MENGENAL
LATIFAH-LATIFAH BATHIN DALAM THARIQAT
SUFI
Dr. Hj. Ummu Salamah
Acuan dalam
pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan
mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqomat dan ahwal
tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada
aktivitasaktivitas, yang meliputi:
Pertama, tazkiyah an
nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan
buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan
malakuti.
Kedua, tashfiyah al qalb,
pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan
duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatirannya atas kesedihan, serta
memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.
Ketiga, takhalliyah
as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan
perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.
Keempat, tajalliyah
ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora
cintanya.
Qasrun = Merupakan
unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh
manusia.
Sadrun = (Latifah
al-nafs) sebagai unsur jiwa
Qalbun = (Latifah
al-qalb) sebagai unsur rohaniah
Fuadun = (Latifah
al-ruh) Unsur rohaniah
Syagafun = (Latifah
al-sirr) unsur rohaniah
Lubbun = (Latifah
al-khafi) unsur rohaniah
Sirrun = (Latifah
al-akhfa) unsur rohaniah
Hal ini relevan
dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:
"Aku jadikan
pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada),
di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi
fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya
lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra),
sedangkan di dalam sirrun ada "Aku".
Ahmad al-Shirhindi
dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi
dalam diri manusia yang strukturnya yang dapat diperhatikan dalam gambar di
atas.
Pada dasarnya
lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : "Kun
fayakun", yang artinya, "jadi maka jadilah" (QS : 36: 82)
merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam
al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material. Karena qudrat dan iradat Allah
ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah
menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan
keterikatan yang sangat kuat.
Lathifah-lathifah
itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di
dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah
praktis yang berkonotasi tempat.
Umpamanya lathifah
al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai
tempatnya nafsu al-lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu
al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang
bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena
kuasa Allah.
Lathifah sebagai
kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat
barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).
Pada hakekatnya
penciptaan ruh manusia (lima
lathifah), tidak melalui sistem evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah ke dalam
jasad manusia melalui proses. Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan
sempurna, maka Allah memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s.
Maka dengan enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan
berat hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat sabda
Allah: "Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu nanti juga
akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk dengan paksa, maka
kamupun akan keluar dengan terpaksa". Ruh memasuki melalui ubun-ubun,
kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya sampai ke hidung, mulut, dan
seterusnya sampai ke ujung jari kaki. Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui
ruh menjadi hidup, bergerak, berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses
inilah muncul sejarah mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir,
ruku dan sujud), dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga).
Bahkan dalam al
Qur'an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam sudah tergesa gesa
ingin berdiri. Sebagaimana firman Allah : "Manusia tercipta dalam
ketergesa-gesaan" (Q.S.21:37).
Pada proses
penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke dalam badan
melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum dalam rahim seorang
ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang diploid ). Ketika itulah Allah
meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9), yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan
selanjutnya Allah menambahkan ruhnya, yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia
potensi untuk bergerak dan berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada
bersama dengan masuknya ruh al-hayat.
Sedangkan tahapan
selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika proses penciptaan
fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah lahir). Allah meniupkan
ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan ini, manusia dapat merasa dan
berpikir. Sehingga layak menerima taklif syari' (kewajiban syari'at) dari Allah
dan menjadi khalifah Nya.
Itulah tiga jenis
ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi yang menjadi sudut
pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran). Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia
itu adalah tingkatan kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan
hakikatnya, karena hakikat adalah urusan Tuhan (QS : 17 : 85), tetapi aktivitas
dan karakteristiknya.
Lathifah al-qalb,
bukan qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu lathifah (kelembutan),
atau kesadaran yang bersifat rubbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun
demikian, ia berada dalam qalb (jantung) manusia sebagai media bereksistensi.
Menurut Al Ghazall, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu.
Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung
jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala. Lathifah ini pula yang
dimaksudkan sabda Nabi "Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan
hartamu, tetapi ia memandang hatimu".
Latifiah al-qalb
bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung fisik manusia
ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di bawah susu kiri jarak dua
jari (yang dinyatakan sebagai letaknya lathifah al-qalb) adalah ibarat
"channelnya". Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini,
maka ia harus berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur
berwarna kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).
Demikian juga dengan
lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu sendiri. Tetapi lathifah
al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak
dapat diketahui hakikatnya, tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala
dan karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari
dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain
tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat bahimiyah
atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang salik akan
merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah saja yang kekal), dan tampak pada
pandangan batiniah.
Lathifah al-sirri
merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi besar terdahulu
yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga lathifah manusia, yaitu
qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali mengungkap sistem interiorisasi
lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya
manusia terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr.
Dalam temuan Imam al Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah
yang terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia.
Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman
spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid al
Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H). Setelah ia mengalami
"ittihad" dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman
ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan sepenuhnya,
bahwa abid dan ma'bud adalah berbeda, manusia adalah hamba, sedangkan Allah
adalah Tuhan.
Hal yang diketahui
dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna putih berkilauan.
Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari, berhubungan dengan hati
jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini merupakan manifestasi sifat-sifat yang
baik, ia juga merupakan sarangnya sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas.
Dengan lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan fana' fi al-dzat, dzat
Allah saja yang tampak dalam pandangan batinnya.
Lathifah al-khafi
adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih dalam dari
lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada hadis Nabi :
"Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki adalah yang
mencukupi". Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah. Tetapi bagi para sufi,
keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Cahayanya
berwarna hitam, letaknya berada di atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong
ke kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu
yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad,
kibir (takabbur, sombong), khianat dan serakah.
Lathifah yang paling
lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya berada di
tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah manusia. Lathifah
ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah
ini seseorang salik akan dapat merasakan'isyq (kerinduan) yang mendalam kepada
Nabi Muhammad s.a.w. sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.
Relevan dengan
pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia
dalam upaya kontemplasi, yaitu:
Pertama qalb yang
berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
Kedua, ruh berfungsi
untuk mencintai Allah, dan
Ketiga, sirr
berfungsi untuk melihat Allah.
Dengan demikian
proses ma'rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai
berikut dibawah ini.
Aktivitas spiritual
itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil 'alamin; Tradisi
kenabian pada hakekatnya tidak lepas dari mission sacred, misi yang suci
tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk merefleksikan asma Allah.