Hubungan Komponen Kimia Kayu dengan Sifat Pulp

Casey (1960) dalam Simatupang (1999) menyatakan bahwa komponen kimia

kayu berpengaruh terhadap pulp yang dihasilkan. Komponen kimia yang paling penting

adalah senyawa organiknya yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin dan ekstraktif. Kadar



14






komponen kimia tersebut sangat beragam karena adanya pengaruh faktor genetika dan

lingkungan (Brown Panshin and Forsaith, 1952 dalam Simatupang, 1999). Keragaman

komponen kimia tersebut mempengaruhi jumlah larutan pemasak yang dibutuhkan,

kondisi pemasakan, rendemen pulp, mutu pulp dan kebutuhan bahan pemutih (Casey,

1952 dalam Simatupang, 1999).

Dalam pembuatan pulp secara kimia baik dalam laboratorium maupun di dalam

pabrik prinsipnya selalu sama, yaitu mereaksikan bahan baku dengan zat-zat yang

diharapkan akan melarutkan zat-zat non selulosa dengan sedikit mungkin merubah

selulosa. Pada umumnya tidaklah mungkin memisahkan selulosa tersebut dari senyawa

lainnya tanpa mempengaruhi selnya (Casey, 1960). Selulosa merupakan senyawa yang

paling diharapkan tinggal pada akhir pembuatan pulp karena menentukan rendemen

pulp dan berpengaruh pada ikatan antar serat serta kualitas kertasnya (Panshin dan de

Zeeuw, 1970 dalam Formanita 2007). Panjang rantai molukul solulosa berpengaruh

terhadap sifat fisik serabut selulosa. Semakin panjang rantai molukul solulosa maka

serabut selulosa semakin kuat dan tahan terhadap pengaruh degradasi oleh panas, kimia

dan serangan biologis.

Casey (1960) menyatakan pula bahwa hemiselulosa berpengaruh positif terhadap

kekuatan kertas. Kadar hemiselulosa yang tinggi mengakibatkan pulp mudah digiling

dan berkekuatan tinggi pada pembentukan kertas, demikian pula sebaliknya. Kandungan

hemiselulosa terbukti berhubungan dengan hidrasi pulp yang cepat dan menghasilkan

kertas yang jernih. Lebih khusus lagi, Hemiselulosa sangat hidropolik (water-loving)

dan memegang peranan penting pada kemampuan serat untuk mengabsorbsi air selama



15






penggilingan dan penghalusan. Akibatnya hemiselulosa ini mempromosikan lubrikasi

internal dari seratnya yang mengkibatkan perbaikan fleksibilitas, perbaikan penghalusan

mesin dan meningkatkan kerapatan kertas. Hemiselulosa juga meningkatkan kerapatan

kertas. Hemiselulosa juga bereaksi sebagai suatu agen ikatan antar atau perekat yanjg

memperkuat kertas (Parham,1980 dalam Ayu, 2008).

Proses pemasakan pulp secara kimia bertujuan untuk menghilangkan zat-zat non

selulosa diantaranya lignin, karena lignin menyebabkan kertas yang dihasilkan bersifat

kaku dan mudah berubah warnanya (Haygreen dan Bowyer, 1989). Lignin menyebabkan

ikatan antar serat lebih lemah, mengurangi fleksibilitas serat, mengurangi penyerapan air

dan mengurangi pembengkakan serat (Mcdonneii and May, 1959 dalam Ayu, 2008).

Semakin kecil kadar lignin, semakin besar kekuatan ikatan antar serat, hal ini

ditunjukkan oleh besarnya kekuatan tarik dan kekuatan jebol yang semakin tinggi, tetapi

rendemen pulp akan semakin rendah (Soenardi, 1976). Kayu dengan kadar lignin tinggi

akan menghasilkan pulp dengan bilangan permanganat tinggi, yang akan menurunkan

rendemen pulp yang dihasilkan (Alaudin dan Triyanto, 1979).

Dadswell dkk., 1959 menyatakan bahwa kehadiran bahan ekstraktif pada kayu

akan berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan dan mengkomsumsi banyak bahan

kimia dalam pemasakannya, sehingga kehadirannya tidak diharapkan dalam pembuatan

pulp kertas. Dalam pembuatan pulp secara kimia baik dalam laboratorium maupun di

dalam pabrik, prinsipnya selalu sama, yaitu mereaksikan bahan baku dengan zat-zat

yang diharapkan akan melarutkan zat-zat non selulosa dengan sesedikit mungkin



16






merubah selulosa. Pada umumnya tidaklah mungkin memisahkan selulosa tersebut dari

senyawa lainnya tanpa mempengaruhi selnya (Casey, 1960 dalam Silaen ,1995)

Lignin adalah salah satu komponen penyusun dinding sel tanaman. Tanaman

terbentuk dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Komposisi bahan penyusun dan jumlah

kandungan lignin sangat bervariasi dan bergantung pada jenis tanaman (Fengel dan

Wegener, 1995).

Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen

penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Menurut Prayitno (1992)

fungsi lignin adalah sebagai bahan penguat, pengeras atau penegak rangkaian benang

selulosa sehingga mencapai tingkat kekuatan yang tinggi. Lignin terbentuk dari gugus

aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon.

Pada proses hidrolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis berupa fenol, terutama

kresol. Erdtman (1930) dalam Achmadi (1990), menyimpulkan bahwa lignin dibentuk

dari jenis koniferil alkohol melalui dehidrogenasi enzimatik.

Lignin terdapat pada dinding sel dan daerah lamela tengah. Daerah lamela tengah

mengandung 70-80% lignin. Walaupun daerah lamela tengah berkadar lignin tinggi,

tetapi dinding sel yang volumenya besar juga mengandung lignin. Penyiapan sampel

untuk analisis kimia biasanya menghendaki penyingkiran ekstraktif, jika ekstraktif tidak

dihilangkan maka akan mengganggu analisis berikutnya. Proses penghilangan zat

ekstratif berguna dalam analisis lignin. Sebelum isolasi lignin, zat ekstraktif harus

dihilangkan terlebih dahulu untuk mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi



17






dengan lignin selama proses isolasi (Fengel dan Wegener, 1995). Menurut Achmadi

(1990), lignin dibagi kedalam 2 kelompok berdasarkan unsur strukturalnya :

1. Lignin guaiasil yang terdapat pada kayu jarum (26-32%)

2. Lignin guaiasil-siringil yang menjadi ciri-ciri kayu daun lebar (20-28%)

Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga. Kandungan lignin

berbeda pada kayu keras dan kayu lunak. Dalam kayu lunak kandungan lignin lebih

banyak dibandingkan dengan kayu keras dan juga terdapat perbedaan struktur lignin

dalam kayu lunak dan dalam kayu keras (Fengel dan Wegener, 1995).

Kadar lignin yang tinggi tidak diinginkan dalam pengolahan pulp dan kertas.

Kayu dengan kadar lignin rendah sampai sedang baik untuk dijadikan sebagai bahan

baku pulp dan kertas. Sebaliknya untuk kayu dengan kadar lignin yang tinggi kurang

baik untuk dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Hadjib et all., (2005)

mengatakan bahwa kayu dengan kandungan lignin yang tinggi dengan kondisi

pengolahan yang standar akan menghasilkan kematangan pulp yang rendah, kebutuhan

pemutih tinggi dan sifat keteguhan yang rendah serta warna pulp yang gelap. Menurut

Pari dan Saepuloh (2000), jika kadar lignin kurang dari 25% maka akan menghasilkan

pulp yang berwarna putih kuning, sedangkan jika kadar lignin lebih dari 25% maka pulp

yang dihasilkan akan berwarna coklat hitam.

Penghilangan lignin pada kayu harus dilakukan tanpa merusak serat selulosa,

sehingga kondisi pemasakan harus maksimum (Gusmailina dan Setiawan, 1996).

Soenardi (1976) menjelaskan bahwa kandungan lignin akan menghasilkan selulosa lebih



18






rendah per satuan berat atau per satuan volume digester. Selain itu akan mempengaruhi

kebutuhan zat kimia dalam proses pemasakan.

Dalam pengolahan pulp, lignin sangat berpengaruh terhadap warna pulp,

menyukarkan penggilingan dan menghasilkan lembaran yang berkekuatan rendah

(Siagian dkk., 2003). Selain itu, kertas yang dihasilkan dengan kadar lignin yang tinggi

akan memiliki kekuatan dan kualitas permukaan yang rendah (Haygreen dan Bowyer,

1996).