Tanah sebagai tubuh alam yang bebas menduduki sebagian besar permukaan bumi mampu menumbuhkan tanaman, karena memiliki sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam relief dan dalam jangka waktu tertentu. (Darmawijaya, 1997).
Kegiatan perencanaan tata guna tanah, faktor tanah merupakan salah satu sumber daya fisik yang sangat penting. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah yang menentukan potensi penggunaan tanah perlu diungkapkan dengan teliti dengan melakukan survai tanah di lapangan, dibantu dengan analisis tanah di laboratorium.
Survai tanah dimaksudkan untuk mendapatkan suatu gambaran tentang potensi dari suatu lahan dengan tingkat ketelitian tertentu. Berdasarkan tingkat ketelitiannya kegiatan survai tanah berhubungan dengan pemetaan tanah.
Tujuan survai tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya kedalam satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk penggunaan-penggunaan tanah tertentu (Hardjowigeno et al., 1999).
Peta tanah suatu daerah menunjukan tingkat heterogenitas tanah yang dibagi menjadi beberapa satuan unit pemetaan. Daerah yang mempunyai jenis tanah yang hampir sama, dikelompokan dalam satuan unit pemetaan dengan keterangan yang dijelaskan dalam legenda (Purbayanti et al., 1998).
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi-potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Pada dasarnya evaluasi lahan membutuhkan keterangan yang menyangkut tiga aspek yaitu : lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari kegiatan survei sunberdaya alam, termasuk survei tanah. Survei sumberdaya lahan akan menyajikan berbagai keterangan dalam bentuk faktor-faktor lingkungan yang dipetakan (Sitorus, 1985).
Kegiatan evaluasi lahan meliputi interpretasi dan survai dasar tentang iklim, bentuk lahan, tanah dan vegetasi serta aspek lahan lainnya yang diperlukan untuk berbagai tipe penggunaan lahan. Hal tersebut dikarenakan sifat lingkungan fisik yang mencakup iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, hidrologi dan persyaratan penggunaan tertentu akan menentukan potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian.
Dalam evaluasi lahan, sifat-sifat lingkungan fisik dan kimia suatu wilayah dirinci dalam kualitas lahan dan setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu karakteristik lahan, yang umumnya memiliki hubungan satu sama lainnya. Karakteristik lahan adalah sifat-sifat tanah yang dapat diukur atau diduga. Kualitas lahan adalah sifat tanah yang kompleks dan berperan pada penggunaan lahan yang spesifik (CSR/FAO, 1983).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu yang ditinjau dari sifat-sifat tanah sesuai dengan usaha tani atau komoditas yang produktif. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh jenis penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensial lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut. Evaluasi kesesuaian lahan ini menghubungkan masing-masing satuan peta dengan penggunaan lahan tertentu.
Setelah melakukan kegiatan evaluasi lahan, maka dapat dilakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk suatu usaha pertanian berdasarkan kriteria yang dimiliki lahan tersebut. Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaian atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu (Hardjowigeno et al., 1999).
Menurut CSR/FAO (1983), sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri dari tiga kategori, yaitu :
1. Kesesuaian lahan tingkat order, yaitu menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tingkat order ini terbagi dua, yaitu :
a. Order N (tidak sesuai), yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas sedemikian rupa sehingga penggunaannya secara lestari untuk tujuan tertentu.
b. Order S (sesuai), yaitu lahan yang dapat digunakan dalam waktu yang tak terbatas untuk suatu penggunaan tertentu tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.
2. Kesesuaian lahan tingkat kelas, yang merupakan pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari order. Kesesuaian tingkat kelas ini terdiri dari lima kelas, yaitu :
a. Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan yang tidak memiliki pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
b. Kelas S2 (cukup sesuai), yaitu lahan yang memiliki pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukkan yang diperlukan.
c. Kelas S3 (hampir sesuai), yaitu lahan yang memiliki pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukkan yang diperlukan.
d. Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini), lahan ini memiliki pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, namun tidak dapat diperbaiki dengan biaya normal.
e. Kelas N2 (tidak sesuai unttuk selamanya), yaitu lahan yang memiliki pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan jangka panjang.
B. Karakteristik Kesesuaian Lahan
Berdasarkan kriteria CSR/FAO (1983), ada beberapa karateristik lahan yang dapat menjadi faktor pembatas dalam menentukan kelas lahan, diantaranya regim temperatur (t), ketersediaan air (w), Retensi unsur hara (f), kondisi perakaran (r), ketersediaan unsur hara (n) dan tofografi (s). Untuk secara rincinya akan diuraikan sebagai berikut.
1. Temperatur (t)
Temperatur merupakan faktor utama yang mempengaruhi tahap perkembangan suatu tanaman mulai dari periode penanaman sampai dengan panen. Untuk dataran rendah di Indonesia, rata-rata temperatur harian lebih dari 200C dan bukan merupakan faktor pembatas yang nyata dalam batas pertumbuhan yang tersedia (Bunting, 1991).
Faktor iklim khususnya temperatur faktor alam yang tidak dapat diberikan masukan input untuk merubahnya dalam meningkatkan kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan pertanian disuatu daerah.
2. Ketersediaan Air (w)
Air terdapat dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh massa tanah atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan menahan air, besarnya evapotranspirasi dan tingginya muka air tanah. Air diperlukan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan proses metabolisme seperti, transpirasi, asimilasi, pengangkutan unsur hara dan hasil fotosintesis dari daun keseluruh bagian tanaman.
Air diperlukan tanaman dapat berasal dari tanah, air harus tersedia pada saat tumbuhan memerlukannya. Ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh iklim (curah hujan) air yang diabsorbsi oleh tanaman tidak melalui air yang mengalir secara bebas melainkan berdifusi kedalam akar tanaman (Hakim et al, 1986).
Curah hujan merupakan unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan air dalam tanah. Hal ini berpengaruh pula terhadap pola tanam, khususnya bila tidak tersedia namun tidak semua hujan yang jatuh pada permukaan tanah adalah efektif karena ditentukan oleh intensitas hujan, sifat fisik tanah, tofografi dan jenis tanaman yang dibudidayakan.
Hujan merupakan satu-satunya sumber yang praktis pada persediaan air yang segar yang dapat diperbaharui untuk penggunaan pada bidang pertanian, industri dan domestik (Schwab et al, 1992).
3. Retensi Unsur Hara
Retensi hara merupakan kemampuan untuk memegang dan melepaskan hara, dalam retensi hara ini dipengaruhi oleh: a). Reaksi Tanah dan b). Kapasitas tukar kation (KTK).
a. Reaksi Tanah
Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, maka semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain, ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. pada tanah-tanah yang masam, jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH-, maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7.
Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH-nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, sedangkan untuk tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan pH-nya dengan penambahan belerang (Hardjowigeno, 1995).
b. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kation ialah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg++, K+ dan sebagainya. Di dalam tanah, kation-kation tersebut terlarut dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 gram) dinamakan Kapasitas Tukar Kation. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 1995).
Menurut Indranada (1994), KTK dipengaruhi oleh jenis dan jumlah koloid. Jenis mineral liat dan kadar bahan organik tanah juga sangat menentukan nilai kapasitas tersebut. KTK pada tanah-tanah tropika juga tergantung pada pH tanah.
Nilai KTK beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Nilai KTK itu sendiri dipengaruhi oleh : 1). Reaksi tanah, 2). Tekstur tanah dan jumlah koloid, 3). Jenis mineral liat, 4). Bahan organik, 5). Pengapuran serta pemupukan (Nyakpa et al, 1988).
4. Kondisi Perakaran
a. Drainase Tanah
Drainase adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk tofografi, struktur, permeabilitas dan keberadaan atau ketersediaan air yang berasal dari curah hujan, rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi. Drainase yang baik memungkinkan difusi oksigen dari akar tanaman, juga akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme aerobik dalam tanah, yang akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara (Hakim et al., 1986).
Menurut Darmawijaya (1997), drainase tanah adalah kecepatan perpindahan air dari suatu bidang lahan, baik berupa run-off maupun peresapan air ke dalam tanah. Drainase merupakan faktor penting yang mempengaruhi penggunaan tanah, kesuburan dan produktivitas tanah.
Tingkat drainase tanah alami dipengaruhi oleh kecepatan perkolasi air melalui tanah, aerasi dan bagian tanaman khusus. Komposisi udara dalam tanah tergantung pada aerasi. Pada drainase yang baik tanah memiliki kelembaban dan kandungan karbondioksida lebih tinggi dari atmosfer, aerasi yang terbatas di dalam tanah dan drainase tanah yang jelek, atau pada kondisi tergenang maka kandungan oksigen akan menurun, dan kecepatan difusi ke akar tanaman terbatas. Pada tanah yang mempunyai drainase yang sangat tinggi maka kehilangan unsur hara melalui pencucian juga akan meningkat (Bunting, 1981).
b. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara pasir, debu, dan liat yang dinyatakan dalam bentuk persen. Tekstur tanah tersebut dapat menunjukkan kasar halusnya tanah. Dalam klasifikasi tanah tingkat famili, kasar halusnya tanah ditunjukkan dalam sebaran butir yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah (Harjowigeno, 1995).
Tekstur tanah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, infiltrasi, laju pergerakan air (perkolasi), dan juga peredaran air dalam tanah (aerasi). Dengan demikian maka secara tidak langsung tekstur tanah juga dapat mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisien dalam pemupukan.
Tanah terdiri dari butir-butir tanah sebagai ukuran. Bagian tanah yang berukuran lebih dari 2 mm disebut bahan kasar (kerikil sampai batu). Bahan-bahan tanah yang lebih halus dapat dibedakan menjadi pasir (2 mm – 50 µ), debu (50 µ - 2 µ) dan liat (kurang dari 2 µ).
c. Kedalamam Efektif
kedalaman efektif adalah kedalaman tanah sampai sejauh mana tanah dapat ditembus oleh air tanaman, menyimpan cukup air dan hara. Air tanah yang dangkal, lapisan padat yang sulit ditembus akar, batuan atau bahan induk tanah, adanya butir-butir atau lapisan krikil adalah contoh faktor penghambat perkembangan akar tanaman, kedalaman efektif yang ideal adalah lebih dari 100 cm (Hardjowigeno, 1995).
Menurut Sarief (1993), akar akan menghisap hara yang larut dalam air pada kedalaman tanah tertentu, tergantung pada perkembangan dan kedalaman penetrasi akar. Pada perkembangan akar yang tidak normal akibat adanya rintangan dalam menembus tanah, maka unsur hara yang terdapat jauh di bawah jangkauan daya isap akar tidak dapat diserap.
Menurut Hardjowigeno (1995), kedalaman efektif adalah kedalaman sampai kerikil, yang dikelompokkan sebagai berikut :
K0 = dalam : > 90 cm
K1 = sedang : 90 – 50 cm
K2 = dangkal : 50 – 25 cm
K3 = sangat dangkal : < 25 cm
5. Ketersediaan Unsur Hara
Ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah terdapat dalam bentuk tersedia, tidak tersedia dan bentuk cadangan. Unsur hara tersedia adalah unsur yang ada dalam bentuk kimia yang dapat diserap oleh akar tanaman. Persediaan cadangan hara dalam tanah bergabung dalam mineral batuan tidak tersedia untuk tanaman, tetapi secara potensial ada dalam bentuk tersedia. Unsur hara tidak tersedia merupakan unsur yang tidak dapat diserap oleh akar tanaman.
Untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi 9 unsur makro dan 7 unsur mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang lebih banyak dibutuhkan bagi tanaman sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan oleh tanaman lebih sedikit (Hakim et al,. 1986). Kedua golongan ini harus berada dalam keadaan yang seimbang, sehingga tanah menjadi subur dalam hal tersebut akan berdampak bagi tanaman.
Menurut Hardjowigeno (1985), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yaitu, jumlah hara yang ada di dalam tanah, bentuk hara tersebut berada, dan kemampuan sistem vegetasi tanah untuk mensuplai hara selama periode akhir dari tanaman.
Ketersediaan unsur hara tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dalam tanah. Unsur hara makro dan unsur hara mikro harus berada dalam keadaan seimbang. Sisa tanaman juga akan menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Keberadaan bahan organik di dalam tanah akan menunjang aktivitas mikroorganisme tanah, sehingga tanah akan menjadi subur dan unsur hara yang di perlukan oleh tanaman akan menjadi tersedia. Dengan demikian, maka tanaman akan dapat tumbuh dengan baik.
6. Topografi
Faktor topografi yang dinilai adalah kecuraman lereng. Lereng yang lebih curam memerlukan banyak tenaga dan biaya yang cukup besar dalam pengolahannya. Topografi sangat mempengaruhi kondisi drainase dan permukaan air pada daerah yang kemiringannya besar sering terjadi erosi tanah. Akibatnya tanah-tanah pada kemiringan yang besar akan memiliki solum yang tipis, kandungan bahan organik yang rendah bila dibandingkan dengan tanah-tanah bergelombang dan datar.
Faktor lereng yang dinilai adalah faktor kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng. Pengelolaan tanah pada lereng yang lebih curam memerlukan tenaga dan biaya yang besar daripada daerah datar (Hardjowigeno et al,. 1999).
Topografi berperan dalam menentukan kecepatan dan volume limpasan permukaan. Dua unsur topografi yang berpengaruh adalah panjang lereng dan kemiringan lereng (Arsyad, 1989).
Menurut Hardjowigeno (1995), faktor topografi yang dinilai adalah kemiringan lereng. Tanah yang bergelombang dengan bentuk yang seragam dan lerengnya panjang akan terdapat perbedaan yang penting dalam syarat-syarat pengelolaan tanah, dibandingkan dengan tanah yang mempunyai kecuraman lereng yang sama tapi dalam bentuk tidak seragam dan lerengnya rendah.
Semakin panjang lereng, maka volume kelebihan air yang berakumulasi diatasnya menjadi lebih besar dan kemudian semua akan turun dengan volume dan kecepatan yang meningkat.
Kegiatan perencanaan tata guna tanah, faktor tanah merupakan salah satu sumber daya fisik yang sangat penting. Oleh karena itu, sifat-sifat tanah yang menentukan potensi penggunaan tanah perlu diungkapkan dengan teliti dengan melakukan survai tanah di lapangan, dibantu dengan analisis tanah di laboratorium.
Survai tanah dimaksudkan untuk mendapatkan suatu gambaran tentang potensi dari suatu lahan dengan tingkat ketelitian tertentu. Berdasarkan tingkat ketelitiannya kegiatan survai tanah berhubungan dengan pemetaan tanah.
Tujuan survai tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya kedalam satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk penggunaan-penggunaan tanah tertentu (Hardjowigeno et al., 1999).
Peta tanah suatu daerah menunjukan tingkat heterogenitas tanah yang dibagi menjadi beberapa satuan unit pemetaan. Daerah yang mempunyai jenis tanah yang hampir sama, dikelompokan dalam satuan unit pemetaan dengan keterangan yang dijelaskan dalam legenda (Purbayanti et al., 1998).
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi-potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Pada dasarnya evaluasi lahan membutuhkan keterangan yang menyangkut tiga aspek yaitu : lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari kegiatan survei sunberdaya alam, termasuk survei tanah. Survei sumberdaya lahan akan menyajikan berbagai keterangan dalam bentuk faktor-faktor lingkungan yang dipetakan (Sitorus, 1985).
Kegiatan evaluasi lahan meliputi interpretasi dan survai dasar tentang iklim, bentuk lahan, tanah dan vegetasi serta aspek lahan lainnya yang diperlukan untuk berbagai tipe penggunaan lahan. Hal tersebut dikarenakan sifat lingkungan fisik yang mencakup iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, hidrologi dan persyaratan penggunaan tertentu akan menentukan potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian.
Dalam evaluasi lahan, sifat-sifat lingkungan fisik dan kimia suatu wilayah dirinci dalam kualitas lahan dan setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu karakteristik lahan, yang umumnya memiliki hubungan satu sama lainnya. Karakteristik lahan adalah sifat-sifat tanah yang dapat diukur atau diduga. Kualitas lahan adalah sifat tanah yang kompleks dan berperan pada penggunaan lahan yang spesifik (CSR/FAO, 1983).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu yang ditinjau dari sifat-sifat tanah sesuai dengan usaha tani atau komoditas yang produktif. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah. Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh jenis penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensial lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut. Evaluasi kesesuaian lahan ini menghubungkan masing-masing satuan peta dengan penggunaan lahan tertentu.
Setelah melakukan kegiatan evaluasi lahan, maka dapat dilakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk suatu usaha pertanian berdasarkan kriteria yang dimiliki lahan tersebut. Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaian atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu (Hardjowigeno et al., 1999).
Menurut CSR/FAO (1983), sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri dari tiga kategori, yaitu :
1. Kesesuaian lahan tingkat order, yaitu menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tingkat order ini terbagi dua, yaitu :
a. Order N (tidak sesuai), yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas sedemikian rupa sehingga penggunaannya secara lestari untuk tujuan tertentu.
b. Order S (sesuai), yaitu lahan yang dapat digunakan dalam waktu yang tak terbatas untuk suatu penggunaan tertentu tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.
2. Kesesuaian lahan tingkat kelas, yang merupakan pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari order. Kesesuaian tingkat kelas ini terdiri dari lima kelas, yaitu :
a. Kelas S1 (sangat sesuai), yaitu lahan yang tidak memiliki pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
b. Kelas S2 (cukup sesuai), yaitu lahan yang memiliki pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukkan yang diperlukan.
c. Kelas S3 (hampir sesuai), yaitu lahan yang memiliki pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukkan yang diperlukan.
d. Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini), lahan ini memiliki pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, namun tidak dapat diperbaiki dengan biaya normal.
e. Kelas N2 (tidak sesuai unttuk selamanya), yaitu lahan yang memiliki pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan jangka panjang.
B. Karakteristik Kesesuaian Lahan
Berdasarkan kriteria CSR/FAO (1983), ada beberapa karateristik lahan yang dapat menjadi faktor pembatas dalam menentukan kelas lahan, diantaranya regim temperatur (t), ketersediaan air (w), Retensi unsur hara (f), kondisi perakaran (r), ketersediaan unsur hara (n) dan tofografi (s). Untuk secara rincinya akan diuraikan sebagai berikut.
1. Temperatur (t)
Temperatur merupakan faktor utama yang mempengaruhi tahap perkembangan suatu tanaman mulai dari periode penanaman sampai dengan panen. Untuk dataran rendah di Indonesia, rata-rata temperatur harian lebih dari 200C dan bukan merupakan faktor pembatas yang nyata dalam batas pertumbuhan yang tersedia (Bunting, 1991).
Faktor iklim khususnya temperatur faktor alam yang tidak dapat diberikan masukan input untuk merubahnya dalam meningkatkan kesesuaian lahan untuk pengembangan lahan pertanian disuatu daerah.
2. Ketersediaan Air (w)
Air terdapat dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh massa tanah atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan menahan air, besarnya evapotranspirasi dan tingginya muka air tanah. Air diperlukan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan proses metabolisme seperti, transpirasi, asimilasi, pengangkutan unsur hara dan hasil fotosintesis dari daun keseluruh bagian tanaman.
Air diperlukan tanaman dapat berasal dari tanah, air harus tersedia pada saat tumbuhan memerlukannya. Ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh iklim (curah hujan) air yang diabsorbsi oleh tanaman tidak melalui air yang mengalir secara bebas melainkan berdifusi kedalam akar tanaman (Hakim et al, 1986).
Curah hujan merupakan unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan air dalam tanah. Hal ini berpengaruh pula terhadap pola tanam, khususnya bila tidak tersedia namun tidak semua hujan yang jatuh pada permukaan tanah adalah efektif karena ditentukan oleh intensitas hujan, sifat fisik tanah, tofografi dan jenis tanaman yang dibudidayakan.
Hujan merupakan satu-satunya sumber yang praktis pada persediaan air yang segar yang dapat diperbaharui untuk penggunaan pada bidang pertanian, industri dan domestik (Schwab et al, 1992).
3. Retensi Unsur Hara
Retensi hara merupakan kemampuan untuk memegang dan melepaskan hara, dalam retensi hara ini dipengaruhi oleh: a). Reaksi Tanah dan b). Kapasitas tukar kation (KTK).
a. Reaksi Tanah
Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, maka semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain, ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. pada tanah-tanah yang masam, jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH-, maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7.
Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH-nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, sedangkan untuk tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan pH-nya dengan penambahan belerang (Hardjowigeno, 1995).
b. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kation ialah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg++, K+ dan sebagainya. Di dalam tanah, kation-kation tersebut terlarut dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 gram) dinamakan Kapasitas Tukar Kation. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 1995).
Menurut Indranada (1994), KTK dipengaruhi oleh jenis dan jumlah koloid. Jenis mineral liat dan kadar bahan organik tanah juga sangat menentukan nilai kapasitas tersebut. KTK pada tanah-tanah tropika juga tergantung pada pH tanah.
Nilai KTK beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Nilai KTK itu sendiri dipengaruhi oleh : 1). Reaksi tanah, 2). Tekstur tanah dan jumlah koloid, 3). Jenis mineral liat, 4). Bahan organik, 5). Pengapuran serta pemupukan (Nyakpa et al, 1988).
4. Kondisi Perakaran
a. Drainase Tanah
Drainase adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk tofografi, struktur, permeabilitas dan keberadaan atau ketersediaan air yang berasal dari curah hujan, rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi. Drainase yang baik memungkinkan difusi oksigen dari akar tanaman, juga akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme aerobik dalam tanah, yang akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara (Hakim et al., 1986).
Menurut Darmawijaya (1997), drainase tanah adalah kecepatan perpindahan air dari suatu bidang lahan, baik berupa run-off maupun peresapan air ke dalam tanah. Drainase merupakan faktor penting yang mempengaruhi penggunaan tanah, kesuburan dan produktivitas tanah.
Tingkat drainase tanah alami dipengaruhi oleh kecepatan perkolasi air melalui tanah, aerasi dan bagian tanaman khusus. Komposisi udara dalam tanah tergantung pada aerasi. Pada drainase yang baik tanah memiliki kelembaban dan kandungan karbondioksida lebih tinggi dari atmosfer, aerasi yang terbatas di dalam tanah dan drainase tanah yang jelek, atau pada kondisi tergenang maka kandungan oksigen akan menurun, dan kecepatan difusi ke akar tanaman terbatas. Pada tanah yang mempunyai drainase yang sangat tinggi maka kehilangan unsur hara melalui pencucian juga akan meningkat (Bunting, 1981).
b. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara pasir, debu, dan liat yang dinyatakan dalam bentuk persen. Tekstur tanah tersebut dapat menunjukkan kasar halusnya tanah. Dalam klasifikasi tanah tingkat famili, kasar halusnya tanah ditunjukkan dalam sebaran butir yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah (Harjowigeno, 1995).
Tekstur tanah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, infiltrasi, laju pergerakan air (perkolasi), dan juga peredaran air dalam tanah (aerasi). Dengan demikian maka secara tidak langsung tekstur tanah juga dapat mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisien dalam pemupukan.
Tanah terdiri dari butir-butir tanah sebagai ukuran. Bagian tanah yang berukuran lebih dari 2 mm disebut bahan kasar (kerikil sampai batu). Bahan-bahan tanah yang lebih halus dapat dibedakan menjadi pasir (2 mm – 50 µ), debu (50 µ - 2 µ) dan liat (kurang dari 2 µ).
c. Kedalamam Efektif
kedalaman efektif adalah kedalaman tanah sampai sejauh mana tanah dapat ditembus oleh air tanaman, menyimpan cukup air dan hara. Air tanah yang dangkal, lapisan padat yang sulit ditembus akar, batuan atau bahan induk tanah, adanya butir-butir atau lapisan krikil adalah contoh faktor penghambat perkembangan akar tanaman, kedalaman efektif yang ideal adalah lebih dari 100 cm (Hardjowigeno, 1995).
Menurut Sarief (1993), akar akan menghisap hara yang larut dalam air pada kedalaman tanah tertentu, tergantung pada perkembangan dan kedalaman penetrasi akar. Pada perkembangan akar yang tidak normal akibat adanya rintangan dalam menembus tanah, maka unsur hara yang terdapat jauh di bawah jangkauan daya isap akar tidak dapat diserap.
Menurut Hardjowigeno (1995), kedalaman efektif adalah kedalaman sampai kerikil, yang dikelompokkan sebagai berikut :
K0 = dalam : > 90 cm
K1 = sedang : 90 – 50 cm
K2 = dangkal : 50 – 25 cm
K3 = sangat dangkal : < 25 cm
5. Ketersediaan Unsur Hara
Ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah terdapat dalam bentuk tersedia, tidak tersedia dan bentuk cadangan. Unsur hara tersedia adalah unsur yang ada dalam bentuk kimia yang dapat diserap oleh akar tanaman. Persediaan cadangan hara dalam tanah bergabung dalam mineral batuan tidak tersedia untuk tanaman, tetapi secara potensial ada dalam bentuk tersedia. Unsur hara tidak tersedia merupakan unsur yang tidak dapat diserap oleh akar tanaman.
Untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi 9 unsur makro dan 7 unsur mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang lebih banyak dibutuhkan bagi tanaman sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan oleh tanaman lebih sedikit (Hakim et al,. 1986). Kedua golongan ini harus berada dalam keadaan yang seimbang, sehingga tanah menjadi subur dalam hal tersebut akan berdampak bagi tanaman.
Menurut Hardjowigeno (1985), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yaitu, jumlah hara yang ada di dalam tanah, bentuk hara tersebut berada, dan kemampuan sistem vegetasi tanah untuk mensuplai hara selama periode akhir dari tanaman.
Ketersediaan unsur hara tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dalam tanah. Unsur hara makro dan unsur hara mikro harus berada dalam keadaan seimbang. Sisa tanaman juga akan menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Keberadaan bahan organik di dalam tanah akan menunjang aktivitas mikroorganisme tanah, sehingga tanah akan menjadi subur dan unsur hara yang di perlukan oleh tanaman akan menjadi tersedia. Dengan demikian, maka tanaman akan dapat tumbuh dengan baik.
6. Topografi
Faktor topografi yang dinilai adalah kecuraman lereng. Lereng yang lebih curam memerlukan banyak tenaga dan biaya yang cukup besar dalam pengolahannya. Topografi sangat mempengaruhi kondisi drainase dan permukaan air pada daerah yang kemiringannya besar sering terjadi erosi tanah. Akibatnya tanah-tanah pada kemiringan yang besar akan memiliki solum yang tipis, kandungan bahan organik yang rendah bila dibandingkan dengan tanah-tanah bergelombang dan datar.
Faktor lereng yang dinilai adalah faktor kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng. Pengelolaan tanah pada lereng yang lebih curam memerlukan tenaga dan biaya yang besar daripada daerah datar (Hardjowigeno et al,. 1999).
Topografi berperan dalam menentukan kecepatan dan volume limpasan permukaan. Dua unsur topografi yang berpengaruh adalah panjang lereng dan kemiringan lereng (Arsyad, 1989).
Menurut Hardjowigeno (1995), faktor topografi yang dinilai adalah kemiringan lereng. Tanah yang bergelombang dengan bentuk yang seragam dan lerengnya panjang akan terdapat perbedaan yang penting dalam syarat-syarat pengelolaan tanah, dibandingkan dengan tanah yang mempunyai kecuraman lereng yang sama tapi dalam bentuk tidak seragam dan lerengnya rendah.
Semakin panjang lereng, maka volume kelebihan air yang berakumulasi diatasnya menjadi lebih besar dan kemudian semua akan turun dengan volume dan kecepatan yang meningkat.