PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM :
STUDI ATAS PEMIKIRAN FAZLUR
RAHMAN
Oleh : Anjar Nugroho, S.Ag
(Dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
ABSTRAK
Penelitian ini memfokuskan pada tema tentang pembaharuan pendidikan
Islam, yang berupaya membawa suasana baru memperkenalkan kembali salah satu
khasanah pemikiran keislaman abad modern di dunia Islam yaitu Fazlur Rahman.
Jenis penelitian
yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk
dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), Sedangkan Penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun
berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang
pembaharuan pendidikan Islam. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan historis dan analisis data digunakan analisis
isi (content analysis).
Kesimpulan akhir
dari penelitian ini adalah bahwa kemunculan gagasan Rahman
dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di
era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti
Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di
negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan
yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan
kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya
kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya
anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam
terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan
professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya
buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
Kata Kunci : Pembaharuan, Pendidikan Islam, Fazlur Rahman
A.
PENDAHULUAN
Ketika
memasuki abad ke-18 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh penetrasi Barat
terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa
mundurnya umat Islam itu jika dihadapkan dengan kemajuan Barat. Untuk mengobati
kemunduran umat Islam tersebut, maka pada abad ke-20 mulailah diadakan
usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan manusia termasuk dalam
bidang pendidikan.
Manurut Fazlur Rahman, meskipun
telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan Pendidikan Islam, namun dunia
pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan
pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan pada
tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada
kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu untuk
menyelamatkan umat Islam dan pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh
dampak gagasan Barat yang dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama
gagasan-gagasan yang mengancam standar-standar moralitas tradisional Islam.
(Rahman, 1984 : 86)
Pada dasarnya ada tiga pendekatan
pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman
pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan
menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu
pengetahuan modern.
Pertama, mengislamkan
pendidikan sekuler modern. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima
pendidikan sekuler modern yang telah berkembang
pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu
mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari
mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak
pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang
berpendidikan modern menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai
Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam
untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 :
131)
Kedua tujuan tersebut berkaitan erat
antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan watak dengan
nilai-nilai Islam yang dilakukan pada pendidikan tingkat pertama ketika
pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu
pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam,
maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam
pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan
membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi
dalam skala yang luas (Rahman, 1984 : 131).
Kedua, menyederhanakan
silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan
tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan
silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan
yang tidak perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat
tertentu (seperti logika), dan segudang karya tentang hukum Islam>
penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam
berbagai disiplin zaman pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa
dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).
Ketiga, menggabungkan
cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, lama waktu
belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum
sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi telah
dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan untuk menggabungkan ilmu-ilmu
pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 :
138)
Akan tetapi menurut Fazlur Rahman,
integrasi dan penggabungan yang seperti diuraikan di atas tidak ada, karena sifat
pengajaran yang umumnya mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang
lama dengan ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan
masih minimnya jumlah buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini
mengakibatkan, di satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik
mempunyai bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan
professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak akan
dihasilkan dalam skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat kondisi
yangh demikian ini, Rahman mencoba menawarkan solusinya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui
bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tersebut, maka studi gagasan
Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat
penting.
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji pandangan
seorang sarjana Muslim yang memiliki dua tradisi lingkungan pendidikan –
lingkungan pendidikan Deoband, dan lingkungan pendidikan modern Barat – yakni
Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yang
sangat urgen dibahas di sini adalah tentang sifat dari sistem pendidikan Islam.
Dari latar belakan masalah yang
diuraikan di atas dapat diketahui bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan
Islam masih dihadapkan kepada beberapa problerm pendidikan.
Oleh karena itu yang menjadi masalah
pokok dalam tulisan ini adalah
- Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman?
- Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu ?
2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yang perlu dielaborasi atau
dijelaskan agar bisa lebih terfokus yang tidak bias oleh beragam pengertian dan
interpretasi dalam menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang
pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam
Istilah
education dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin educere
berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke dalam kepala seseorang. Dari
pengertian istilah ini ada tiga hal yang terlibat ; Yaitu imu, proses
memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk di kepala (Langgulung,
1992 : 4).
Dalam
bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian
pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Namun
menurut beberapa ahli pendidikan, terdapat perbedaan antara ketiga istilah itu.
Ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan.
Sedangkan kata tarbiyah yang lebih sering dipergunakan di negara-negara
berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk
binatang, tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela atau
menternak. Sementara pendidikan yang diambilm dari istilah education itu
hanya untuk manusia saja (Langgulung, 1992 : 4-5).
Pemakaian
ta’dib, menurut al-Atas, lebih tepat, sebab tidak terlalu sempit sekedar
mengajar saja, tetapi juga tidak luas meliputi makhluk makhluk selain manusia. Ta’dib
sudah meliputi ta’lim dan tarbiyah. Selain itu kata ta’dib
erat hubunganya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi
pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).
Dalam
kamus kontemporer Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses
pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan,
dan latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991 : 353).
Kata
Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu
pendidikan yang berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap seseorang agar dia menjadi seorang Muslim yang semaksimal
mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya pengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam
agar terwujud kehidupan yang makmur dan bahagia (Zaini, 1986 : 12).
Pendidikan
Islam yang dimaksud dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang
telah dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam di atas. Yang dimaksud
pendidikan Islam dalam penelitian ini adalah bimbingan yang diberikan kepada
seseorang atau kelompok orang kepada orang lain atau masyarakat agar orang lain
atau masyarakat itu berkembang secara maksimal sesuai dengan petunjuk ajaran
Islam.
2. Modern
Istilah modern berasal dari bahasa
Ingrris, “modern” yang berrti sejarah modern (Echols dan Shadily, 1990 : 384).
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia istilah modern diartikan sebagai yang
terbaru atau mutakhir (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan menurut Harun
Nasution, istilah modern berarti masa yang dimuali dari tahun 1800 M sampai
seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
istilah modern adalah seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution yaitu masa
atau periode sejarah dunia yang dimuai sejak tahun 1800 M semapai sekarang ini.
Meskipun
pendidikan Islam telah banyak dibahas oleh para ahli pendidikan, namun masih
sedikit yang mengkaji pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.
Buku-buku yang membahas tentang
pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam oleh Hasan
Langgulung, Konsep Pendidikan Islam oleh Naquib al-Attas, Sistem
Pendidikan Islam oleh Muhammad Quthb, dan Horison Pendidikan
Islam oleh S. Ali Asyraf.
Khusus kajian terhadap Fazlur
Rahman, kajian yang ada tekananya lebih banyak pada gagasannya tentang hukum
dan politik. Kajian-kajian tersebut antara lain The Islamic Concept of The
State karya John L. Esposito, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, dan Pandangan
Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.
Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun
gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam merupakan salah satu proyek
sentralnya, namun penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika
pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan.
Sehingga pemikiran tentang gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya
Fazlur Rahman secara memadai belum banyak dikenal oleh kalangan pemerhati Islam
kontempoter di Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman pada bidang
filsafat dan hukum Islam.
Semenatara untuk melihat pemikiran
Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan
menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur
Rahman, baik dalam bentuk buku, artikel maupun makalah. Setelah itu dilakukan
telaah dan klasifikasi, mana yang membahas atau yang ada kaitannya dengan tema
pendidikan Islam.
Dari survei kepustakaan tentang
karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan dengan paradigma pemikiran pendidikan
Islam dan latar belakannya, sumber uatama yang digunakan antara lain : (1) Islam,
(2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (3)
The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation
for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of
Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali dan (5) Revival and
Reform in Islam.
3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
Penelitian ini pada garis besarnya ada tiga, yaitu :
- Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman
- Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu
Sedangkan
manfaat penelitian diarahkan pada dua
hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik dan
perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua,
Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan dengan teori-teori baru
tentang Pendidikan Islam. Diharapkan dari sini dapat dimulai proyek besar
pembaharuan pendidikan di Indonesia yang lebih menjamin terjadinya pencerahan.
B.
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan
penelitian ini adalah penelitian termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu menganalisis
muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni
penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman
tentang pembaharuan pendidikan Islam.Untuk memperoleh data tentang pemikiran
Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan
sumber-sumber primer berupa buku-buku dan makalah-makalah yang ada relevansinya
dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku,
kitab-kitab, jurnal-jurnal yang terkait.
2. Pendekatan yang
digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan historis.
Pendekatan historis untuk menelusuri latar belakang
pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam dengan mengurai
faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya pemikiran tersebut..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data digunakan analisis isi (content analysis).
Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam pemikiran
Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman
tersebut kemudian dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi,
klasifikasi, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman
Penelitian sejarah Islam pada
umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul dari dampak
penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat
menyadarkan keterbelakangan masyarakat Islam lalu menumbuhkan semangat
kebangkitan Islam.
Gambaran
masyarakat Islam pada saat itu ibarat sebuah masyarakat yang semi-mati yang
menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan.
Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi
oleh masyarakat muslim dari abad 2 H./8 M. Mereka, pada saat itu, dihadapkan
dengan tantangan intelektual “Hellenis”
(Pringgodigdo, 1977 : 402). Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan
tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut
adalah adanya dominasi politik Islam. Secara praktis Islam pada saat itu adalah
penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi dan situasi
Islam saat itu belum terbebani oleh tradisi agama yang semi-mati, hal ini
sangat berbeda dengan kondisi dan situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus
pada akhir abad 18 M.
Akibat kekalahan dan penyerahan
politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan kembali
warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang
terkesan sekedar meminjam dan mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat.
Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum
siap mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana
diperlukan proses dan waktu yang panjang.
Kondisi obyektif masyarakat Islam
yang mengalami kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang
intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat
tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang adalah
modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di
bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio
(pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yang berbeda-beda.
Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yang menyerukan
peningkatan standar moral dan intelektual untuk menanggulangi bahaya
ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak melakukan modernisasi
intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat Muslim untuk mengembangkan
dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan ia hanya mengadakan sedikit
upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya menjadi tugas
Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan
(1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk membuktikan pernyataan al-Afghani
bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya,
yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah,
sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam
kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi
Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119).
Upaya
dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang
meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan Rahman
di atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah berupaya
mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi
awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual.
Ide-ide
kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya
tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan
konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah
Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati
(1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban yang
Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat
“mendongkrak” dunia Islam untuk maju.
Karena
teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat Muslim
(Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan
dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim.
Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang
mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan
dan pemerintahan.
Bersama-sama
dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat
telah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam.
Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran
terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah
kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih
spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr
sangat optimis dengan solusi sufistik
ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari Tuhan (Nasr,
1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah
teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran
Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak.
Dalam
konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti
tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang membedakannya
spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar fenomena psikologis.
Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari penolakan ruh dan
pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari
Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga terputus dari
spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai
obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an,
1993 : 108).
Fenomena
inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya melalui
spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir
modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah
Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib
al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Dari
dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan
memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi
pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di
kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial
yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains
yang Islami”.
Ketiga solusi alternatif di atas
masing-masing mengandung karakter yang berbeda. Rekayasa peradaban Islam
cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr dan islamisasi ilmu pengetahuan
cenderung moderat dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai
Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang menjadikan krisis
peradaban modern sebagai orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga
gagasan tersebut berada pada tataran aksiologis.
Kembali ke pokok permasalahan,
pemikiran Rahman tokoh modernis yang menjadi sentral penelitian ini tidak
sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yang menjadikan fakta
empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana telah
disinggung di muka.
Rahman
menjadikan al-Quran sebagai sentral penelitian (Yuyun, 1993) untuk membangun
konsep-konsep metodologis dan rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman
al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan
oleh Rahman melalui usaha keras dalam membangun konsep dan merumuskan
pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa dua
tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling terkenal adalah Rahman bersama
dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93).
Program
Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam
penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat
ontologi dan epistemologi, tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman
menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme
kontemporer. Masalah tersebut, menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui
gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi
pemikiran Islam.
2. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa
ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat
dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya
aspirasi dan idealisme umat manusia yang
serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula .Ditanbah lagi dengan beban
psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musus
sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis
yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah , berbeda dengan
kedudakan umat islam klasik pada waktu
itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuas).
Fenomena
tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan
.Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari orang -orang yang pikiranya lebih cenderung
kepada agama.Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan pertentangan antara
golongan sekular dengan golongan agama.Pertentangan ini telah menampakan diri
secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki,Mesir,Pakistan dan Indonesia
(Arifin, 1993 : 5).
Fenomina pada gilirannya
mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada tujuan yang
positip.Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat
semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Rahman
bahwa :
Strategi pendidikan islam yang
ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang
positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan
pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh
dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin
ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam
(Nurcholish, 1992 : 455).
Dalam kondisi kepanikan spiritual
itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara
universal bersifat mekanis.Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa
yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan
teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat
menyebabkan kemunduran umat Islam.
Menurut Rahman, ada beberapa hal
yang haruh dilakukan Pertama, tujuan
pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada
kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus
berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada
AL-Qur’an.Menurutnya bahwa :
Tujuan pendidikan dalam pandangan
AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan
kepribadian kreatifnya (Ibid).
Kedua,
beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera
dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman
menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan
sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti
teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada
AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang
dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan
spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat
menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam
terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu
pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang
atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan
tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil
reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau
menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini
pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang
perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan
pembuatan senjata dahsyat itu.
Rahman juga menyatakan bahwa di dalam
Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu
pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju
perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yang pernah
diajarkan oleh Harut dan Marut kepada manusia, itu juga merupakan salah satu
jenis al-’ilm meskipun jelek dalam arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak
yang menyalahgunakan sihir itu untuk memisahkan suami dari istrinya. Begitu
pula hal-hal yang memberi wawasan baru pada akal termasul al-’ilm (Rahman, 1992
: 69) .
b. Sistem Pendidikan
Persoalan
dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh negara Muslim
atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem pendidikan itu bukan hanya
menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tapi juga perbedaan yang lahir
dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.
Sistem
tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang
berasal dari Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan
pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang taat kepada Tuhan
dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana
yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk
memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di
lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus mengesampingkan Tuhan,
berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam
raya atau fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap harinya.
Di
tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman
berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi
sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu
pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan (Nafis, 1995 :
251)
Dengan
demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik
ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun
ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis. 28
Menurut
hemat penyusun, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itulah
yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari
secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai
kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama).
Pendekatan
integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang
memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan
luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli agama, juga
seorang psikolog, ahli dalam ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian pula
dengan Ibn Rusyd, ia di samping sebagai ahli hukum Islam, juga ahli dalam
bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan
(Nata, 1993 : 31)
Adanya
keseimbangan antara ilmu-ilmu umum (dunia) dengan ilmu-ilmu agama dalam suatu
kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, oada gilirannya akan
melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan,
sesuai dengan tingkat pendidikan, sesuai dengan spesilalisasi sempit pada
tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan rumah-rumah hikmah
(universitas-universitas) kemudian hari sampai sekarang (Hutagalung, 1992 :
117-118)
Menurut
Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu berasal
dari Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan di dalam
Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian
diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan
sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan
menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai
kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya tidak
mutlak (Rahman, 1984: 72)
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari
melalui dua jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat
kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :
c. Anak Didik (Peserta
Didik)
Anak didik yang dihadapi oleh dunia
pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya
dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ditumbangkan di
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas
intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality) dari kaum Muslim.
Misalnya seorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yang
sama ia dapat menjadi pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan
tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi
sistem pendidikan tersebut mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang
memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
(Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian dari mereka lebih berperan sebagai
pemain-pemain teknis dalam masalah-masalah agama. Sementara ruh agama itu
sendiri jarang benar digumulinya secara intens dan akrab.
Menurut Rahman, beberapa usaha yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui
metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber
inspirasi moral tapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk
memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks
dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menawarkan metode
sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari
dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan
kembali lagi ke masa kini. Gerakan pertama mempunyai dua langkah.
1. Orang harus memahami arti atau
makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi dan problem historis di
mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mengkaji
ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro dalam
batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga dan mengenai
kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam, khususnya di
sekitar Mekkah harus dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
2. Menggenerasikan jawaban-jawaban
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan moral dan sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam
sinaran latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. Selama proses
ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu
keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang difahami, setiap hukum yang
dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Al Qur’an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan sikap yang pasti terhadap
hidup dan memenuhi suatu pandangan dunia yang kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika dua momen gerakan ganda ini
dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hidup dan
efektif kembali (Ibid) Metode
penafsiran yang ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai prosedur
ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi
secara sistematis pandangan yuridis Maliki dan Syathibi tentang betapa
mendesaknya memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif ke
dalam gerakan pertama dari metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis,
kritis dan holistik. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum
etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Rahman, op.cit : 20)
d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk mendapatkan kualitas pendidik
seperti itu di lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali.
Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan
pendidikan Islam di beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang
berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan
terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh
menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat yang berguna
untuk idealita masih sulit ditemukan
pada masa modern (Rahman, Op.Cit. : 139). Masalah kelangkaan tenaga pendidik
seperti ini telah melanda hampir semua negara Islam.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga
pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki
bakat-bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama
(Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi keperluannya dalam
peningkatan karir intelektual mereka (Ibid).
Apabila hal ini tidak segera dilakukan maka upaya untuk menciptakan pendidik
yang berkualitas tidak akan terwujud. Sebab hampir sebagian besar pelajar yang
memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yang gagal memasuki
karir-karir yang lebih basah.
Kedua,
mengangkat lulusan mdrasah yang relatif cerdas atau menunjuk
sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di
universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan
tinggi sebagai guru besar-guru besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi,
dan sejarah Islam. Ketiga, para
pendidik harus dilatih di pusat-puast studi keislaman di luar negeri khususnya
ke Barat (Rahman, Op.Cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu
ia menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.Cit : 123).
Atas gagasan Rahman ini, Institut yang dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal
berkala ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para
anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di
samping beberapa buku dan suntingan-suntingan dari naskah-naskah klasik
(Rahman, Loc.Cit). Kasus institut ini
melukiskan telah lahirnya kesarjanaan yang kreatif dan bertujuan.
Gagasan Rahman itu juga pernah
diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN
yang potensial untuk melanjutkan studinya ke universitas di negeri Barat yang
mempunyai pusat-pusat studi Islam. Awal dari dampak positif
pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa antara
lain seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang
pengajaran dan penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.
Keempat,
mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris
dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik
para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi meeka
pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, dan
yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini
tampak Rahman ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik
kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yang lulusan universitas.
Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan
mempunyai komitmen yang kuat terhadap Islam.
Kelima,
menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif
dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat,
seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik
juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian dan berusaha untu
menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang memiliki karya yang bagus harus
diberi penghargaan antara lain dengan meningkatkan gajinya (Rahman, Loc.Cit. : 522)
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis
terdahulu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh
pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia,
Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut
masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian
berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang
positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik,
munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki
komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya
menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran
yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di
perpustakaan.
2.
Kontribusi terhadap upaya modernisasi pendidikan Islam
meliputi lima bidang, yaitu (1) tujuan pendidikan (2) dikotomi sistem
pendidikan (3) anak didik (4) pendidik (mu’alim), dan (5) peralatan pendidikan.
Beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat telah
menyebabkan tujuan pendidikan Islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif.
Tujuan pendidikan Islam hanya berorientasi kepada kehidupan akherat semata dan
bersifat defensif terhadap ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi ini menurut Rahman
ada tiga usaha yang harus dilakukan : (a) mengorientasikan tujuan Pendidikan
Islam kepada kehidupan dunia dan akherat sekaligus dan bersumber dari
al-Qur’an. (b) menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi
Barat, dan (c) menghilangkan sikap negatif terhadap ilmu pengetahuan.
Adanya dikotomi sistem pendidikan Islam telah menyebabkan
rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak
lahirnya anak didik yang amemiliki komitmen spiritual dan intelektual yang
mendalam terhadap Islam. Untuk mengatasi masalah ini ada empat buah usaha yang
harus dilakukan ; (a) memberikan pelajaran al-Qur’an dan metode tafsir
sistematis, sehingga memungkinkan al-Qur’an tidak saja berfungsi sebagai sumber
inspirasi moral tetapi juga tidak dijadikan sebagai rujukan sentral bagi
pemecahan persoalan yang muncul ke permukaan, (b) memberikan materi disiplin
ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis, dan menyelurruh, sehingga melalui
upaya ini dapatmengintegrasikan pikiran-pikiran itu ke dalam konsep Islam yang
utuh dan terpadu, (c) mengintensifkan penguasaan bahasa asing seperti bahasa
Arab dan bahasa Inggris disamping bahasa nasional (d) menumbuhkan sikap toleran
terhadap perbedaan pendapat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin,
1995, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Abdullah, Abdurrahman
Shaleh, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, terj. M. Arifin dan
Zainuddin, 1990, Teori-teori Pndidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta :
Rineka Cipta
Achmad, Amrullah, “Kerangka
Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed.), 1991, Pendidikan
Islam di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya
Adams, Charles C.,
1968, Islam and Modernity in Egypt, New York : Russel
Amal, Taufiq Adnan,
1987, Islam Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,
Bandung : Mizan
______, (ed), 1987, Motode
dan Alternatif Neo Modernisme Islam, Bandung : Mizan
______, dan Fauzi,
Ihsan Ali, Fazlur Rahman Sang Sarjana Sang Pemikir, Jakarta : LSAF, 1988
Anderson, Norman, 1976,
Law Reform in The Muslim World, London : University of London
Anshari, Endang
Saefuddin, “Dunia Islam Masa Lalu dan Kini Menyongsong Abad XV Hijrah”, dalam
Rdan Iqbal Emsyarif Saimina (ed.), tt., Kebangkitan Islam dalam Pembaharuan,
Jakarta : Bumi Aksara
Bawani, Imam, 1987, Segi-Segi
Pendidikan Islam, Surabaya : Ihklas
B. Suryosubroto,
1983, Beberapa Aspek dasar Pendidikan, Jakarta : Bina Aksara
Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode
Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia
Berkes, Niyazi, 1964,
The Developments of Secularism in Turkey, Montreal : McGill university
Press
Esposito, John L.,
1984, Islam and Politics, New York : Syracuse University Press
Fahmi, Asma Hasan,
1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Faruqi, Isla’il Raji,
1984, Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Pustaka.
Harahap, Syahrin, Al-Qur;’an
dan Sekularisasi : Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein,
Yogaykarta : Tiara Wacana Yogya.
Langgulung, Hasan,
1992, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna
Ma’arif, Syafi’I,
1993, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, Bandung : Mizan
Madjid, Nurcholish,
1992, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina.
Nasution, Harun,
1994, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta :
Bulan Bintang.
Rahman, Fazlur, 1968,
Islam, New York : Anchor Book
________, 1982, Islam
and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition, Chicago :
University of Chicago Press
________, 1983, Major
Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an,
Bandung : Pustaka
Zuhairini
dkk, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana
dan Prasarana Perguruan Tinggi IAIN