Mitokondria (mtDNA) sebagai Materi Genetik

Mitokondria memiliki sistem genetik yang berbeda dengan sistem genetik inti sel.
DNA mitokondria manusia berbentuk lingkaran tertutup dan beruntai ganda
(double stranded). Dua untai pada DNA mitokondria ini dikenal dengan untai
heavy (H) dan untai light (L). Penamaan ini didasarkan pada perbedaan densitas
tiap untai dalam gradien denaturan CsCl, dimana untai H memiliki berat molekul
yang lebih besar dibandingkan dengan untai L karena untai H memiliki lebih
banyak basa-basa purin yang memiliki dua buah cincin pada strukturnya yang
dinyatakan dalam rasio G : C. Jika rasio G : C lebih dari satu maka untai tersebut
adalah untai H (Anderson et al., 1981). Urutan nukleotida DNA mitokondria

sudah ditentukan secara lengkap oleh Anderson

pada tahun 1981. MtDNA

berukuran 16569 pb (Gambar II.4) dan menyandi 37 gen, yaitu 22 tRNA, 2 rRNA,
dan 13 polipeptida untuk kompleks protein yang dibutuhkan pada reaksi
fosforilasi oksidatif.


Bentuk mtDNA adalah sirkular terdiri atas untai H (Heavy) memiliki basa G lebih
banyak dan untai L (Light) memiliki basa C lebih banyak (Wallace, 1997).
Komponen penyusun mitokondria seperti protein struktural, protein transpor,
”mesin” sintesis protein-protein mitokondria seperti DNA polimerase, RNA
polimerase, amino asil tRNA sintetase, protein ribosomal, dan faktor pengendali
transkripsi, translasi dan replikasi DNA mitokondria (mtDNA) semua dikode oleh
inti, disintesis di sitosol kemudian ditranspor ke mitokondria (Strachan dan Read,
1999; Moraes et al., 1999) seperti tercantum dalam Tabel II.1. Sebagian besar
protein mitokondria dikode oleh DNA inti, disintesis oleh sitosol kemudian
ditranspor ke mitokondria untuk mensintesis protein mitokondria atau tergabung
dalam sistem fosforilasi oksidatif.


Setiap sel eukariot mengandung ratusan bahkan ribuan kopi DNA mitokondria.
Mutasi dapat terjadi pada seluruh kopi mtDNA atau hanya pada beberapa kopi
saja. Apabila mutasi terjadi pada seluruh kopi mtDNA dalam sel maka kondisi ini
disebut homoplasmi, tetapi jika terjadi pencampuran lebih dari satu tipe mtDNA
di dalam sel dimana terdapat mtDNA yang termutasi dan mtDNA wild type, maka
kondisi ini disebut dengan heteroplasmi. Penyebab heteroplasmi belum diketahui
dengan pasti, Grzybowski pada tahun 2000 menjelaskan bahwa heteroplasmi




9






disebabkan karena mutasi yang terjadi pada mtDNA sel telur diikuti oleh
diferensiasi selama perkembangan embrio. Heteroplasmi dapat terdeteksi pada
berbagai jaringan, termasuk tulang, otak, hati, otot, rambut, dan darah. Pada satu
individu, heteroplasmi dapat terjadi pada satu atau lebih jaringan (Tully et al.,
1999). Namun, rambut manusia memiliki frekuensi heteroplasmi yang tinggi. Dari
satu akar rambut telah ditemukan enam macam perbedaan (Grzybowski, 2000).
Pola panjang heteroplasmi mirip untuk individu-individu segaris keturunan ibu
tetapi bervariasi untuk individu yang tidak segaris keturunan ibu (Malik et al.,
2002).



II.3. Daerah D-loop mtDNA
Daerah D-loop adalah daerah pada mtDNA sepanjang 1121 nukleotida mulai dari
nukleotida 16024 sampai 576 terletak antara gen tRNA prolin (15955-16023 pb)
dan gen tRNA fenilalanin (577-647 pb) yang tidak menyandi (mengkode) protein
tetapi mengandung beberapa basa yang mengontrol proses transkripsi dan
replikasi mtDNA sehingga disebut juga control region (CR).


Daerah D-loop merupakan daerah beruntai tiga (triple stranded), mengandung
origin of replication untuk untai H (OH) dan dua promoter utama untuk untai H
dan L (PH dan PL) (Gambar II. 3). Gen-gen mtDNA terdistribusi pada untai H dan
L. Titik awal replikasi untai H dan dua promotor transkripsi terletak pada D-loop.
Kedua promotor transkripsi tersebut berjarak 150 nukleotida dengan daerah
pengenalan oleh faktor transkripsi mitokondria pertama sepanjang 27 pasang basa
(Clayton, 1991).


D-loop memiliki adaptasi yang tinggi terhadap mutasi sehingga antar individu
yang tidak segaris keturunan ibu D-loopnya dapat sangat berbeda. Adaptasi D-
loop terhadap mutasi disebabkan karena tidak menyandi protein sehingga mutasi
pada daerah ini tidak mempengaruhi fungsi protein dan karenanya perubahan pada
D-loop tidak berpengaruh pada fisiologi mitokondria ataupun sel. Variasi antar
individu yang relatif tinggi ini menyebabkan D-loop disebut juga daerah



10






Hypervariable (HV) dan mempunyai laju mutasi lima kali lebih cepat
dibandingkan daerah lain pada genom mitokondria (Creenberg et al., 1983). D-
loop memiliki dua daerah yang sangat bervariasi, yaitu Hypervariable region I
(HVR I) pada nukleotida 16024-16383 dan Hypervariable regio II (HVR II) pada
nukleotida 57-372 (Anderson et al., 1981; Andrews et al., 1999).


Variasi basa atau polimorfisme yang disebabkan oleh mutasi ini disebut dengan
Single Nucleotide Polymorphism (SNP). SNP, yang dapat terjadi pada daerah
pengkode (coding region) maupun daerah bukan pengkode (noncoding region)
pada D-loop, dapat digunakan untuk membedakan satu individu dengan individu
lain. Polimorfisme pada daerah D-loop lebih tinggi daripada polimorfisme daerah
pengkode disebabkan karena laju mutasinya yang lebih tinggi.



II. 4. Laju Mutasi mtDNA
Laju mutasi yang tinggi pada mtDNA disebabkan oleh banyaknya radikal bebas
yang terbentuk sebagai hasil samping reaksi respirasi yang berlangsung pada
mitokondria. Elektron yang ditransfer dapat tertangkap oleh molekul oksigen
membentuk radikal bebas superoksida. Jumlah superoksida ini dalam kondisi
normal mencapai 1-3% jumlah molekul oksigen. Enzim superoksida dismutase
akan mengubah senyawa ini menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Hidrogen
peroksida selanjutnya diubah menjadi air dan oksigen dengan enzim katalase.
Reaksi-reaksi diatas memiliki hasil samping radikal bebas hidroksil yang sangat
berbahaya karena dapat bereaksi dengan protein, asam nukleat, karbohidrat, dan
lipid menghasilkan suatu radikal dan bereaksi lebih lanjut.


Radikal bebas hidroksil juga dapat terbentuk dengan katalis ion besi (Fe3+). Ion
besi dapat menerima elektron dari superoksida dan memindahkannya ke hidroksil
sehingga menjadi radikal bebas. Kompleks ion besi dapat mengkatalisa fosfat
pada DNA. Radikal bebas hidroksil dapat menyerang gugus gula ribosa ataupun
mendeaminasi nukleotida yang menyebabkan mutasi subtitusi misalnya : T > C, C
> G dan T > G. Tingginya laju mutasi mtDNA juga disebabkan oleh karena enzim



11






polimerase λ yang digunakan pada proses replikasi mtDNA tidak memiliki
proofreading yang dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan selama proses replikasi
(Watson et al., 1987).


Beberapa mutasi gen penyandi protein mtDNA yang tidak berpengaruh pada
kondisi fisiologis disebut varian normal (Marzuki et al., 1991). Sedangkan mutasi
pada daerah yang tidak menyandi protein seperti daerah D-loop tidak berbahaya
bagi kelestarian mtDNA itu sendiri sehingga mutasi tersebut dapat diturunkan
pada proses replikasi. Replikasi DNA tidak selalu akurat sehingga akan terjadi
mutasi yang akan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga
makin jauh hubungan kekerabatan antara dua individu, makin besar pula jumlah
perbedaan mutasi.



II. 5. Peran Mutasi mtDNA pada Penuaan
Reaksi fosforilatif oksidatif dalam mitokondria menghasilkan ± 90% energi pada
organ dan sistem jaringan (Wei, 1992). Proses fosforilatif oksidatif menghasilkan
berbagai metabolit berupa radikal bebas yang berpotensi merusak DNA. Dalam
kondisi normal, radikal bebas akan dieliminasi oleh dismutase, katalase, dan
peroksidase, namun mekanisme pertahanan ini berkurang fungsinya dengan
bertambahnya umur (Ames, 1989). Berkurangnya fungsi enzim-enzim tersebut
berakibat pada banyaknya mutasi yang disebabkan oleh radikal bebas, hal ini
berpotensi mempengaruhi proses penuaan. Namun demikian, tidak ditemukan
adanya perubahan pola mutasi pada sel rambut seiring dengan pertambahan usia
dalam satu individu (Liu et al., 2001).


Percepatan angka laju mutasi DNA mitokondria dapat menghasilkan penuaan
dini, suatu faktor penyebab utama penuaan. Telah ditemukan bahwa penuaan
berkaitan dengan peranan DNA mitokondria. Mutasi DNA mitokondria terus
menerus terakumulasi sepanjang usia dan bertanggung jawab langsung atas
defisiensi dalam aktifitas fosforilasi oksidatif seluler. Kerusakan DNA
mitokondria dan mutagenesis menyebabkan kerusakan dan disfungsi oksidatif



12






yang meningkat secara eksponensial, yang pada akhirnya terkulminasi pada
penuaan. Sebuah peningkatan tiga hingga lima kali dalam mutasi-mutasi mtDNA
somatik pada mutator DNA mitokondria yang telah ditunjukkan untuk
menghasilkan respirasi defektif dan oleh karenanya terjadi defisiensi energi dalam
sel-sel individu (Trifunovic, 2006).



II.6. Peran mtDNA dalam Identifikasi Forensik
Analisis forensik berupa tindakan identifikasi barang bukti, yang bertujuan untuk
memperkirakan identitas (ras, umur, jenis kelamin) atau menghubungkan
seseorang dengan tempat kejadian perkara. Analisis menggunakan DNA inti telah
terlebih dahulu digunakan dalam bidang forensik dan berkembang pesat. Metode

yang

banyak

digunakan

adalah

RFLP

(Restriction

Fragment

Length

Polymorphisme) dan STR (Short Tandem Repeat). RFLP memiliki tingkat akurasi
paling tinggi tetapi juga tingkat kesulitan yang tinggi. Metode STR lebih praktis
dan akurasinya dapat disesuaikan tergantung jumlah lokus yang dianalisis (Gill,
2001). Analisis menggunakan DNA inti memiliki akurasi yang tinggi karena
dirujuk pada inti kedua orang tua (diploid). Akan tetapi metode ini memiliki
kelemahan yaitu bila salah satu atau kedua orang tua tidak ada. Penggunaan DNA
inti saudara seayah-ibu, anak, paman, dan bibi atau kakek dan nenek kandung
memerlukan koreksi yang didasarkan pada segresi mendel. Sedangkan generasi
ketiga atau saudara sepupu, praktis tidak dapat digunakan (Gill, 2001)


Selain DNA inti, mtDNA telah digunakan dalam bidang forensik dan menjadi
barang bukti di pengadilan Amerika Utara dan Eropa (Wilson et al., 1997).
Kelebihan utama penggunaan mtDNA dalam bidang forensik adalah mtDNA
mempunyai jumlah salinan yang tinggi (Robin dan Wong, 1988). Jumlah salinan
per sel sekitar 1000-10.000 sehingga mtDNA dapat digunakan untuk analisis
sampel dengan jumlah DNA yang sangat terbatas (Moore dan Isenberg, 1999;
Holland, 1997; Wilson et al., 1997). Kelemahan penggunaan mtDNA adalah
kemungkinan menemukan kesamaan antar individu yang relatif lebih tinggi,
terutama individu yang terkait hubungan keluarga segaris keturunan ibu.



13






Kelemahan ini menjadi menguntungkan bila yang dilakukan adalah perunutan
hubungan keluarga (Gill et al.,1994).


Perunutan hubungan keluarga dengan mtDNA didasarkan pada pola pewarisan
maternal yang haploid dan hipervariabilitas daerah D-loop. Individu yang terkait
hubungan maternal akan memiliki urutan nukleotida yang sama dan yang tidak
terkait hubungan maternal ini akan berbeda. Terdapat kemungkinan dua individu
yang tidak memiliki catatan hubungan maternal akan memiliki sekuen dengan
urutan basa yang sama. Bila silsilah keluarga hanya diketahui beberapa generasi
keatas, sementara kecepatan mutasi adalah satu titik dalam 33 generasi maka
kemungkinan terjadinya kasus homologi dua individu yang merasa tidak memiliki
hubungan maternal relatif tinggi. Hal ini yang menyebabkan mtDNA tidak dapat
menjadi alat bukti tunggal atau yang utama dalam pengadilan (Melton, 2001).
Pemilihan mtDNA didasarkan pada pertimbangan bahwa mtDNA memiliki
jumlah molekul yang sangat banyak dalam tiap sel, sehingga sekalipun sampel
dalam keadaan rusak tetapi kemungkinan keberhasilan amplifikasi akan lebih
tinggi dibandingkan DNA inti.



II. 6. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan teknik in vitro untuk mengamplifikasi daerah spesifik suatu
DNA yang dibatasi oleh sepasang primer (oligonukleotida pendek) menggunakan
enzim DNA polimerase dan dNTP sebagai monomernya (Newton dan Graham,
1997; Innis dan Gelfand, 1990). Komponen PCR terdiri dari master mix dan
templat. Komposisi master mix PCR terdiri dari ddH2O sebagai pelarut, buffer
PCR untuk mempertahankan pH yang sesuai bagi kerja DNA polimerase, MgCl2
sebagai koenzim DNA polimerase, dNTP (dinukleosida trifosfat) sebagai
penyedia nukleotida-nukleotida yang akan digunakan untuk memperbanyak DNA,
primer M1 dan HV2R sebagai komponen yang akan mengenali daerah
amplifikasi, templat merupakan urutan DNA yang akan diamplifikasi, dan enzim
Taq DNA polymerase sebagai biokatalis yang membantu proses PCR (Noer et al.,
1994; Wilson et al., 1995)



14






Pada umumnya PCR berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) Denaturasi, yaitu
pemisahan DNA untai ganda menjadi tunggal karena terjadi pemutusan ikatan
hidrogen basa-basanya pada suhu tinggi (94-96oC); (2) Annealing, yaitu tahap
penempelan primer pada templat DNA. Suhu annealing dapat dihitung
berdasarkan nilai melting temperature (Tm) dari primer-primer yang digunakan;
(3) Extension, yaitu tahap reaksi polimerasi oleh enzim DNA polimerase
menggunakan dNTP sebagai monomernya dan dimulai dari ujung 3’ primer
sepanjang DNA templatnya hingga terbentuk untai DNA baru. Tahap ini
berlangsung pada temperatur saat enzim polimerase bekerja optimum. Waktu
yang dibutuhkan pada tahap ekstensi tergantung pada panjang fragmen yang
diamplifikasi dan kecepatan reaksi dari enzim DNA polimerase yang digunakan
(Barnes, 1994; Cheng et al., 1994; Cheng dan Kolmodin, 1997).


Ketiga tahap tersebut merupakan siklus yang berlangsung secara terus menerus.
Untuk menghasilkan produk yang banyak dibutuhkan sekitar 25-30 siklus. Secara
teori jumlah fragmen DNA yang dihasilkan selama n siklus PCR, dirumuskan
dengan (2n – 2n)x, dimana n = jumlah siklus, dan x = jumlah templat DNA
(Newton dan Graham, 1997; Innis dan Gelfand, 1990).



II. 7. Direct Sequencing dengan Metode Dideoksi -Sanger
Direct sequencing adalah suatu proses sekuensing menggunakan templat DNA
hasil PCR secara langsung tanpa melalui proses kloning. Dideoksi Sanger adalah
metode penentuan urutan nukleotida yang didasarkan pada terminasi basa spesifik
saat dilakukan sintesis DNA secara in vitro oleh enzim DNA polimerase
menggunakan satu primer. Basa spesifik yang digunakan adalah ddNTP yaitu
dideoksinukleosida trifosfat yang tidak memiliki gugus hidroksil pada karbon 3’
nya. Hilangnya gugus hidroksil ini menyebabkan DNA polimerase tidak dapat
mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester dengan dNTP atau ddNTP
berikutnya, sehingga tidak terjadi proses sintesis rantai DNA setelah reaksi
dengan ddNTP. Terminasi berlangsung secara acak sehingga dihasilkan untai
DNA yang panjangnya berbeda-beda (Newton dan Graham, 1997).



15






Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hasil sekuensing adalah jumlah
templat DNA, kemurnian DNA, kualitas primer, serta kontaminan seperti EDTA,
fenol, dan kadar garam yang tinggi. EDTA pada konsentrasi diatas 0,5 mM dapat
mengganggu ion Mg2+ sebagai kofaktor enzim DNA polimerase. Adanya fenol
dapat mengganggu dye fluorescent. Konsentrasi garam yang tinggi dapat
menginhibisi enzim (Robertson, 1996).