasi, sedangkan mitokondria
yang berhasil menembus ovum akan dieliminasi pada tahap awal embriogenesis
(Manfredi et al., 1997).
Berbeda dengan DNA inti dimana terjadi proses rekombinasi antara gen yang
berasal dari ayah dan ibu, proses rekombinasi mtDNA berlangsung antar kopi
dirinya sendiri pada mitokondria yang sama. Fakta bahwa mtDNA diturunkan
hanya dari pihak ibu inilah yang mendasari peran mtDNA sebagai sumber
identifikasi forensik dan penyusuran garis keturunan.
Studi menunjukkan bahwa mtDNA mengalami mutasi spontan 10 kali lebih tinggi
dibandingkan yang terjadi pada DNA inti. Mutasi dengan kecepatan tinggi ini
kemungkinan disebabkan karena interaksi dengan senyawa-senyawa radikal bebas
yang terus menerus diproduksi pada mitokondria sebagai konsekuensi tahap akhir
oksidasi senyawa karbon pada proses fosforilasi oksidatif. Tingginya kadar
senyawa radikal bebas tersebut dapat merusak untai DNA mitokondria yang tidak
dilindungi oleh protein histon. Berdasarkan fakta ini, tidaklah mengherankan jika
variasi nukleotida pada mtDNA antar individu pada spesies yang sama ternyata
sangat tinggi (Wallace, 1992).
6
Apabila di dalam satu sel mitokondria terdapat dua jenis populasi mtDNA, yaitu
normal dan mutan (heteroplasmi), maka setelah berlangsung pembelahan sel dapat
dihasilkan tiga macam genotifik yaitu mtDNA normal (homoplasmi), mtDNA
mutan (homoplasmi), atau terdapat mtDNA normal dan mtDNA mutan
eukariot dan bertugas untuk memproduksi energi bagi sel melalui pembentukan
senyawa adenosin triposfat (ATP). Salah satu keistimewaan dari organel ini yaitu
mempunyai sistem genetik sendiri dengan semua materi pendukung untuk
mengekspresikan informasi genetik yang dikandungnya.
Asam deoksiribonukleat mitokondria manusia (mtDNA) adalah molekul
penyimpan informasi genetik berbentuk sirkular dengan panjang 16.569 pasang
basa yang mengkode 37 buah gen: dua asam ribonukleat ribosom (rRNA),
komponen spesifik ribosom mitokondria, 22 RNA transfer (tRNA), berfungsi
untuk menerjemahkan kode genetik mitokondria, dan 13 polipeptida yang
merupakan subunit dari komplek protein pada sistem fosforilasi oksidatif, yaitu
tahap terakhir jalur pembentukan ATP. Peta informasi genetik mtDNA manusia
tersebut ditunjukkan pada Gambar II.1.
Jumlah kopi mtDNA pada setiap sel bervariasi, dari hanya berjumlah beberapa
ratus pada sel sperma sampai dengan 100.000 kopi mtDNA pada sel oocyte, sel
bakal ovum. Perbedaan jumlah kopi mtDNA yang demikian besar yang menjadi
penyebab mengapa mtDNA diturunkan kepada anak hanya dari pihak ibu,
meskipun sel sperma pada akhirnya bergabung dengan sel oocyte pada proses
reproduksi. Sebagian besar sel mitokondria berada pada bagian ekor sel sperma,
dan bagian ekor ini akan hilang pada proses fertilisasi, sedangkan mitokondria
yang berhasil menembus ovum akan dieliminasi pada tahap awal embriogenesis
(Manfredi et al., 1997).
Berbeda dengan DNA inti dimana terjadi proses rekombinasi antara gen yang
berasal dari ayah dan ibu, proses rekombinasi mtDNA berlangsung antar kopi
dirinya sendiri pada mitokondria yang sama. Fakta bahwa mtDNA diturunkan
hanya dari pihak ibu inilah yang mendasari peran mtDNA sebagai sumber
identifikasi forensik dan penyusuran garis keturunan.
Studi menunjukkan bahwa mtDNA mengalami mutasi spontan 10 kali lebih tinggi
dibandingkan yang terjadi pada DNA inti. Mutasi dengan kecepatan tinggi ini
kemungkinan disebabkan karena interaksi dengan senyawa-senyawa radikal bebas
yang terus menerus diproduksi pada mitokondria sebagai konsekuensi tahap akhir
oksidasi senyawa karbon pada proses fosforilasi oksidatif. Tingginya kadar
senyawa radikal bebas tersebut dapat merusak untai DNA mitokondria yang tidak
dilindungi oleh protein histon. Berdasarkan fakta ini, tidaklah mengherankan jika
variasi nukleotida pada mtDNA antar individu pada spesies yang sama ternyata
sangat tinggi (Wallace, 1992).
6
Apabila di dalam satu sel mitokondria terdapat dua jenis populasi mtDNA, yaitu
normal dan mutan (heteroplasmi), maka setelah berlangsung pembelahan sel dapat
dihasilkan tiga macam genotifik yaitu mtDNA normal (homoplasmi), mtDNA
mutan (homoplasmi), atau terdapat mtDNA normal dan mtDNA mutan
(heteroplasmi). Oleh karena itu, fenotifik sel akan bergantung persentase jumlah
mtDNA mutan yang dikandung. Apabila jumlah molekul DNA relatif rendah
maka akan terjadi komplementasi dengan DNA normal, sehingga cacat genetik
dapat dihindari. Sebaliknya apabila DNA mutan kadarnya jauh lebih banyak,
maka jenis mtDNA mutan ini yang akan terus diproduksi di dalam mitokondria
selama hidup. Apabila mutasi ini menimbulkan cacat pada protein yang dikode
oleh mtDNA, maka dapat menyebabkan ATP yang diproduksi menjadi di bawah
kadar minimum yang diperlukan oleh tubuh sehingga memicu munculnya
penyakit. Mitokondria yang mewarisi heteroplasmi mtDNA mutan dapat berakibat
sangat mematikan, bahkan sebelum individu baru sempat dilahirkan.
Walaupun tingkat mutasi pada mtDNA sangat tinggi dan posisi mutasi spesifik
sangat banyak ditemukan, tetapi pada umumnya mutasi-mutasi tersebut bersifat
silent mutations, atau mutasi yang tidak menimbulkan perubahan fungsi fisiologis
pada tubuh. Meskipun demikian, ditemukan sejumlah posisi mutasi pada gen
pengkode tRNA, rRNA, dan protein yang diduga kuat memiliki peranan dalam
timbulnya penyakit pada manusia.
Sejak pertama kali ditemukannya penyakit yang disebabkan oleh kerusakan
mtDNA (Holt et.al, 1988), telah dilaporkan lebih dari 150 posisi mutasi yang
berhubungan dengan penyakit pada manusia. Diantaranya adalah penyakit
MERFF yang disebabkan sebuah mutasi pada tRNALys (Noer et al., 1991), mutasi
mtDNA yang berhubungan dengan tumor (Fliss et al., 2000), serta mutasi pada
gen 12S rRNA mtDNA yang mempengaruhi struktur sekunder RNA dan
menyebabkan gangguan pendengaran (Ballana et al., 2006). Posisi-posisi mutasi
ini ditemukan berdasarkan keseragaman jenis dan posisi mutasi pada pasien
penderita penyakit tertentu terhadap urutan standar nukleotida mtDNA manusia,
Cambridge Reference Sequence (CRS). CRS adalah data mtDNA manusia
7
pertama yang berhasil ditentukan urutan lengkap basa nukleotidanya (Anderson et
al., 1981), dan sejak saat itu CRS digunakan sebagai standar urutan nukleotida
mtDNA manusia. Sepuluh tahun setelah ditemukannya CRS, dilakukan penelitian
untuk membangun suatu basis data referensi mtDNA manusia menggunakan 13
buah sampel (Marzuki, et al., 1991). Pada penelitian ini berhasil ditemukan 128
variasi nukleotida terhadap CRS pada urutan nukleotida daerah pengkode mtDNA
dan lima posisi basa nukleotida diantaranya ternyata CRS tergolong mutan
dibandingkan sampel mtDNA lainnya, ditunjukkan pada Tabel II.1. Dengan kata
lain pada lima posisi tersebut variasi nukleotida pada CRS merupakan bentuk
perubahan yang minor dibandingkan mtDNA manusia lainnya. Fenomena ini
merupakan informasi baru mengenai urutan konsensus mtDNA manusia. Urutan
konsensus ini disusun berdasarkan urutan nukleotida yang paling umum
ditemukan pada genom mitokondria manusia. Urutan konsensus ini kemudian
diusulkan sebagai referensi standar mtDNA manusia.
mtDNA mutan yang dikandung. Apabila jumlah molekul DNA relatif rendah
maka akan terjadi komplementasi dengan DNA normal, sehingga cacat genetik
dapat dihindari. Sebaliknya apabila DNA mutan kadarnya jauh lebih banyak,
maka jenis mtDNA mutan ini yang akan terus diproduksi di dalam mitokondria
selama hidup. Apabila mutasi ini menimbulkan cacat pada protein yang dikode
oleh mtDNA, maka dapat menyebabkan ATP yang diproduksi menjadi di bawah
kadar minimum yang diperlukan oleh tubuh sehingga memicu munculnya
penyakit. Mitokondria yang mewarisi heteroplasmi mtDNA mutan dapat berakibat
sangat mematikan, bahkan sebelum individu baru sempat dilahirkan.
Walaupun tingkat mutasi pada mtDNA sangat tinggi dan posisi mutasi spesifik
sangat banyak ditemukan, tetapi pada umumnya mutasi-mutasi tersebut bersifat
silent mutations, atau mutasi yang tidak menimbulkan perubahan fungsi fisiologis
pada tubuh. Meskipun demikian, ditemukan sejumlah posisi mutasi pada gen
pengkode tRNA, rRNA, dan protein yang diduga kuat memiliki peranan dalam
timbulnya penyakit pada manusia.
Sejak pertama kali ditemukannya penyakit yang disebabkan oleh kerusakan
mtDNA (Holt et.al, 1988), telah dilaporkan lebih dari 150 posisi mutasi yang
berhubungan dengan penyakit pada manusia. Diantaranya adalah penyakit
MERFF yang disebabkan sebuah mutasi pada tRNALys (Noer et al., 1991), mutasi
mtDNA yang berhubungan dengan tumor (Fliss et al., 2000), serta mutasi pada
gen 12S rRNA mtDNA yang mempengaruhi struktur sekunder RNA dan
menyebabkan gangguan pendengaran (Ballana et al., 2006). Posisi-posisi mutasi
ini ditemukan berdasarkan keseragaman jenis dan posisi mutasi pada pasien
penderita penyakit tertentu terhadap urutan standar nukleotida mtDNA manusia,
Cambridge Reference Sequence (CRS). CRS adalah data mtDNA manusia
7
pertama yang berhasil ditentukan urutan lengkap basa nukleotidanya (Anderson et
al., 1981), dan sejak saat itu CRS digunakan sebagai standar urutan nukleotida
mtDNA manusia. Sepuluh tahun setelah ditemukannya CRS, dilakukan penelitian
untuk membangun suatu basis data referensi mtDNA manusia menggunakan 13
buah sampel (Marzuki, et al., 1991). Pada penelitian ini berhasil ditemukan 128
variasi nukleotida terhadap CRS pada urutan nukleotida daerah pengkode mtDNA
dan lima posisi basa nukleotida diantaranya ternyata CRS tergolong mutan
dibandingkan sampel mtDNA lainnya, ditunjukkan pada Tabel II.1. Dengan kata
lain pada lima posisi tersebut variasi nukleotida pada CRS merupakan bentuk
perubahan yang minor dibandingkan mtDNA manusia lainnya. Fenomena ini
merupakan informasi baru mengenai urutan konsensus mtDNA manusia. Urutan
konsensus ini disusun berdasarkan urutan nukleotida yang paling umum
ditemukan pada genom mitokondria manusia. Urutan konsensus ini kemudian
diusulkan sebagai referensi standar mtDNA manusia.