Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan dan menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001:184).
Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Ragam bahasa yang terjadi di lingkungan terminal ini akan ditelaah antara resmi tidak resmi, santun tidak santun, dan bijak tidak bijak.
Suwito (1983: 29), mengemukakan bahwa variasi adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat aneka ragam (heterogen).
Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Sedangkan faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan ragam bahasa yaitu “bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola menyerupai pola umum bahasa induknya” (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1983 : 23). Adapun ujud ragam atau ragam bahasa itu dapat berupa :
1. idiolek, sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sifat-sifat khas itu bisa disebabkan oleh faktor fisik atau faktor psikis;
2. dialek, dialek dibagi menjadi dua macam yaitu, a) dialek geografis dan b) dialek sosial atau sosiolek;
a. Dialek geografis adalah ragam yang timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya.
b. Dialek sosial atau sosiolek adalah ragam yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya.
3. register yaitu ragam bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya;
4. undak-usuk yaitu ragam bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlekutornya (Suwito, 1983: 22-23).
2. 3. Tindak Tutur
Tindak tutur terbagi menjadi 2 jenis, yaitu 1) tindak tutur langsung dan 2) tindak tutur tidak langsung.
Bentuk tindak tutur langsung seperti itu banyak digunakan dalam bahasa inggris (Leech, 1983:14). Bentuk ini merupakan penggabungan dua ciri. Salah satunya adalah penggabungan dengan ciri-ciri pertanyaan.
Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech, 1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah kata oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu.
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini ‘tuturan’ sebagai kalimat atau wacana yang terkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Hudson dalam sosiolinguistik Suryatin (1998:87) memberikan istilah ‘tuturan’ dengan ‘ujaran’. John L. Austin dalam Wijana menggunakan istilah tuturan. Tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis.
2. 4. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang lain, dia akan membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1) Kesantunan dilihat dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2) Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3) Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4) Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987).
2. 4. 1. Prinsip Kesantunan Leech
Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.
Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
a. Kurangi kerugian orang lain.
b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
a. Kurangi cacian pada orang lain.
b. Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
Maksim yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan keuntungan/kerugian diri sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
b. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri sendiri.
a. Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim)
b. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
Maksim yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk bagi penutur terhadap dirinya sendiri/orang lain.
1. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
2. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Ragam bahasa yang terjadi di lingkungan terminal ini akan ditelaah antara resmi tidak resmi, santun tidak santun, dan bijak tidak bijak.
Suwito (1983: 29), mengemukakan bahwa variasi adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat aneka ragam (heterogen).
Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Sedangkan faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan ragam bahasa yaitu “bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola menyerupai pola umum bahasa induknya” (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1983 : 23). Adapun ujud ragam atau ragam bahasa itu dapat berupa :
1. idiolek, sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sifat-sifat khas itu bisa disebabkan oleh faktor fisik atau faktor psikis;
2. dialek, dialek dibagi menjadi dua macam yaitu, a) dialek geografis dan b) dialek sosial atau sosiolek;
a. Dialek geografis adalah ragam yang timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya.
b. Dialek sosial atau sosiolek adalah ragam yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya.
3. register yaitu ragam bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya;
4. undak-usuk yaitu ragam bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlekutornya (Suwito, 1983: 22-23).
2. 3. Tindak Tutur
Tindak tutur terbagi menjadi 2 jenis, yaitu 1) tindak tutur langsung dan 2) tindak tutur tidak langsung.
Bentuk tindak tutur langsung seperti itu banyak digunakan dalam bahasa inggris (Leech, 1983:14). Bentuk ini merupakan penggabungan dua ciri. Salah satunya adalah penggabungan dengan ciri-ciri pertanyaan.
Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech, 1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah kata oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu.
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini ‘tuturan’ sebagai kalimat atau wacana yang terkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Hudson dalam sosiolinguistik Suryatin (1998:87) memberikan istilah ‘tuturan’ dengan ‘ujaran’. John L. Austin dalam Wijana menggunakan istilah tuturan. Tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis.
2. 4. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang lain, dia akan membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1) Kesantunan dilihat dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2) Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3) Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4) Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987).
2. 4. 1. Prinsip Kesantunan Leech
Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.
Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
a. Kurangi kerugian orang lain.
b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
a. Kurangi cacian pada orang lain.
b. Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
Maksim yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan keuntungan/kerugian diri sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
b. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri sendiri.
a. Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim)
b. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
Maksim yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk bagi penutur terhadap dirinya sendiri/orang lain.
1. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
2. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)