Perjalanan Sunan Bonang, ke Kediri
Perjalanan Sunan Bonang menjalankan siar Agama Islam, ke Kediri selalu terhambat oleh Kyai Butalocaya lalu berjalanlah Sang Sunan ke arah timur. Ketika sampai di bekas kota Marnenang beliau berhenti di tepi sebuah sumur.
Beliau ingin minum tetapi tidak ada timbanya.Tiba-tiba sumur tersebut berguling dengan sendirinya, dan beliau lalu minum. Setelah minum beliau lalu melanjutkan perjalanannya ke timur. Sumur yang terguling tadi tidak kembali tegak maka tempat tersebut kemudian dinamakan Desa Sumur Gumiling.
Ketika perjalanan Sunan Bonang sampai di Desa Nyahen yang ada patungnya Buto Nyai, beliau sangat antipati terhadap segala sesuatu yang berbau Budha lalu dipatahkan tangan kanannya. Begitu Sunan Bonang mengetahui bahwa perjalanannya selalu dibuntuti oleh Kyai Butalocaya, beliau tidak meneruskan perjalanannya ke timur, melainkan lalu ke utara menuju pantai.
Mengenai peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit, menurut kesaksian Kyai Butalocaya, bahwa Prabu Brawijaya terakhir itu sesungguhnya sudah masuk agama Islam. Serta sesungguhnya beliau tidak berkeberatan melepaskan tahtanya untuk Raden Patah, karena beliau merasa bahwa memang sudah tua.
Akan tetapi yang tidak beliau sukai, mengapa raden Patah memaksanya dengan kekerasan senjata. Sehingga beliau tidak berkenan menyerahkan tahtanya tersebut, akan tetapi juga tidak akan melawannya dengan peperangan. Sehingga beliau mamilih meloloskan diri.
Konon begitu Raden Patah berhasil merebut Kerajaan Majapahit dan menjadi raja Islam di Demak, beliau sangat antipati terhadap segala sesuatu yang berbau Budha. candi-candi, patung-patung pemujaan, buku-buku pegangan, maupun serat-serat ajaran yang berasal dari masa pemerintahan sebelumnya semua dimusnahkan.
Apabila diketahui ada orang yang masih merawat benda-benda seperti tersebut, segera diminta untuk dirusak. Adapun yang diagungkan pada waktu itu adalah segala sesuatu yang datangnya dari tanah Arab.
Pada waktu itu orang yang mau masuk agama Islam dimuliakan serta dianugrahi sebutan Kyai Ageng. Sejak zaman Kerajaan Demak sampai zaman Kerajaan Pajang sang raja sama sekali tidak mau peduli pada kebudayaan lama yang pada dasarnya berbau Budha.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Suyami, Tinjauan Historis dalam Babad Kadhiri. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Jakarta, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999