2.1 TINJAUAN TENTANG
DIABETES MELLITUS
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus (DM) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri,
polidipsi, polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau postprandial ≥ 200 mg/dL atau
glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL). Bila DM tidak segera di atasi akan terjadi
gangguan metabolisme lemak dan protein, dan resiko timbulnya gangguan
mikrovaskular atau makrovaskular meningkat. Peningkatan kadar glukosa darah
yang berkaitan dengan diabetes mellitus terjadi akibat sekresi insulin yang
tidak adekuat atau tidak ada, dengan atau tanpa gangguan kerja insulin.
Penyakit
yang mendasari diagnosis diabetes mellitus kini diklasifikasikan menjadi empat
kategori:
1.
DM
tipe 1 (insulin dependent diabetes
mellitus)
Adanya gangguan produksi insulin akibat
penyakit autoimun atau idiopatik. Tipe ini sering disebut insulin dependent
diabetes mellitus atau IDDM karena pasien mutlak membutuhkan insulin. Diabetes
tipe 1 ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan defisiensi insulin
absolute atau berat. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap
paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa
menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan
pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian
injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump,
yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat
dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus)
dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk
pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
2.
DM
tipe 2 (non insulin dependent diabetes
mellitus)
Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi
jaringan terhadap kerja insulin disertai defisiensi relative pada sekresi
insulin. Individu yang terkena dapat lebih resisten atau mengalami defisiensi
sel β yang parah, dan kelainannya dapat ringan atau parah. Meskipun insulin
diproduksi oleh sel β pada pasien ini, namun hal tersebut tidak cukup untuk
mengatasi resistensi, dan kadar glukosa darah meningkat. Individu dengan
diabetes tipe 2 mungkin tidak memerlukan insulin untuk bertahan hidup, namun
30% pasien atau lebih akan memperoleh keuntungan dari terapi insulin untuk
mengontrol glukosa darah. Sekitar 10-20% individu yang awalnya didiagnosis
menderita diabetes tipe 2 mungkin sebenarnya mengalami diabetes kombinasi tipe
1 dan tipe 2 atau tipe 1 yang progresif, dan akhirnya akan memerlukan
penggantian insulin sepenuhnya.
3.
DM
tipe 3
Sebutan tipe 3 merujuk pada berbagai
penyebab spesifik lain untuk peningkatan kadar glukosa darah: penyakit yang
tidak melibatkan pancreas, terapi obat, dll.
4.
DM
tipe 4 (diabetes mellitus gestasional)
Diabetes mellitus gestasional (GDM)
didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang ditemukan pertama kali
pada saat kehamilan. Selama kehamilan, plasenta dan hormon plasenta menimbulkan
resistensi insulin yang paling mencolok pada trimester ketiga. Penilaian resiko
timbulnya diabetes dianjurkan dimulai pada kunjungan prenatal pertama.
2.1.2 Epidemiologi
& Etiologi
Pharyngitis
Pada
tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya
terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan
bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat
di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara
berkembang. Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia dan Afrika, sebagai
akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan
“Western-style” yang tidak sehat.
Di Indonesia
sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari
24417 responden berusia >15 tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa
Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi
glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus yang
terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih
sering pada golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah
dengan angka penderita DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara
yaitu 11,1 %, sedangkan kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun
yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah
obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi
sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.
Etiologi
Penyebab
diabetes yang utama adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe I) atau kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun jika dirunut
lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM sebagai berikut :
1.
Genetik atau faktor keturunan
DM
sering diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita
DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan
anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan
DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum
laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan sebagai
pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya (Maulana,
Mirza:2008).
2.
Sindrom ovarium polikistik (PCOS)
Menyebabkan
peningkatan produksi androgen di ovarium dan resistensi insulin serta merupakan
salah satu kelainan endokrin tersering pada wanita, dan kira-kira mengenai 6
persen dari semua wanita, selama masa reproduksinya (Guyton and Hall, 2007).
3.
Virus dan bakteri
Virus
penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta. Virus ini mengakibatkan destruksi
atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi autoimunitas
yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Sedangkan bakteri masih
belum bisa dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan bahwa bakteri juga berperan
penting menjadi penyebab timbulnya DM (Maulana, Mirza, 2008).
4.
Bahan toksik atau beracun
Bahan
beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan, pyrineuron
(rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur) (Maulana,
Mirza:2008).
1.
Nutrisi
2.
Kadar Kortikosteroid yang tinggi
3.
Kehamilan diabetes gestational
4.
Obat-obtan yang dapat merusak pankreas
5.
Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin (Maulana,
Mirza:2008).
2.1.3
Patofisiologi Diabetes Melitus
2.1.4
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Diabetes
Melitus
Diagnosis
Diabetes Mellitus
Banyak
pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah
pada pemeriksaan laboratorium rutin. Para ahli masih berbeda pendapat mengenai
criteria diagnosis DM pada lanjut usia. Kemunduran intoleransi glukosa
bertambah sesuai dengan pertambahan usia, jadi batas glukosa pada DM
lanjut usia lebih tinggi dari pada orang dewasa yang menderita penyakit
DM.
Kriteria
diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO
1985:
a. Kadar
glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200mg/ dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg / dl pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO
Menurut Kane
et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan
kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila
kadar glukosa puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat
gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua kali
pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan. Pada
lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa
secara rutin sekali setahun, karena
pemeriksaan glukosuria tidak dapat dipercaya karena nilai ambang ginjalmeninggi
terhadap glukosa. Peningkatan TTGO pada
lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas
maupun kuantitas) maupun pascareseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel
lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun kepekaannya terhadap
insulin.
Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1994; PERKENI
2002):
a.
tiga hari sebelum
pemeriksaan makan seperti biasa ( karbohidrat cukup ).
b.
kegiartan jasmani yang
biasa dilakukan.
c.
puasa paling sedikit 8
jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan , minum air putih diperbolehkan.
d.
Diberikan glukosa 75 gram ( orang dewasa ) atau
1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam
waktu 5 menite.Diperiksa kadar glukosa darah
dua jam sesudah beban glukosaf.Selama
proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Dalam menegakkan diagnosis diabetes mellitus,
patokan yang dijadikan acuan tentu saja adalah pemeriksaan glukosa darah. Dalam
hal ini dikenal adanya istilah pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik
diabetes mellitus.
·
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring
ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala
diabetes mellitus tetapi memiliki resiko diabetes mellitus, yaitu: 1) Umur >
45 tahun, 2) Berat badan lebih (dengan kriteria: BBR > 110% BB idaman atau
IMT >23 kg/m2), 3) Hipertensi (≥ 140/90 mmHg), 4) Terdapat riwayat diabetes
mellitus dalam garis keturunan, 5) terdapat riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4000 gram, 6) Kadar kolesterol
HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl.
Pemeriksaan penyaring
dilakukan dengan memeriksa kadar gula darah sewaktu (GDS) atau gula darah puasa
(GDP), yang selanjutnya dapat dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) standar. Dari pemeriksaan GDS, disebut diabetes mellitus apabila
didapatkan kadar GDS ≥ 200 mg/dl dari sampel plasma vena ataupun darah kapiler.
Sedangkan pada pemeriksaan GDP, dikatakan sebagai diabetes mellitus apabila
didapatkan kadar GDP ≥ 126 mg/dl dari sampel plasma vena atau ≥ 110 mg/dl dari
sampel darah kapiler.
·
Uji Diagnostik
Uji diagnostik
dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes mellitus.
Bagi yang mengalami gejala khas diabetes mellitus, kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau
GDP ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus.
Sedangkan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes mellitus, apabila
ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus dilakukan pemeriksaan
ulang GDS/GDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan TTGO untuk mendapatkan
sekali lagi angka abnormal yang merupakan kriteria diagnosis diabetes mellitus
(GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau TTGO ≥ 200 mg/dl).
Manifestasi Klinis
Diabetes Mellitus
Keluhan klasik dari diabetes mellitus meliputi
empat hal, yaitu: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang juga dapat ditemukan
pada pasien diabetes mellitus antara lain pasien merasakan lemah, gatal,
kesemutan, pandangan kabur, serta adanya disfungsi ereksi pada pria ataupun
pruritus vulva pada wanita.
Keluhan umum
pada pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lanjut
usia pada umumnya tidak ada.
Sebaliknya yang sering mengganggu pasien
ialah keluhan akibatkomplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah
dan saraf. Pada DM lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi
akibat proses menjadi tua sehingga gambaran klinisnya bervariasi darikasus tanpa gejala
sampai dengan komplikasi yang lebih lanjut. Hal
yang sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah adanya
keluhan yang mengenai beberapa organ tubuh,antara lain :
•
Gangguan penglihatan: katarak
•
Kelainan kulit: gatal dan bisul-bisul
•
Kesemutan, rasa baal
•
Kelemahan tubuh
•
Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
•
Infeksi saluran kemihKelainan kulit berupa
gatal, biasanya terjadi di daerah genital ataupun daerah lipatan kulitlain, seperti di ketiak dan di bawah
payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering puladikeluhkan
timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau sembuh. Luka ini dapat
timbulakibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan
sebagainya. Rasa baal dankesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga
merupakan keluhan pasien, disamping keluhanlemah dan mudah merasa lelah.
Keluhan lain yang mungkin menyebabkan pasien datang berobatke dokter ialah
keluhan mata kabur yang disebabkan oleh katarak ataupun
gangguan-gangguanrefraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa akibat
hiperglikemia.
Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus
pada lanjut usia:
1. Penurunan berat badan yang drastis dan
katarak yang sering terjadi pada gejala awal.
2. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk
wanita) dan infeksi traktus urinariussulit untuk disembuhkan.
3. Disfungsi
neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan
otot dan rasa sakit,mononeuropati, disfungsi otomatis dari
traktus gastrointestinal (diare), sistem kardiovaskuler (hipotensi
ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan inkontinensia stress.
4. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskuler (iskemi, angina, dan
infark miokard), perdarahan intra serebral (TIA dan
stroke), atau perdarahan darah tepi (tungkai diabetes dangangren).
5. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit
makula, hemoragik, eksudat), ginjal (proteinuria,glomerulopati, uremia)
2.2 TINJAUAN TENTANG OBAT
ANTIADIABETIK
·
TERAPI
INSULIN
Insulin
masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2.
Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2 yang tidak dapat
diatasi hanya dengan diet dan atau antidiabetik oral, pasien DM
pascapankreatektomi atau DM dengan kehamilan, DM dengan ketoasidosis, koma
nonketosis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi (DM tipe 1 dan 2). Tujuan pemberian insulin
pada semua keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi
juga memperbaiki semua aspek metabolisme, dan yang terakhir inilah umumnya yang
sukar dicapai.
Pada
berbagai populasi DM tipe 1, rata-rata dosis insulin yang dibutuhkan berkisar
antara 0,6-0,7 U/kg berat badan per hari, sedangkan pasien obesitas membutuhkan
dosis lebih tinggi(2 U/kg berat badan per hari) karena adanya resistensi
jaringan perifer terhadap insulin.
·
OBAT
ANTIDIABETIK ORAL
Ada
5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan untuk DM yakni
golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat enzim α-glikosidase,
dan tiazolidinedion. Kelima golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang
tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.
1.
Golongan
Sulfonilurea
Dikenal
2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid , asetoheksimid
dan klorpropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain
gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid.
Mekanisme kerja
: merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas.
Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel β yang menimbulkan
depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya
kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel-β, merangsang granula yang
berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen
dengan peptida-C. Kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di
hepar.
Pada penggunaan jangka
panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
Farmakokinetik
: berbagai sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda, tetapi absorpsi
melalui saluran cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat
mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea
dengan masa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum
makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma terutama albumin ;
ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid.
Masa
paruh dan metabolisme sulfonilurea generasi I sangat bervariasi. Masa paruh
asetoheksamid pendek tetapi metabolit aktifnya, 1-hidroksi-heksamid masa
paruhnya lebih panjang, sekitar 4-5 jam, sama dengan tolbutamid dan tolazamid.
Sebaiknya sediaan ini diberikan dengan dosis terbagi. Sekitar 10% dari
metabolitnya diekskresi melalui empedu dan keluar bersama tinja.
Klorpropamid dalam
darah terikat albumin, masa paruhnya panjang, 24-48 jam, efeknya masih terlihat
beberapa hari setelah obat dihentikan. Metabolismenya di hepar tidak lengkap,
20% diekskresi utuh di urin.
Mula kerja Tolbutamid
cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam. Dalam darah 91-96% tolbutamid terikat
protein plasma, dan di hepar diubah menjadi karboksitolbutamid. Ekskresi
melalui ginjal.
Tolazamid,
absorpsi lebih lambat dari yang lain; efeknya pada glukosa darah belum nyata
untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh sekitar 7 jam, di hepar
diubah menjadi p-karboksitolazamid, 4-hidroksimetiltolazamid dan senyawa lain,
yang di antaranya memiliki sifat hipoglikemik cukup kuat.
Sulfonilurea
generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir 100x lebih besar dari
generasi I. Meski masa paruh pendek yakni hanya sekitar 3-5 jam, efek
hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam, sering cukup diberikan 1x sehari.
Glipizid,
absorpsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Dalam darah 98% terikat protein
plasma, potensinya 100x lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik
maksimalnya mirip dengan sulfonilurea lain. Metabolismenya di hepar menjadi
metabolit yang tidak aktif, sekitar 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan
utuh.
Gliburid
(glibenklamid), potensinya 200 x lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya
sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25 %
metabolitnya diekskresi melalui uri, sisanya melalui empedu.
Karena semua sulfonilurea
dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tak boleh
diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa Sulfonilurea tak boleh diberikan sebagai obat
tunggal pada pasien DM juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil,
DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat. Obat-obat tersebut harus
digunakan dengan sangat berhati-hati pada DM dengan gangguan fungsi hepar dan
ginjal, insufisiensi endokrin (adrenal, hipofisis dll), keadaan gizi buruk dan
pada pasien yang mendapat obat golongan lain (lihat interaksi). Juga penggunaan
harus berhati-hati pada alkoholisme akut serta pasien yang mendapat diuretik tiazid.
2.
Meglitinid
Repaglinid
dan nateglinid merupakan golongan meglitinid,
mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat
berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel β pankreas.
Pada pemberian oral
absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya
1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan.
Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10%
dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal
harus diberikan secara berhati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan
gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
3.
Biguanid
Dikenal 3 jenis ADO
dari golongan biguanid yakni fenformin, buformin dan metformin, tetapi yang
pertama telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis laktat.
Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin.
Mekanisme
kerja : biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik
tetapi suatu antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin
dan umumnya tidak menyebabkan
hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa dihepar dan
meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Preparat
ini tak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol, hormone
pertumbuhan, dan somatostatin.
Biguanid tidak
merangsang maupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada pasien
diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme
yang masih belum jelas; pada orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul
penurunan berat badan dan kadar glukosa darah.
Metformin oral akan
mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat protein plasma,
ekskresinya melalui urine dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2 jam.
Dosis awal 2 x 500 mg,
umumnya dosis pemeliharaan 3 x 500 mg , dosis maksimal 2,5 gram. Obat diminum
pada waktu makan. Pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonilurea
dapat diatasi dengan metformin, atau dapat pula diberikan sebagai terapi
kombinasi dengan insulin atau sulfonilurea.
Efek samping
: hampir 20% pasien dengan metformin
mengalami mual, muntah, diare serta kecap logam(metalic taste). Pada beberapa pasien yang mutlak bergantung pada
insulin eksogen, kadang-kadang biguanida menimbulkan ketosis yang tak disertai
dengan hiperglikemia. Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena defisiensi
insulin.
4.
Golongan
Tiazolidinedion
Tiazolidinedion
merupakan agonist yang poten dan selektif
PPARγ, mengaktifkan PPARγ membentuk kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah
GLUT baru. Di jaringan adiposa PPARγ mengurangi keluarnya asam lemak menuju ke
otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin.
Selain
itu glitazon juga menurunkan produksi glukosa hepar, menurunkan asam lemak
bebas di plasma dan remodelling jaringan adipose. Glitazon digunakan untuk DM
tipe 2 yang tidak memberi respons dengan diet dan latihan fisik, sebagai
monoterapi atau ditambahkan pada mereka yang tidak memberi respons pada obat
hipoglikemik lain (sulfonilurea, metformin) atau insulin.
5.
Penghambat
Enzim α-glikosidase
Obat
golongan penghambat enzim α-glikosidase ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat
kerja enzim α-glikosidase di brush border
intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan
pasien DM.
Karena kerjanya tak
mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping
hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut
atau DM yang glukosa postprandialnya
sangat tinggi. Di klinik sering digunakan bersama antidiabetik oral lain
dan / atau insulin.
Obat golongan ini
diberikan pada waktu mulai makan, dan absorpsi buruk.
Efek
samping yang bersifat dose-dependent,
antara lain malabsorpsi, flatulen, diare, dan abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya
dosis dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada saat mulai makan untuk selama 4-8
minggu, kemudian secara bertahap ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai dosis
maksimal 75 mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat
diberikan dengan makanan kecil(snack).
Akarbose
paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat, mengandung
polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbose
diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan
hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian sukrose,
polisakarida, atau maltosa.