Home »
» Imam Syafi’i berkata : “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu”
Suka membantah saja
Ada dari mereka mengatakan bahwa pendapat manusia yang masih dibantah
oleh manusia lainnya berarti pendapat tersebut bisa benar dan bisa juga
salah
Tergantung siapa yang membantahnya.
Kalau yang
membantahnya adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah
maupun perkataan ulama salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan
pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya
selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah
(terminologi) saja maka bantahannya tidak mempunyai arti apa apa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak ada satu kaum
yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka
berjidal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca
ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan
maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yg suka
bertengkar. (QS Az-Zuhruf [43]: 58 )” (HR. At-Tirmidzi no. 3253, Ibnu
Majah dan Ahmad)
Imam Malik rahimahullah, berkata: “Berjidal
adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan
permusuhan.” (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi salaf ‘alal Khalaf: 35)
Imam Syafi’i berkata : “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan”
Imam Syafi’i berkata : “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang
berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang
yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu”
Oleh karenanya
Imam Syafi’i menasehatkan “Apabila orang bodoh mengajak berdebat
denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila
kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman
dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati”
Iman Syafi’i juga menasehatkan, “Apabila ada orang bertanya kepadaku,“jika ditantang oleh musuh, apakah engkau diam ??”
Jawabku kepadanya : “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya.”
“Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan”
“Apakah kamu tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia
pendiam ?? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka
menggonggong ??”
Nasehat Imam Syafi’i yang lainnya “Orang
pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, maka aku tidak ingin untuk
menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu
wangi yang dibakar malah menambah wangi”
Kesimpulannya perdebatan yang harus dihindari adalah perdebatan dengan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“..Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.(QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56)
Ciri-ciri orang yang berdebat dengan memperturutkan hawa nafsu adalah
1. Suka mencerca dengan kata-kata jelek atau mencela
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang
muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar larangan atau
hukum agama, sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah ta’ala
yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan
Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di
muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20).
2. Suka debat kusir
“Debat kusir” gabungan dua kata debat dan kusir
Kusir adalah orang yang mengemudikan delman sehingga kalau seorang
kusir berbicara maka akan membelakangi penumpangnya atau paling tidak
menyamping
Jadi debat kusir adalah debat yang “membelakangi”
pendapat teman debat sehingga debat tak ada ujung akhirnya atau debat
tidak berguna atau debat tidak nyambung atau debat tidak disertai alasan
yang masuk akal.
Mereka “membelakangi” pendapat teman debat
atau mereka tidak menganggap pendapat teman debat atau bahkan dalam
diskusi di dunia maya (internet) seperti jejaring sosial maupun
forum-forum diskusi lainnya yang dilakukan dengan tulisan, mereka sama
sekali tidak membaca pendapat teman debat dikarenakan mereka beranggapan
atau berprasangka bahwa pendapat teman debat bertentangan dengan ulama
salaf
Siapakah yang dimaksud mereka dengan ulama Salaf ?
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah
sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya
malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah
(80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf?
Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun
150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah.
Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang
bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah
Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata
lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real
salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm,
kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf,
karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani,
mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf
yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul
Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari
mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu
adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa
mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka
cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word,
tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak
fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan
manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang
mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu
kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka
pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan
mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku,
seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan
manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti
adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash
yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam
mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i)
bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak
agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana
yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash
yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits
itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena
fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih.
Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias
keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik
haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya.
Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah
ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak
tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar
mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum
punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah,
yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada kenyatannya mereka sebenarnya bukan mengikuti pemahaman
Salaful Ummah atau pemahaman Salafush Sholeh atau pemahaman para Sahabat
namun mereka mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang
mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah
Mereka adalah hasil
pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh kerajaan dinasti Saudi yang
merupakan sekutu dari Zionis Yahudi Amerika untuk mengikuti ajaran atau
pola pemahaman ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana
informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx berikut kutipannya,
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad
bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of
the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to
the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed
mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan
tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita
ambil hikmah
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang
dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu
dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk
menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah
[58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu
menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman
kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka
berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit
ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah
(kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya
Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
bahwa
mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal
sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman
adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]:
82)
Bahwa kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis
Yahudi telah menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan
berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan
mazhab (bermazhab) pada Imam Mazhab yang empat dan istiqomah mengikuti
tharikat-tharikat tasawuf. Mereka mengupah ulama-ulama yang anti
tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat
dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan
dibiayai oleh mereka.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para
ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka
menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius
menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang
dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama
telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama
itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan
Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat
Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah
dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
Kaum
Yahudi telah memilih pola pemahaman atau pemikiran yang cocok
dipergunakan untuk menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang
pemahaman) yakni pola pemahaman atau pemikiran Ibnu Taimiyyah yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka luas.
Dari biografi
Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang
yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah
kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti
contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan
wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai
literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul
Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti
Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab
mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As
Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi)
dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan
mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam
seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang
kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri)
sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya.
Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya
untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Contoh yang lain seperti Al Albani , ahli hadits dalam arti ahli
membaca hadits bukan ahli hadits dalam arti menerima hadits dari ahli
hadits sebelumnya.
Al Albani sangat terkenal sebagai ulama yang
banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan
sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata
yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua
fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan
bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi
perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada
apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada
saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di
luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No.
77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun
secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk
membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan
perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa
habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan
untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan
ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya
mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah
pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang
berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa
menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi
kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Mereka kurang
memperhatikan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu
tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti seperti nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain
lain
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab
beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan
pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti
nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk
bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib,
karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara
syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana
kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”.
Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya
wajib”.
Kalau dalam menggali hukum atau beristinbat atau berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad”
adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah
mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian
khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya
dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari
berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah
begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan
itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum
dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara
penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua
perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang
tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar
yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa
sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra
bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?”
Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah
orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu
muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Ibnu Taimiyyah tidak dikenal
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga mereka tidak patut
ditaklidi oleh kaum muslim dan pada kenyataannya tidak ada satupun
mazhab yang dinisbatkan dengan nama mereka.
Orang-orang
menyematkan sebutan ahlus sunnah atau bahkan syaikhul Islam kepada
Muhammad bin Abdul Wahhab ataupun Ibnu Taimiyyah adalah sebuah bentuk
penghormatan bukan jaminan bahwa mereka berkompetensi dalam memahami Al
Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan atau pendapat ulama Salaf apalagi
jaminan maksum atau terbebas dari kesalahan.
Imam Mazhab yang
empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama
sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin
atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Pada
hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid
Mutlak pada masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan
para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan bertemu atau mengaji.
Dalam tulisan Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan
“Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah
organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte
atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad
Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa
sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Jadi ketika sebuah jama’ah
minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas
menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah
majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka
berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Ulama yang sholeh
terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai
Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani,
negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905,
wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad
Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl
Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008
tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh
berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan
friqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352
sampai 380.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena
perbedaan pendapat maka ikutilah mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar
(kharaja) dari mayoritas kaum muslim.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku
diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang
menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“.
(HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam
Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang
menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah
as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat
terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i,
Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini
adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Islam adalah satu pada masa
sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan
oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat.
mereka yang tidak mengikuti Imam Mahzb yang
empat, salah satu ciri atau tandanya adalah mereka mengatakan bahwa para
imam mazhab yang empat telah melarang taqlid kepada mereka tetapi
mewajibkan mengetahui dari mana pengambilan dali atau mengatakan seperti
ulama panutan mereka Al Albani yang terkenal dengan perkataannya “Aku
membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil
mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam
Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia
lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan
beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu
beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun
kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat
atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan
terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada
disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi
zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat
disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan
sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi
perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat
dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari
pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang
mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan
“perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan
ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang
banyak.
mereka terlampau dini dan masih bau kencur untuk
mengkritik para Imam mazhab yang berbeda pendapat dalam menentukan
hukum-hukum fiqih, yang kebanyakan memang masalah ijtihadiy.
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang
mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka
membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian
meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak
mengerti isi ayat dan kandungan hadits
Justru para Imam Mujtahid
orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita
yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling
rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran
orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini
yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu,
mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang
seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya
apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak
punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan
buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan
ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai
saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu
yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu
yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang
kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci
para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam
ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan
dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani
mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang
benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita
berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang
yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu
matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang
belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar
perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak
kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang
fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan
mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan.
Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka
untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka
menfasirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Dalam dialog antara Syaikh al Buthi bersama Al Albani
Al Albani menyampaikan bahwa,
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang
yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang
mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih
dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah,
antara taqlid dan ijtihad.”
Berikut kutipan dialognya
****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu
menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan
demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan
lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah
seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal
ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda
dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu
madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut,
orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****
Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang yang
taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid
seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni
membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada
al-Qur’an dan As Sunnah.
Kalau begitu bagaimana nasib kaum
muslim yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits
ataupun tidak mempunyai waktu dan kompetensi untuk membandingkan
madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan
As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk neraka karena mengerjakan perkara
terlarang yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid)?
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti
mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap
orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan
yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak
memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23
pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Albani sebagai
“derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang
yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain
walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama
muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan KH. Muhammad Nuh Addawami yakni
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada
lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal,
ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan
mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para
mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada
salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Allah Azza wa Jalla
telah berfirman bahwa solusi jika kita berselisih karena berlainan
pendapat tentang sesuatu maka ikuti dan taatilah ulil amri setempat
yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara
sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu
Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali
radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan
bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya,
sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar
paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan
umara.
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam
Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati
adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum
Allah.
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut
dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa
Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan
orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama
adalah Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab yang lain
selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang
memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar
ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid
kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As
Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim
karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai
para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin
atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas
wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada
Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya
di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,
pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke
Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau
itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari
ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran
kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari
lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi
~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang
empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan
dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau
mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji)
dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa
hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang
membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu
dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang
mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang
memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang
empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan
dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam
Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak
lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering
mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan
mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha
al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits
itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan
benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan
sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan
pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa
pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan
bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang
menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung
mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi
sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya
untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia
harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak
mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan
setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini
syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu
memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali
meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di
dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau
sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn
Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak
disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn
Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan
ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab"
1/105]
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab
hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan
dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil
dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal
300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal
oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits
yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru
mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang
bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat
mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan
hal itu“
Begitupula dengan Syiah Zaidiyah menganggap perlunya
kontinuitas ijtihad. Dalam artian, pintu ijtihad harus dibuka
selebar-lebarnya.
Mereka beralasan dengan pendapat Imam
Syaukani: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan
tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli
yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin
mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam
tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mazhab Zaidiyyah, pada awalnya dicetuskan oleh Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Namun mereka yang mengaku-aku sebagai Syiah Zaidiyah pada masa kini
pada hakikatnya tidak lagi murni mengikuti mazhab Zaidiyyah.
Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H)
menegaskan bahwa: “Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu:
Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dan konon ada yang membagi sekte
Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan
Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan sekte
Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga sekte tersebut
merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga sekte
inipun tidak berafiliasi kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Mereka
hanyalah sekedar penyokong berat imam Zaid ketika terjadi revolusi
melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.
Menurut pendapat Dr. Samira Mukhtar al-Laitsi dalam bukunya (Jihad
as-Syi’ah), ketiga sekte tersebut merupakan golongan Syi’ah Zaidiyyah di
masa pemerintahan Abbasiah. Dan mayoritas dari mereka ikut serta dalam
revolusi imam Zaid. Dan ketiga sekte tersebut dianggap paling progresif
dan popular serta berkembang pesat pada masa itu. Dan setelah abad
kedua, gerakan Syi’ah Zaidiyah yang nampak di permukaan hanyalah sekte
Garudiyah. Hal ini disebabkan karena tidak ditemukannya
pandangan-pandangan yang dinisbahkan kepada sekte Syi’ah Zaidiyah
lainnya.
Pada hakikatnya mereka tidak lagi mengikuti pendiri mazhab Zaidiyyah, mereka mengikuti hasil ijtihad imam-imam mereka sendiri.
Begitupula mazhab dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam Imam Ja’far as-Shadiq ra. Ia adalah mujtahid serta diakui ahli
sunnah. Dunia Islam bukan tidak mengakui kemampuan dan kehebatan Imam
Ja’far as-Shadiq ra sebagai mujtahidin, karena selain sebagai pemikir
Islam yang memiliki martabat yang tinggi dalam tingkat keilmuan, beliau
tergolong ulama yang saleh. Hanya saja, murid-muridnya mengabaikan usaha
gurunya, sehingga tak mampu menjaga hasil karya mereka, sehingga
kemutawatiran sanadnya tidak lagi terjaga.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Ciri lain mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah mereka merasa
lebih pandai dari para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Padahal
para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari
dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan).
Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang
diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu (
sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para
ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama
yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang
empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad
ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush
Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah
(menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan
ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih
terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Mereka meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena
menganggapnya sebagai kaum syiah
Imam at Tirmidzi dan Imam ath
Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah
agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian
memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar
kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah
bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah
kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa
tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada`
pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi
untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai
sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara
yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu
kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah ,
bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu
Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku
meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh
dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari
perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah
tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya
adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga
keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah
bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR.
Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no.
3788)
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama
terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang
artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang
kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa
yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati
tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu
ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan
disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh
sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan
tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para
ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam
khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses
menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau
langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu
beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru
diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an
bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi
juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga
kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap
terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an
ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah
“tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan
dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran
dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan
“membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri
adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan
sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang
semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat.
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh
yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah
ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah
sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah
Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi
sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun,
jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka
penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan:
“Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu
menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan
ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia
diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti
mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang
berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata
:”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka
pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang
diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Tanda atau
ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah
pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat
gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah
serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour
al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah
agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk
meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang
kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia
mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung
kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan
demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara
lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang
kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan
manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri
~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang
yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid
Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;
“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak
ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang
menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits
bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan
akal pikirannya sendiri
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Ismail Ash-Shon’ani (Penulis Kitab Subulus
Salam syarah Bulughul Marom, Yaman) Beliau meralat pujiannya kepada
Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebelumnya dimuat pada Diwan
Ash-Shon’ani, hal 128-129, sebagaimana dalam Majmu’atur Rosaail
At-Taujihaat Al-Islamiyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’, 3/239
Gubahan bait-bait Ash Shon’ani ini sangat masyhur dan tersebar
kemana-mana. Namun setelah qasidah itu tersebar kemana-mana, para ulama
menegur Ash-Shon’ani, beliau pun diam mempertimbangkan. Apakah aku telah
memuji orang yang salah?
Adalah Syaikh Marbad bin Ahmad At
Tamimi, yang atas kehendak Allah menyingkap tabir, datang ke Yaman,
bertemu dengan Imam Al Amir Ash shon’ani, dan menjelaskan semua.
Bahkan sebelumnya, juga datang dari najd bernama Syeikh Abdurrahman An
Najdi menjelaskan tentang ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedatangan
dua ulama Nejd ini telah mengungkapkan kenyataan di hadapan Iman Ash
Shon’ani.
Imam Al Amir Ash shon’ani pada akhirnya menasehatkan
Muhammad bin Abdul Wahhab untuk tidak mentaklidi orang tidak patut untuk
ditaklidi seperti Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah
**** awal kutipan *****
Telah datang kepadaku, seorang alim dari Najd bernama Marbad bin Ahmad
At Tamimi. Dia tiba bulan Shofar tahun 1170 H dan tinggal di negeri kami
selama 8 bulan. Dia kembali ke negerinya bulan Syawal tahun 1170
bersama dengan jamaah haji. Dia mengabariku, bahwa bait-bait qasidahku
telah disampaikan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, namun dia hanya diam
tak menjawab
Sebelumnyanya, pernah datang juga kepadaku, Asy
Syaikh al Fadhil Abdurrahman An Najdi. Dia bercerita kepadaku tentang
Muhammad bin Abdul Wahab banyak hal. Suka menumpahkan darah, perampokan,
pembunuhan dan tudingan kafirnya pada umat nabi Muhammad di mana-mana.
Aku diam memikirkan apa yang disampaikan Syaikh Abdurrahman, hingga
datanglah Marbad at Tamimi membawa beberapa pernyataan Muhammad bin
Abdul Wahab
Semua menjadi jelas bagiku, tampaknya Muhammad bin
abdul Wahab ini orangnya baru mengenal syari’at baru setengah, tak
melihat secara teliti. Tak mau belajar dari orang yang telah berjasa
padanya (ayahnya yakni syeikh Abdul Wahab) membimbingnya dan
mengajarinya ilmu yang bermanfaat.
Sebaliknya, dia malah
mempelajari tulisan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan bertaklid buta pada
keduanya, padahal mereka berdua tidaklah layak ditaklidi.
Saat
telah jelas bagiku tentang pribadi Muhammad bin Abdul Wahab, dan telah
kulihat ucapan-ucapannya, bagaimana ketika bait-baitku telah sampai
padanya, dia berusaha mengelak dari apa yang kusampaikan, kulihat
tanggapannya atas perkataanku, adalah jawaban yang jauh dari keinsafan.
***** akhir kutipan ******
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah
menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti
Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan
dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi
Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi
Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al
Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau
(Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu,
jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang
telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu
memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa
Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga
telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak
menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab
yang empat
Sebagaimana di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal
Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama)
halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin
Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu
Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah
ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab
4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan
faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang
jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada
kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka
Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal
Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
http://www.youtube.com/watch?v=d3ep3LODV5E
http://www.youtube.com/watch?v=zkA1gxH87_k
http://www.youtube.com/watch?v=JKJ24FDd3B8
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat
Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz
Zamihan al-Ghari
http://www.youtube.com/watch?v=lolOeJ8CXSc
http://www.youtube.com/watch?v=lP7dqXHT01g
http://www.youtube.com/watch?v=Zep7-4-asVo
http://www.youtube.com/watch?v=IltK_VKhwtY
http://www.youtube.com/watch?v=elalhSVpY3o
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
http://www.youtube.com/watch?v=ZCh2nVfgRt4
http://www.youtube.com/watch?v=2JT28bp_Ep4
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk
“Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan
Aqidah Tajsim Wahhabiy.
http://www.youtube.com/watch?v=XpGuEfRQSv4
http://www.youtube.com/watch?v=ACGtp3Ze7eA
Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan mufti Negeri Perak,
Malaysia telah mengeluarkan fatwa terhadap ajaran Wahabi sebagaimana
yang termuat pada http://mufti.perak.gov.my/perkhidmatan/e-book/372-fatwa-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah.html
Wassalam
https://www.facebook.com/groups/375014385963707/permalink/420406048091207/