Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana adalah mengenai bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama bahwa dalam KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, yaitu:
1. Absorbsi Stelsel
Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan.
Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat.
Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam
Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel
Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut.
Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
4. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya.
Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.
Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.
Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan perbuatan maka menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Abdul al Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri’ al Jinaiy al Islami menjelaskan bahwa menurutnya dalam hukum positif terdapat tiga metode yang berkaitan dengan gabungan jarimah ini, yaitu:
1. Metode Penggabungan (al-Jam’u). Metode ini menghendaki diterapkannya ini disebut juga dengan teori kumulasi atau teori berganda.atas pelaku kejahatan, hukuman bagi tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, teori
2. Metode Penyerapan (al-Jabbu) yaitu memberikan hukuman yang paling berat di antara hukuman-hukuman yang lain yang harus diberikan. Metode ini menghendaki agar pelaku kejahatan tidak menerima hukuman kecuali hukuman yang paling berat atas beberapa jarimah yang dilakukannya. Teori ini disebut juga teori Absorbsi.
3. Metode Pencampuran (al-Mukhtalath) yaitu adanya penggabungan beberapa jenis hukuman namun tidak melampaui batas tertentu.
1. Absorbsi Stelsel
Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan.
Dalam hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat.
Dasar daripada sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam
Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel
Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut.
Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
4. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya.
Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.
Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya meringankan terdakwa.
Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan perbuatan maka menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Abdul al Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri’ al Jinaiy al Islami menjelaskan bahwa menurutnya dalam hukum positif terdapat tiga metode yang berkaitan dengan gabungan jarimah ini, yaitu:
1. Metode Penggabungan (al-Jam’u). Metode ini menghendaki diterapkannya ini disebut juga dengan teori kumulasi atau teori berganda.atas pelaku kejahatan, hukuman bagi tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, teori
2. Metode Penyerapan (al-Jabbu) yaitu memberikan hukuman yang paling berat di antara hukuman-hukuman yang lain yang harus diberikan. Metode ini menghendaki agar pelaku kejahatan tidak menerima hukuman kecuali hukuman yang paling berat atas beberapa jarimah yang dilakukannya. Teori ini disebut juga teori Absorbsi.
3. Metode Pencampuran (al-Mukhtalath) yaitu adanya penggabungan beberapa jenis hukuman namun tidak melampaui batas tertentu.