Hubungan antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon
Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh golongan yang terbatas di Indonesia.51 Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab tersebut
Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya. Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan media untuk berdakwah.52
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam.53 Penggubahan dan penciptaan secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung karena banyaknya, sebagian sudah rusak karena dimakan usia.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton Yogyakarta) yang dapat diidentifikasikan sebagai karya Produksi Hamengku Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan setengah saduran dan salinan. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan atas naskah babad, silsilah, sastra, pewayangan, suluk, piwulang, primbon, jawuko, penanggalan, bahasa, dan tari54.
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut (umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya, produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam, bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi, angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya, berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri Manganti keraton Yogyakarta.55
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa Melayu.56
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon
Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Nusantara sebagai kitab kuning.
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya. aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan (mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu;58 (1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya, sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan, termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1. Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah, termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.
2. Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.
3. Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.
4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2) Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa (natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c) Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan pernyataan yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu, tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain. Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi terhadap pendapat mazhabnya.
Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam bahasa Jawa disebut aksara pegon.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh golongan yang terbatas di Indonesia.51 Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab tersebut
Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya. Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan media untuk berdakwah.52
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam.53 Penggubahan dan penciptaan secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung karena banyaknya, sebagian sudah rusak karena dimakan usia.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton Yogyakarta) yang dapat diidentifikasikan sebagai karya Produksi Hamengku Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan setengah saduran dan salinan. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan atas naskah babad, silsilah, sastra, pewayangan, suluk, piwulang, primbon, jawuko, penanggalan, bahasa, dan tari54.
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut (umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya, produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam, bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi, angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.
Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya, berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri Manganti keraton Yogyakarta.55
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa Melayu.56
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon
Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Nusantara sebagai kitab kuning.
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya. aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan (mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan bahasa Jawa yang wajar.
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu;58 (1) Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya, sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan, termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.
Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;
1. Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah, termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.
2. Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum.
3. Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.
4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2) Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa (natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c) Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan pernyataan yang dianggap perlu.
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu, tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain. Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi terhadap pendapat mazhabnya.