Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.7
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis
2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.7
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut—bahwa untuk lebih berhati–hati ialah dengan mengambil pendapat pertama—yakni yang telah mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) telah dilakukan dengan cara berijtihad. Dalam berijtihad Majlis Tarjih menempuh tiga metode:
1. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis
2. Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis
3. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.8 Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.9
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.10
Dari diskripsi di atas nampak bahwa kedua organisasi tersebut mempunyai konsep yang berbeda bahkan berseberangan. Namun, keduanya mempunyai sisi kesamaan yaitu demi kemaslahatan umat manusia, meskipun implimentasinya juga berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya sudut pandang yang mempenagruhinya dalam menetapkan hukum tersebut.