Mencari Mister Right

Setiap perempuan pasti memiliki daftar pria idaman yang secara sadar maupun nggak sadar sudah tersimpan di hati, di kepala, atau bahkan dituliskan di dalam diary (masih ada nggak, sih, yang punya diary?). Daftarnya bisa terdiri dari berbagai macam kriteria, dari yang umum seperti: tampan, tinggi, pintar, lucu, baik; sampai yang spesifik seperti: memiliki visi-misi yang sama atau harus punya pekerjaan tetap dan berkantor di segitiga emas Jakarta. 

Begitu pun saya. Akibat kebanyakan menonton film komedi romantis versi Hollywood, membaca majalah wanita dengan sampul yang mengilat, dan pasokan novel romantis yang nggak berkesudahan, saya menciptakan daftar pria idaman tersebut... mungkin sejak masa remaja.

Ah, tapi saya yakin, kok, kalau saya nggak sendiri.

Selama ini saya hidup di dalam pengharapan yang nggak realistis—seperti dalam dongeng bahwa akan ada pangeran tampan berkuda putih yang akan menyelamatkan saya dari nenek sihir jahat, atau di dalam komedi romantis bahwa semua orang yang baik dan bersikap pantas akan mendapatkan akhir yang bahagia. Selamanya.

Namun semakin dewasa (atau bertambah usia, karena bertambah usia bukan berarti bertambah dewasa), saya menyadari satu hal: pria idaman dalam sosok Mr. Right nggak ada di dunia ini. Di dunia nyata, kita akan bertemu dengan dengan para pria yang nggak sempurna atau tidak sesuai dengan kriteria kita dan berujung pada kekecewaan: ‘kenapa dia begini, kenapa dia nggak begitu?’

Seringkali kita terlalu fokus dalam menemukan seseorang dengan kriteria tertentu yang telah kita tetapkan sebelumnya. Wajar, kok. Ini karena kita dibesarkan dalam suatu lingkungan, yang membuat kita memiliki nilai-nilai yang kita sebut sebagai ‘ideal’ sehingga ketika bertemu dengan orang yang memenuhi kriteria tersebut, kita akan berkata penuh pengharapan, ‘tipe gue banget, tuh.’ 

Lalu suatu hari datanglah seseorang yang nggak ‘ideal’ dan bukan ‘tipe gue banget’ –dan tiba-tiba kita merasa panik, kenapa kita bisa tertarik dengan pria seperti ini? Seseorang yang nggak jauh dari kriteria, bukan tipe kita, dan pastinya nggak masuk dalam kamus pria ideal di kepala kita.

Itu karena yang namanya hukum tarik menarik dalam cinta/suka/sayang sama sekali nggak ada hubungannya dengan daftar kriteria pasangan idaman yang kita susun dari saat pertama kali mengenal lawan jenis.

Saya melihat banyak orang yang melakukan hal-hal yang mereka pikir akan membuat terkesan orang yang memenuhi kriteria mereka. Tapi seperti yang saya bilang di atas bahwa tidak ada kepastian dalam hukum tarik menarik. Kenyataannya adalah bisa saja kita dan si pria-yang-memenuhi-kriteria-idaman berasal dari latar belakang yang sama, memiliki pola pikir, ketertarikan akan hal-hal tertentu yang sama, banyak kecocokan—namun, BOOM!, nggak ada chemistry. Mau diseret paksa pun, pasti hubungannya akan susah dibawa kemana-mana.

Kita akan selalu berada di bawah tekanan (baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan terdekat) untuk memiliki pasangan yang cocok dengan deskripsi ‘ideal’ tersebut. Tapi semakin kita berusaha untuk bersama dengan si ‘ideal’ tersebut, maka biasanya kita akan semakin tidak bahagia. Apalagi kalau di saat yang bersamaan kita menemukan seseorang yang ‘tidak ideal’ tapi hukum tarik menarik menunjukkan kekuasaannya dengan membuat kita tertarik kepada orang itu. Namun lagi-lagi, karena merasa bahwa dia bukanlah orang yang ideal, kita berusaha menekan rasa tersebut, yang efeknya akan membuat kita semakin tidak bahagia.

Nggak ada yang salah dengan memiliki daftar kriteria pria idaman, hanya saja jangan sampai menjadikannya patokan mati yang nggak bisa ditawar hanya karena kita memaksa nggak mau menerima kurang dari batas minimum. 

Kalaupun saat ini kita menemukan yang kita anggap sempurna, apakah mereka akan tetap sempurna lima atau sepuluh tahun yang akan datang? Karena konsep mengenai apa yang kita inginkan dalam sebuah hubungan bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Daftar kriteria pria idaman saya pada usia 15 tentunya berbeda dengan saat saya berusia 25. Semakin bertambah usia, prioritas berubah dan biasanya kita lebih memprioritaskan hal yang bersifat kenyamanan secara emosional—karena, yah, yang namanya fisik pasti berubah. 

Sekarang, coba jalani hidup seperti nggak ada orang yang melihat dan tanpa ekspektasi. Lepaskan sesaat semua kriteria idaman tersebut dan lihat bagaimana hidup membawa kejutan untuk kita. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuat kita tertarik, rasanya akan menjadi natural. Dan kalau kita masih memaksa melihatnya dari daftar kriteria yang mungkin nggak bisa dia penuhi, kenapa kita nggak memberikannya kesempatan? Mungkin saat ini dia hanya Mr. Right Now, tapi suatu hari, siapa tahu bagian ‘now’-nya akan hilang dan, SURPRISE!, dia menjadi Mr. Right.