Shri Aji Jayabaya

Shri Aji Jayabaya


Sejak tahun 1135 Masehi, yang menduduki tahta kerajaan Panjalu ialah Shri Aji Jayabaya, yang bergelar Shri Maharaja Shri Warmeshwara Madhusudanamataranindhitta Suhrtsingha Paramakrama Digjayatunggadewanama Jayabhayalancana. Pada waktu peng-hadapan di hari Kamis, Shri baginda duduk di atas singgasana bersama dengan prameswari Dyah Hayu Sarameshwari.
Nampak telah menghadap Shri baginda .ialah putra, mahkota sang Maha Mantri Sarweswara yang duduk berdampingan dengan patih Dyah Suksara. Mereka bersama-sama membahas kesejahteraan rakyat. Belum selesai Shri baginda bersabda, perbincangan pun terganggu oleh keributan di luar sitinggil, yang ternyata adalah datangnya putri sulung Shri baginda, prameswari raja Janggala, yang bernama Dyah Pramesthi. Sang putri menghadap ayahanda baginda sambil menangis tersedu-sedu.
Betapa terkejutnya Shri baginda menerima kedatangan putri sulungnya, pulang ke Kadhiri tanpa pengawal dalam keadaan yang lemah lunglai lusuh membiaskan kesusahan yang sangat mendalam, sebab diusir oleh suaminya dituduh sebagai mata-mata dari Panjalu.
Serasa ditendang dada Shri Jayabaya mendengar laporan sang putri sulung. Sehingga keluarlah perintahnya yang sangat mahal, untuk mempersiapkan perang melawan Janggala Alkisah peijalanan prajurit Panjalu yang meninggalkan gerbang kota, menum­buhkan rasa bangga bagi masyarakat pedesaan yang dilaluinya. Suara tambur dan bendera perang yang bersulam emas bergambarkan singa berbadan manusia, menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.
Di praja Janggala, Shri Narpati Darmatungga telah mendengar bahwa mertuanya tidak menerimakan perlakuannya terhadap Dyah Pramesthi, maka segeralah Shri Darmatungga mempersiapkan pasukan untuk menghadapi ‘singa’ dari Panjalu.
Pertempuran dahsyat pun tak terhin­darkan di bulak Hantang. Kedua pasukan telah bermandikan keringat dibakar matahari yang sedang bertengger di puncak langit. Debu ber­gelung-gelung menyelimuti medan pertem­puran, menempel lekat di tubuh para prajurit yang bersimbah darah.’Gelung rambutterurai awut-awutan, yang nampak bukan lagi manusia yang beradab melainkan jin setan janggitan yang gentayangan mencari mangsa.
Shri Aji Jayabaya benar-benar seorang maha jurit yang pantas disebut sebagai titisan Wishnu. Meloncat menyerang barisan lawan, bagai harimau kelaparan menyergap, mang­sanya. Barisan Janggala hancur berantakan diteijang oleh sang ‘singa’ Jayabaya. Bangkai musuh pun berserakan bagai glagah yang diamukgajah.
Pada akhirnya, kedua narpati yang sedang bertikai itu pun telah berhadaphadapan, antara mertua dan menantu, masing-masing menempatkan diri sebagai senopati agung. Keduanya telah siap untuk berperang tanding. Ternyatalah Shri Aji Darmatungga bukan tandingan Shri Aji Jayabaya. Dalam pertarungan yang singkat tangan Shri Jayabaya sempat menyentuh dada Shri Darmatungga, menimbulkan suara gemeretak, dadanya pecah Shri Darmatungga gugur di medan laga.
Pasukan Panjalu pun bersorak gegap gempita, menyaksikan junjungannya unggul dalam perang tanding. Janggala telah takluk dan sepenuhnya dikuasai oleh Panjalu.
Shri Jayabaya dengan pasukannya segera pulang ke Panjalu, di gerbang kota mereka dijemput oleh para kawula yang mengelu elukan para pahlawannya. Untuk memperingati kemenangan yang telah diperoleh, maka sejak saat itu kota Dahana pura juga disebut Pamenang. Dalam kesempatan itu pula Shri Jayabaya berkenan memanggil Mpu Sedah, untuk diperintahkan menulis sejarah perang saudara antara raja Janggala dengan Panjalu dalam bentuk gubahan kesusasteraan yang berjudul Baratayuda.
Memenuhi titah baginda, segeralah Mpu Sedah pamit pulang ke Wukir Padang, memusatkan fikiran untuk mulai menggubah kesusasteraan Baratayuda.
Setelah beberapa lama kemudian, dalam rangka baginda berkeliling ke desa-desa, maka singgahlah Shri baginda ke padepokan Wukir Padang, untuk menjenguk hasil kerja Mpu Sedah. Dalam kesempatan itu Mpu Sedah dengan jelas menyampaikan cerita Baratayuda yang sebagian telah diselesaikannya. Pada bagian awalnya, nampak Shri baginda sangat ‘ berkenan di hati. Namun demikian, setelah sampai pada kisah Prabu Salya dengan dewi Pujawati, serta merta Shri baginda murka. Mpu Sedah dituduh telah mencemooh dan menyinggung perkawinan Shri Jayabaya dengan prameswari Retnayu Sarameshwari, putri maha pendeta Mpungku ‘ Naiyayikadarsana.
keris pusaka, bagai didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata bagai kilat keris itu pun menyambar menghujam dada Mpu Sedah tembus belikat. Mpu Sedah menjerit roboh seketika. Geger di Wukir Padang, para cantrik berlarian menyingkir takut pada Shri baginda yang sedang murka. Mayat Mpu Sedah segera disempurnakan melalui upacara sesuai dengan tuntunan agama. Shri baginda pun pulang ke Pamenang.
Sesampainya di istana, segera Shri Baginda memanggil Mpu Panuluh untuk menyelesaikan cerita Baratayuda yang belum selesai. Mpu Panuluh menyatakan kesediaannya.
Nampaklah bahwa Shri baginda sangatlah menyesal telah membunuh Mpu Sedah, oleh sebab itu untuk memulihkan rasa prihatin, Shri baginda berkenan mengangkat menantu cucu Mpu Sedah anak Ajar Subrata yang bernama Endang Sulastri untuk dinikahkan dengan putra baginda satria di Pakanjunan yang bernama Jaya Hamisena.
Tak terlukiskan megahnya upacara pernikahan antara Endang Sulastri dengan Jaya Hamisena. Konon, Mpu Panuluh telah berhasil menyelesaikan tulisan Baratayuda dan menghaturkannya kepada Shri baginda. Puas hati Shri baginda menerima sastra Baratayuda, hal tersebut tercatat dalam sandi sastra yang berbunyi SANGA KUDA SUDDA CANDRAMA (1079 Saka = 1157 Masehi)Selamat sejahtera Shri Jayabaya bertahta sampai dengan tahun 1157 Masehi.
Cerita ini terangkum dalam untaian tembang, MIJIL, SINOM, MASKUMAMBANG dan PANGKUR.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: RM. Budi Udjianto, HN. Banjaran Kadiri, Kediri: Pemerintah Kota Kediri, 2008, hlm. 96-103