B. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli
1. Rukun Jual Beli
Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu:
a. Adanya pihak penjual (al-bāi')
b. Adanya pihak pembeli (al-musytari)
c. Adanya barang yang diakadkan (ma'qūd 'alaihi)
d. Adanya sigat akad (ijāb dan qabūl)
2. Syarat Jual Beli
a. Pihak yang mengadakan akad
1) Berakal atau Tamyiz
Beberapa ulama memberikan batasan umur terhadap orang yang dapat dikatakan balig, tetapi menurut Ahmad Azhar Basyir, kecakapan seseorang untuk melakukan akad lebih ditekankan pada pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur, karena ketentuan dewasa itu tidak hanya dibatasi dengan umur tetapi tergantung juga dengan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal).
2) Atas kehendak sendiri
Dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi disebabkan oleh adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
...إلاّ أن تكون تجارة عن تراض....
Artinya : Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
3) Bukan pemboros (mubāżir)
Maksudnya adalah bahwa pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تؤتوا السّفهاء أموالكم الّتى جعل الله لكم قيما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوالهم قولامعروفا
Artinya : Dan janganlah kamu serahkan yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
b. Syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan
1) طهارة العين(suci barangnya)
Artinya barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang yang najis atau diharamkan oleh syara’, seperti minuman keras.
2) الإنتفاع به (dapat dimanfaatkan)
Maksudnya setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung atau tidak. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak barang yang semula tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti sampah plastik yang didaur ulang.
3) ملكية العاقد له (milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah dipandang sebagai jual beli yang batal.
4) القدرة على تسليمة (dapat diserahkan)
Maksudnya bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.
5) العلم به (dapat diketahui barangnya)
Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang.
6) كون المبيع مقبوضا (barang yang ditransaksikan ada di tangan)
Maksudnya obyek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana diperjanjikan.
c. Syarat sah akad (Ijab dan Qabul)
Akad adalah suatu perkataan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jalan suka sama suka dapat menimbulkan suatu kewajiban di antara masing-masing pihak yang berakad. Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
1. Rukun Jual Beli
Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu:
a. Adanya pihak penjual (al-bāi')
b. Adanya pihak pembeli (al-musytari)
c. Adanya barang yang diakadkan (ma'qūd 'alaihi)
d. Adanya sigat akad (ijāb dan qabūl)
2. Syarat Jual Beli
a. Pihak yang mengadakan akad
1) Berakal atau Tamyiz
Beberapa ulama memberikan batasan umur terhadap orang yang dapat dikatakan balig, tetapi menurut Ahmad Azhar Basyir, kecakapan seseorang untuk melakukan akad lebih ditekankan pada pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur, karena ketentuan dewasa itu tidak hanya dibatasi dengan umur tetapi tergantung juga dengan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal).
2) Atas kehendak sendiri
Dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain, sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak sendiri tetapi disebabkan oleh adanya paksaan, maka transaksi jual beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
...إلاّ أن تكون تجارة عن تراض....
Artinya : Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
3) Bukan pemboros (mubāżir)
Maksudnya adalah bahwa pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros, karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum, ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
ولا تؤتوا السّفهاء أموالكم الّتى جعل الله لكم قيما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوالهم قولامعروفا
Artinya : Dan janganlah kamu serahkan yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
b. Syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan
1) طهارة العين(suci barangnya)
Artinya barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang yang najis atau diharamkan oleh syara’, seperti minuman keras.
2) الإنتفاع به (dapat dimanfaatkan)
Maksudnya setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang oleh Allah yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung atau tidak. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak barang yang semula tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti sampah plastik yang didaur ulang.
3) ملكية العاقد له (milik orang yang melakukan akad)
Maksudnya bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah dipandang sebagai jual beli yang batal.
4) القدرة على تسليمة (dapat diserahkan)
Maksudnya bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.
5) العلم به (dapat diketahui barangnya)
Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang.
6) كون المبيع مقبوضا (barang yang ditransaksikan ada di tangan)
Maksudnya obyek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana diperjanjikan.
c. Syarat sah akad (Ijab dan Qabul)
Akad adalah suatu perkataan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan jalan suka sama suka dapat menimbulkan suatu kewajiban di antara masing-masing pihak yang berakad. Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.