STRATEGI PEMBELAJARAN DAP (DEVELOPMENTALLY APPROPRIATE PRACTICE)
1. Pengertian DAP (Developmentally Appropriate Practice) DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak.[1]
Terjemahan bebas dari Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam bahasa Indonesia adalah “ Pendidikan yang patut dan mneyenangkan”. Tiga dimiensi dalam konsep DAP adalah (1) Patut menurut umur, maksudnya sesuai dengan tahap- tahap perkembangan anak, (2) Patut menurut lingkungan sosial dan budaya, yaitu sesuai dengan pengalaman belajar yang bermakna, relevan dan sesuai dengan kondisi social budaya, dan (3) Patut secara individual, yaitu sesuai dengan pertumbuhan dan karakteristik anak, kelebihannya, ketertarikannya dan pengalaman- pengalamannya.
Pengalaman anak-anak adalah membedah perasaan, dan tidak hanya perilaku terbuka dengan meberikan anak-anak suatu lingkungan dan emosi-emosi yang dikehendaki akan lazim dan emosi-emosi yang tidak dikehendaki menjadi jarang.[2]
Menurut Bredekamp dan Rosegrant Sebagaimana dikutip oleh Rebecca Novick dalam papernya Developmentally Appropriate Practice And Culturally Responsive Education : Theory in Practice, Menyatakan bahwa:
Developmentally appropriate practice reflect an interactive, constructivist view of learning. Key ti his approach is the principle tahat the child constructs his or her own knowledge through interactions with the social and physical environment because the child is viewed as intrinsically motivated and self directed, effective teaching capitalizes on the child’s motivation to explore, experiment, and to make of his or her experience.
DAP mencerminkan suatu pembelajaran yang interaktif dan berpandangan konstruktivisme. Kunci dari pendekatan ini adalah prinsip bahwa anak pada dasarnya membangun atau mengkonstruk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik mereka. Dalam pendekatan ini diupayakan agar anak dapat memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik, pembelajaran yang efektif yang mampu membangkitkan keingintahuan mereka melalui kegiatan eksplorasi, eksperimen dan dalam pengalaman nyata.
Adapun Vogotsky berpendapat bahwa bermain dan aktifitas yang bersifat konkrit dapat memberikan momentum alami bagi anak untuk belajar sesuatu yang sesuai dengan tahap perkembangan umurnya (age appropriate), dan kebutuhan spesifik anak (individual needs). Bermain adalah cara yang paling efektif untuk mematangkan perkembangan anak pada usia pra-sekolah (Pre-operatioanal thinking), dan pada masa sekolah dasar (Concrete operatioanal thinking).
Pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip kerja struktur dan fungsi otak. Banyak ditengerai bahwa sekolah tradisional yang menerapkan pembelajaran dengan cara-cara tradisional telah menghambat proses belajar mengajar dan tidak sesuai dengan prinsip ini.
Terkait dengan cara kerja struktur dan fungsi otak, terdapat beberapa prinsip brain- based learning yang sangat penting untuk diketahui oleh para pendidik.
a) Otak memproses beberapa aktivitas dalam waktu bersama ketika seseorang sedang makan, secara simultan otak memproses kegiatan mulut untuk mengunyah, lidah untuk mengecap, dan hidung untuk mencium bau makanan.
b) Otak memproses informasi secara keseluruhan dan secara bagian per bagian dalam waktu bersamaan (simultan). Ketika seseorang anak belajar naik sepeda, aspek motorik, kognitif dan emosi anak terlibat secara bersamaan. Dengan demikian anak akan lebih cepat menguasai ketrampilan ini, dari pada hanya memperoleh teori saja, yang hanya ditumpukan pada aspek kognitif..
c) Proses pembelajaran melibatkan seluruh aspek fisiologi manusia secara alami otak selalu mencari makna atau arti dalam setiap informasi yang diterimanya. Otak akan memproses lebih lanjut informasi yang bermakna, namun tidak demikian dengan informasi yang tidak bermakna.
d) Faktor emosi sangat mempengaruhi proses belajar.
e) Motivasi belajar akan meningkat bila diberikan sesuatu yang menantang dan akan terhambat bila diberikan ancaman.
f) Manusia akan lebih mudah mengerti dengan diberikan fakta secara alami atau ingatan spasial (bentuk gambar).
Terdapat tiga dimensi yang harus dipahami dalam konsep DAP yaitu:
a. Patut Menurut Umur
Dalam dimensi ini pendidik diharapkan memahami tahapan perkembangan anak secara kronologis. Pemahaman tentang hal ini dapat menjadi bekal bagi pendidik untuk mengetahui aktifitas, materi, dan interaksi social apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Hal ini sangat penting sebagai acuan dalam merancang dan menerapkan kurikulum, serta menyiapkan lingkungan belajar yang patut dan menyenagkan.
b. Patut Menurut Lingkungan Sosial Dan Budaya
Pemahaman pendidik terhadap latar belakang sosial budaya anak dapat dijadikan dijadikan sebagai acuan guru dalam mempersiapkan materi pembelajaran yang relevan dan bermakna bagi anak. Disamping itu, pendidik juga dapat mempersiapkan anak secara lebih dini untuk menjadi individu yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budayanya.
c. Patut Menurut Anak Sebagai Individu Yang Unik
Pendidik juga harus memahami bahwa setiap anak merupakan pribadi yang unik, dimana ia membawa bakat, minat, kelebihan dan kekerangannya, serta pengalaman masing – masing anak dalam berinteraksi.[3] Program DAP yang dikemukakan oleh Bredekamp bahwasanya pada proses pembelajaran hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan-bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya. Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik. Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Proses pembelajaran seharusnya memperhatikan kebermaknaan artinya apa yang bermakna bagi anak menunjuk pada pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan minat-minatnya.[4]
2. Prinsip Pokok DAP (Developmentally Appropriate Practice)
Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak.
Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak-anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan.
Telah disebutkan bahwa pendidikan di sekolah seharusnya bertujuan untuk membangun manusia holistik. Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip antara lain:
1) Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi belajar akan meningkat kalau siswa terlibat aktif (mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya.
2) Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda Anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
3) Prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council (1999) dalam Megawangi, dkk. (2004) mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif.
Beberapa hasil riset tersebut adalah :
a) Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran,dan emosi)
b) Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi sistem limbik otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.
c) Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.
d) Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (panca-indera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.
e) Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar).[5]
Terkait dengan penelitian disekolah dasar maka terdapat beberapa prinsip pembelajaran efektif berikut:
a) Berangkat yang dimiliki anak
b) Belajar harus menantang pemahaman anak
c) Belajar dilakukan sambil bermain
d) Menggunakan alam sebagai sarana pembelajaran
e) Belajar dilakukan melalui sensorinya
f) Belajar sambil melakukan.[6]
3. Tahap – Tahap Pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice)
Prinsip-prinsip di atas telah memberikan dampak terhadap perubahan metode belajar yang sejalan dengan konsep pendidikan yang patut. Adapun tahapan-tahapannya adalah:
a) Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak. Misalnya dengan games (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan).
b) Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya
c) Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak
d) Berikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata[7]
sumber : http://kantinpendidikan.blogspot.com/2011/03/strategi-pembelajaran-dap.html
[1] http://okvina.wordpress.com/2008/02/18/analisis-sistem-evaluasi-hasil-belajar-siswa-yang-menghambat-pengembangan-karakter-siswa-sma/>
[2] Bertrand Russel, Pendidikan Dan Tatanan Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1003), hal 43
[3] Nadwa, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2007, hal 63-64
[4] http://Opiking.Wordpress.com/02/05/2008
[5] http://tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/2008/03/metode-pembelajaran-yang-baik.html>
[6] http:// Prinsip Pembelajaran Yang Efektif.Com/28/02/2008
[7] http:// Oursani.com/31/05/2008/Index.php/Terbaru/Paradigma_Baru_Dalam_Mendidik_Anak_html
1. Pengertian DAP (Developmentally Appropriate Practice) DAP atau dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif. Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak.[1]
Terjemahan bebas dari Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam bahasa Indonesia adalah “ Pendidikan yang patut dan mneyenangkan”. Tiga dimiensi dalam konsep DAP adalah (1) Patut menurut umur, maksudnya sesuai dengan tahap- tahap perkembangan anak, (2) Patut menurut lingkungan sosial dan budaya, yaitu sesuai dengan pengalaman belajar yang bermakna, relevan dan sesuai dengan kondisi social budaya, dan (3) Patut secara individual, yaitu sesuai dengan pertumbuhan dan karakteristik anak, kelebihannya, ketertarikannya dan pengalaman- pengalamannya.
Pengalaman anak-anak adalah membedah perasaan, dan tidak hanya perilaku terbuka dengan meberikan anak-anak suatu lingkungan dan emosi-emosi yang dikehendaki akan lazim dan emosi-emosi yang tidak dikehendaki menjadi jarang.[2]
Menurut Bredekamp dan Rosegrant Sebagaimana dikutip oleh Rebecca Novick dalam papernya Developmentally Appropriate Practice And Culturally Responsive Education : Theory in Practice, Menyatakan bahwa:
Developmentally appropriate practice reflect an interactive, constructivist view of learning. Key ti his approach is the principle tahat the child constructs his or her own knowledge through interactions with the social and physical environment because the child is viewed as intrinsically motivated and self directed, effective teaching capitalizes on the child’s motivation to explore, experiment, and to make of his or her experience.
DAP mencerminkan suatu pembelajaran yang interaktif dan berpandangan konstruktivisme. Kunci dari pendekatan ini adalah prinsip bahwa anak pada dasarnya membangun atau mengkonstruk sendiri pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik mereka. Dalam pendekatan ini diupayakan agar anak dapat memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik, pembelajaran yang efektif yang mampu membangkitkan keingintahuan mereka melalui kegiatan eksplorasi, eksperimen dan dalam pengalaman nyata.
Adapun Vogotsky berpendapat bahwa bermain dan aktifitas yang bersifat konkrit dapat memberikan momentum alami bagi anak untuk belajar sesuatu yang sesuai dengan tahap perkembangan umurnya (age appropriate), dan kebutuhan spesifik anak (individual needs). Bermain adalah cara yang paling efektif untuk mematangkan perkembangan anak pada usia pra-sekolah (Pre-operatioanal thinking), dan pada masa sekolah dasar (Concrete operatioanal thinking).
Pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip kerja struktur dan fungsi otak. Banyak ditengerai bahwa sekolah tradisional yang menerapkan pembelajaran dengan cara-cara tradisional telah menghambat proses belajar mengajar dan tidak sesuai dengan prinsip ini.
Terkait dengan cara kerja struktur dan fungsi otak, terdapat beberapa prinsip brain- based learning yang sangat penting untuk diketahui oleh para pendidik.
a) Otak memproses beberapa aktivitas dalam waktu bersama ketika seseorang sedang makan, secara simultan otak memproses kegiatan mulut untuk mengunyah, lidah untuk mengecap, dan hidung untuk mencium bau makanan.
b) Otak memproses informasi secara keseluruhan dan secara bagian per bagian dalam waktu bersamaan (simultan). Ketika seseorang anak belajar naik sepeda, aspek motorik, kognitif dan emosi anak terlibat secara bersamaan. Dengan demikian anak akan lebih cepat menguasai ketrampilan ini, dari pada hanya memperoleh teori saja, yang hanya ditumpukan pada aspek kognitif..
c) Proses pembelajaran melibatkan seluruh aspek fisiologi manusia secara alami otak selalu mencari makna atau arti dalam setiap informasi yang diterimanya. Otak akan memproses lebih lanjut informasi yang bermakna, namun tidak demikian dengan informasi yang tidak bermakna.
d) Faktor emosi sangat mempengaruhi proses belajar.
e) Motivasi belajar akan meningkat bila diberikan sesuatu yang menantang dan akan terhambat bila diberikan ancaman.
f) Manusia akan lebih mudah mengerti dengan diberikan fakta secara alami atau ingatan spasial (bentuk gambar).
Terdapat tiga dimensi yang harus dipahami dalam konsep DAP yaitu:
a. Patut Menurut Umur
Dalam dimensi ini pendidik diharapkan memahami tahapan perkembangan anak secara kronologis. Pemahaman tentang hal ini dapat menjadi bekal bagi pendidik untuk mengetahui aktifitas, materi, dan interaksi social apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Hal ini sangat penting sebagai acuan dalam merancang dan menerapkan kurikulum, serta menyiapkan lingkungan belajar yang patut dan menyenagkan.
b. Patut Menurut Lingkungan Sosial Dan Budaya
Pemahaman pendidik terhadap latar belakang sosial budaya anak dapat dijadikan dijadikan sebagai acuan guru dalam mempersiapkan materi pembelajaran yang relevan dan bermakna bagi anak. Disamping itu, pendidik juga dapat mempersiapkan anak secara lebih dini untuk menjadi individu yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial budayanya.
c. Patut Menurut Anak Sebagai Individu Yang Unik
Pendidik juga harus memahami bahwa setiap anak merupakan pribadi yang unik, dimana ia membawa bakat, minat, kelebihan dan kekerangannya, serta pengalaman masing – masing anak dalam berinteraksi.[3] Program DAP yang dikemukakan oleh Bredekamp bahwasanya pada proses pembelajaran hendaknya menyediakan berbagai aktivitas dan bahan-bahan yang kaya serta menawarkan pilihan bagi siswa sehingga siswa dapat memilihnya untuk kegiatan kelompok kecil maupun mandiri dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinisiatif sendiri, melakukan keterampilan atas prakarsa sendiri sebagai aktivitas yang dipilihnya. Pembelajaran terpadu juga menekankan integrasi berbagai aktivitas untuk mengeksplorasi objek, topik, atau tema yang merupakan kejadian-kejadian, fakta, dan peristiwa yang otentik. Pelaksanaan pembelajaran terpadu pada dasarnya agar kurikulum itu bermakna bagi anak. Proses pembelajaran seharusnya memperhatikan kebermaknaan artinya apa yang bermakna bagi anak menunjuk pada pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan minat-minatnya.[4]
2. Prinsip Pokok DAP (Developmentally Appropriate Practice)
Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak.
Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak-anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan.
Telah disebutkan bahwa pendidikan di sekolah seharusnya bertujuan untuk membangun manusia holistik. Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip antara lain:
1) Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi belajar akan meningkat kalau siswa terlibat aktif (mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya.
2) Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda Anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
3) Prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council (1999) dalam Megawangi, dkk. (2004) mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif.
Beberapa hasil riset tersebut adalah :
a) Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran,dan emosi)
b) Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi sistem limbik otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.
c) Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.
d) Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (panca-indera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.
e) Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar).[5]
Terkait dengan penelitian disekolah dasar maka terdapat beberapa prinsip pembelajaran efektif berikut:
a) Berangkat yang dimiliki anak
b) Belajar harus menantang pemahaman anak
c) Belajar dilakukan sambil bermain
d) Menggunakan alam sebagai sarana pembelajaran
e) Belajar dilakukan melalui sensorinya
f) Belajar sambil melakukan.[6]
3. Tahap – Tahap Pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice)
Prinsip-prinsip di atas telah memberikan dampak terhadap perubahan metode belajar yang sejalan dengan konsep pendidikan yang patut. Adapun tahapan-tahapannya adalah:
a) Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi anak. Misalnya dengan games (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan).
b) Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya
c) Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak
d) Berikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman kongkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata[7]
sumber : http://kantinpendidikan.blogspot.com/2011/03/strategi-pembelajaran-dap.html
[1] http://okvina.wordpress.com/2008/02/18/analisis-sistem-evaluasi-hasil-belajar-siswa-yang-menghambat-pengembangan-karakter-siswa-sma/>
[2] Bertrand Russel, Pendidikan Dan Tatanan Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1003), hal 43
[3] Nadwa, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2007, hal 63-64
[4] http://Opiking.Wordpress.com/02/05/2008
[5] http://tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/2008/03/metode-pembelajaran-yang-baik.html>
[6] http:// Prinsip Pembelajaran Yang Efektif.Com/28/02/2008
[7] http:// Oursani.com/31/05/2008/Index.php/Terbaru/Paradigma_Baru_Dalam_Mendidik_Anak_html