Pemanfaatan Barang Gadai

Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :
لا يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه
غـر مـه
Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.
Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :
1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya.
2. Yang membutuhkan pembiayaan.
Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :
الـرهـن يـركـب بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته
إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة
Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.
Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.


Dalam kitab al-Mugny, Imam Ibnu Quda>mah mengatakan sebagai berikut :
Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang yang digadaikan sedikit pun kecuali dari yang bia ditunggangi dan diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa penerima barang gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian kecuali bagi barang gadaian yang bisa di tunggangi dan diperah.
Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh mengambil manfaat dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.
Syari’at Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena dinilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Rahmat Syafi’I mengatakan :
Bahwa Murtahin boleh mengambil manfaat barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh mengambil manfaat hanya sekedar untuk mengatasi kerugian yang dialami oleh murtahin.

Pada akhir ayat 279 surah al-Baqarah ditegaskan bahwa riba yang diharamkan itu adalah riba yang mengandung unsur kedhaliman (aniaya) pada salah satu pihak, sebagaimana firman Allah swt. Yang berbunyi :
فـإن لـم تـفـعـلـوا فـأذ نـوا بـحـر ب مـن الله ورسـوله وإن تبتم فلكـم رء وس أمـوالـكم لا تظـلمـون ولا تـظـلـمـون
Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang di situ tetap harus ditekankan nilai-nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman, sebagaimana firman Allah swt :
وإن كان ذوعسرة فـنظرة الي ميسرة وأن تصد قوا خير لكـم إن كنتم تعلمون