tiga kategori bentuk tari

Terdapat tiga kategori bentuk tari yang sangat berbeda, yaitu:
a. Tari yang merupakan pelestarian dari masyarakat Indonesia masa prasejarah.
Jawa Barat sangat kaya dengan tarian. Intensi kegiatan tarian pada masa ini banyak
mengacu pada kegiatan-kegiatan sehari-hari, seperti bertani, rasa syukur pasca
panen, berburu, sampai pada peringatan akan kejadian tertentu atau seseorang yang
penting. Contohnya adalah tari Badaya Tarawangsa yang dilaksanakan setelah panen
untuk menghormati Dewi Sri, tari Randu Kentir untuk mendoakan arwah, dan lain-
lain.
b. Tari yang dalam proses pembentukan dan perkembangannya mendapat pengaruh dari
kebudayaan Hindu atau India.
Perkembangan seni di istana-istana di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsep
kenegaraannya yang mendewakan raja. Konsep ini datang dari budaya Hindu yang
dikenal dengan devaraja. Perkembangan seni di wilayah yang mempraktekkan konsep
devaraja mengarahkan lahirnya dua bentuk seni yang berbeda, yaitu seni yang
berkembang di kalangan istana dan seni yang berkembang di lingkungan rakyat jelata.
Konsep raja yang didewakan menjadikan semua seni yang berada di istana adalah
milik raja, termasuk seni tari yang dianggap sebagai hasil ciptaan raja.
c. Tari yang dalam proses pembentukan serta perkembangannya mendapat pengaruh
dari kebudayaan Islam.
Dalam mengajarkan syiar islam, para wali menggunakan kesenian agar lebih dekan
dan mudah dimengerti masyarakat pada jamannya. Para wali pun dipercaya telah
terlibat dalam banyak penciptaan tari dan menjadi inspirasi bagi terciptanya tari
tertentu. Perjalanan Nabi Muhamad SAW dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha terus
ke langit ketujuh dengan menunggang hewan mirip kuda bersayap yang disebut Buroq
menjadi dasar kesenian Buroqan yang sangat populer di daerah Cirebon. Selain itu,
dari properti pakaian dan alat musik yang digunakan juga banyak dipengaruhi budaya
Islam (timur tengah).