cerpen diambil dari http://farid.zainalfuadi.net/you-and-surabaya-is-myhero/#more-211
YOU AND SURABAYA IS MYHERO
Aku tidak tahu kenapa semuanya menjadi sesulit ini, impian, harapan, masa depanku semua telah musnah. Aku tidak pernah membayangkan ini semua terjadi kepadaku, semua ini seperti tsunami di tengah laut yang tenang. Aku benci ini semua, aku benci diriku sendiri, dan aku benci dengan takdir, aku benci dengan takdirku yang sangat menyakitkan ini. Apalah arti hidup ini jika semuanya telah hancur.
Aku berjalan diiringi kehampaan. Aku berjalan entah dimana tanah yang aku pijak. Aku berjalan sambil terus menahan air mataku yang tidak boleh menetes lagi. Aku berjalan di tengah hembusan angin yang sangat membuatku jengkel, karena angin itu seakan menari dan menertawakanku yang tak berguna ini. Aku berjalan tanpa aku tahu kemana arah tujuanku. Aku hanya berjalan untuk memulihkan diriku yang rentah ini.
Entah apa yang telah ku perbuat hingga semuanya terjadi, kerja kerasku selama bertahun-tahun seakan bertepuk sebelah tangan. Aku benci ini. Aku sungguh-sungguh benci ketika pengumuman itu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku benci kegagalan ini karena kegagalan ini adalah kegagalan yang paling konyol di hidupku.
Aku benci kegagalan karena aku adalah Aira, Aira Dewi Airlangga. Aku adalah anak perempuan satu-satunya dikeluargaku. Aku adalah sumber kebahagia-an dan kebangga orang tuaku. Aku layaknya mutiara dalam keluargaku. Sejak aku lahir hingga aku remaja, aku selalu mampu menjadi yang terbaik bagi diriku sendiri dan kedua orang tuaku. Aku selalu tersenyum puas ketika mereka bangga terhadapku, mereka bangga dengan semua prestasi yang aku torehkan. Bagi mereka dan diriku sendiri, aku adalah mutiara yang selalu bersinar, karena aku Aira Dewi Airlangga. Tapi semua itu telah berubah.
Aku kini bukanlah mutiara yang selalu bersinar, aku kini hanya kumpulan lumpur yang sangat kotor. Aku kini lumpur dalam keluargaku, aku adalah lumpur ditengah-tengah gemerlapan cahaya keluargaku. Kini aku adalah Aira si bodoh dan tak berguna.
Bayanganku menuju satu minggu yang lalu, ketika aku menerima telepon dari Gina, sahabatku. “Ra, gue diterima di arsitekturnya UI” ujar Gina dengan penuh histeris. Aku hanya tersenyum ikut merasakan kebahagiannya.
“Aira, lo tau?! Gue juga di terima di TI-nya UI” ujar seorang cewek dengan suara lain, aku tersenyum ketika bisa mengenali suara itu, suara itu adalah suara Tara. “Kita seneng banget Ra” ujar Gina dan Tara bebarengan.
“Iya, gue juga ikut seneng. Emang pengumuman SNMPTN-nya udah keluar ya?” kataku, karena aku benar-benar tidak tahu hasil SNMPTN sudah diumumkan.
“Loh? Emang lo belum liat Ra?” kata Gina dengan nada tidak percaya. “Ala, nggak usah diliat hasilnya, pasti lo lulus dan selamat lo bakal masuk kedokterannya UI gabung sama kita. Kita bakal satu kampus” lanjutnya.
“Gue harap juga gitu. Gue deg-degan nih” kataku dengan nada penuh pengharapan namun aku tersenyum mendengar teman-temanku berhasil menembus SNMPTN.
Setelah aku mematikan telepon, aku segara membuka web untuk melihat pengumuman. Dengan perasaan aneh dan sulit untuk dijabarkan aku mencoba mencari kepastian. Pandanganku melebar dan napasku tercekat ketika aku melihat hasilnya. Tanpa aku sadari air mataku terus menetes, tanpa bisa aku hentikan.
Setelah kejadian itu aku tidak berani keluar kamar dan aku tidak mau menerima telepon dari semua orang. Aku sangat tidak berguna, semua pialaku, semua sertifikat prestasiku tidak ada gunanya. Aku bodoh, aku bodoh karena tidak bisa menakhlukkan SNMPTN. Aku adalah cewek gagal. AKU GAGAL!!!!. AKU BUKANLAH MUTIARA DIKELUARGA AIRLANGGA.
Masih jelas dalam ingatanku ketika orang tuaku tahu tentang ini semua. Mereka hanya diam dan menatapku entah apa artinya. Dan aku… Aku hanya menangis dan terus berkata “AKU BODOH! AKU TIDAK BERGUNA!”.
Hari-hari aku jalani dengan perasaan hampa. Aku menjauhi semua sahabat dan teman-temanku, aku tidak mau mereka menertawakanku karena kegagalan ini. Aku tidak mau mendengar “Aira si jenius gagal SNMPTN???”.
Aku teringat kata-kata papaku beberapa jam lalu “Aira masuk universitas swasta aja ya. Kedokteran TRISAKTI kualitasnya juga bagus” kata papa sebelum berangkat kerja. TRISAKTI? Memang itu universitas yang bagus, tapi itu bukan impianku. Aku hanya ingin kuliah di universitas impianku.
Dering telepon dari ponselku menyadarkanku. “Apa ini Aira? Tolong anda ke rumah sakit Pertamina sekarang. Kedua orang tua anda dalam keadaan kritis karena kecelakaan yang mereka alami”.
Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat dan napasku benar-benar tercekat. Dengan perasaan yang sulit aku pahami, aku langsung mencari taxi dan menuju rumah sakit tersebut. Sesampainya di rumah sakit aku langsung mencari ruangan kedua orang tuaku. Langkahku langsung terhenti ketika seorang suster menghentikanku.
“Apakah anda keluarga dari bapak Airlangga dan ibu Aini?” tanya suster itu dan aku hanya mengangguk menjawabnya. “Silahkan ikut saya” kata suster itu sambil mengantarku memasuki ruangan UGD tempat kedua orang tuaku dirawat.
Sesampainya di sana aku hanya dapat melihat dua ranjang yang menggemuk dan tertutup oleh selimut putih. Tanpa ku sadari langkahku begitu berat dan aku membuka selimut itu. Air mataku mengalir deras ketika menangkap wajah papa yang sangat pucat.
“Maaf nyawa kedua orang tua mbak tidak bisa kami selamatkan” kata seorang dokter yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatku.
Aku hanya bisa menangis, dan menangis, aku hanya memeluk papa yang telah terbujur kaku. Aku hanya bisa menangisi kepergian kedua orang tuaku yang kini meninggalkanku sendiri. Aku menangis karena membiarkan mereka pergi tanpa membawa kebahagian dan kebanggaan. Aku menangis karena aku adalah anak yang gagal, aku sudah gagal menjadi anak mereka.
“Maafin Ira mam, maafin Ira pap. Ira gagal. Ira gagal menjadi anak papa dan mama” gumamku sambil terus meneteskan air mata.
Detik-detik selanjutnya berjalan amat berat aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya melihat mereka melihatku dengan tatapan penuh kasihan. Aku benci dengan ini semua, aku benci dikasihani mereka.
Aku menatap pusara kedua orang tuaku, ada perasaan aneh menyelimuti-ku, aku tidak pernah merasakan seperti. Apa ini yang dinamakan kehilangan? Jika iya, kenapa Engkau tidak memanggilku juga? Kenapa Engkau membiarkanku hidup sendiri dengan perasaan sesakit ini? Kenapa Engkau begitu jahat dan tidak adil kepadaku Tuhan?.
Mataku menatap sesosok Gina dan Tara, mereka menatapku dengan pandangan yang tidak biasanya. Mereka langsung memelukku tanpa aku bisa menyangkal, aku juga tidak bisa mengelak ketika air mataku menetes lagi ketika mereka menangis tersedu-sedu dibahuku.
“Aira…” seru seseorang yang sangat aku kenal. Mataku melebar ketika menyadari pemilik suara yang sedang menggandeng tangan seorang cewek yang aku kenal juga. “Gue dan Jeany turut berduka-cita. Semoga papa dan mama lo berada di tempat terindah disisinya” kata Hery penuh dengan rasa kasihan. “Yang sabar ya Ra” tambah Jeany dengan nada yang sama. Sama-sama kasihan.
Aku hanya bisa memaksakan seulas senyuman untuk mereka. “Ra, jangan tambah sedih ya, mereka udah jadian” kata Tara lirih ketika Hery dan Jeany pergi. Aku hanya menatap mereka berjalan meninggalkanku dengan perasaan hancur.
Hery adalah cinta pertamaku, melalui kediamanku, aku mencintainya. Aku mencintai dia dengan segala yang ada pada dirinya. Aku mencintainya sejak aku mengenalnya di bangku SMP. Aku mencintainya ketika aku sadar bahwa cintaku adalah dia. Dan kini…
Aku menghembuskan napasku dengan sangat berat, Tara dan Gina lebih mengeratkan pelukan mereka. Kenapa semua terjadi padaku?. Cita-cita, kehangatan keluarga, dan Cinta semuanya pergi. Semuanya pergi meninggalkan-ku tanpa aku bisa mencegahnya.
Tatapanku tertuju pada Oma yang tersenyum penuh arti menatapku, dia adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku berjalan mendekatinya dan menghambur memeluknya. “Aira, pindah ke Surabaya saja ya. Temani Oma di sana” katanya dengan lembut, dan aku tidak bisa melakukan banyak ketika aku segera di boyong ke Surabaya pada sore yang terseberat dalam hidupku.
Tatapanku tertuju pada gemerlapan bintang di langit, aku tersenyum sinis kepada mereka, bisa-bisanya mereka tersenyum padaku dalam keadaanku yang sekarang. Mereka tersenyum ketika aku sedang benar-benar hancur.
Aku menatap langit yang indah di Surabaya untuk pertama kalinya dengan perasaan hancur. Air mataku kembali menetes ketika aku teringat dengan semua yang terjadi. Dalam sekejap semuanya telah berbeda. Kehidupanku telah berubah.
Samar-samar aku mendengar petikan gitar dari tetangga sebelah, ujung mataku juga menangkap seorang cowok yang terduduk dengan memainkan gitarnya. Sorrow sank deep inside my blood… All the ones around me… I cared for and loved… But I can’t see myself that way… Please don’t forget me… Or cry while I’m away. Aku tahu itu adalah lagunya Avanged entah apa judulnya, yang pasti mendengar itu semakin membuat hatiku merintih. Yeah.. cowok itu benar-benar hebat karena dia perasaanku menjadi semakin hancur.
Aku tertidur diiringi petikan gitar dan suara cowok itu. “Mama, Papa, maafin Ira…” Cry alone I’ve gone away.. No more nights no more pain.. I’ve gone alone took all my strength.. But I’ve made the change I won’t see you tonight..[1]
Aku terbangun dengan mata berat, aku menatap langit-langit kamar dengan ingatan kejadian kemarin yang aku alami. Aku memberengut kecewa ketika aku menyadari bahwa semuanya bukan mimpi. Ini kenyataan. Sebuah kenyataan dimana aku telah kehilangan semuanya.
Aku terbangun ketika jam telah menunjukkan pukul 7 pagi. Yah, maafkan aku Tuhan telah melalaikan tugasku. Tapi bukannya Kau juga sama. Kau juga melalaikan tugasmu untuk menjaga kedua orang tuaku, menjagaku dan membahagiakanku?.
Aku memilih untuk berjalan di sekitar kompleks rumah Oma. Aku menangkap suara petikan gitar ketika aku melewati rumah tetangga yang tepat berada di samping kanan rumah Oma. Aku melihat seorang cowok sedang duduk di teras sambil memainkan gitarnya.
Getaran di hatiku yang lama haus akan belaianmu seperti saat dulu. Saat-saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini. Dan kau bisikkan kata-kata… Aku cinta kepadamu..[2]
Aku terhenti sesaat dan tersenyum mendengar lagu itu. Diam-diam aku merasa ibah kepada cowok itu, karena dari kemarin lagu yang dinyanyikannya selalu bernada galau. Sepertiku. Tapi setidaknya akulah yang paling hancur, semuanya hancur berkeping-keping. Aku mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan acara jalan-jalanku. Aku memilih menghabiskan semua hariku untuk mengelilingi Surabaya, setidaknya mungkin ini bisa membuatku untuk sesaat melupakan semua yang terjadi. Walaupun itu tidak akan pernah terjadi.
Jam weker, berdering dengan nyaring, dengan mata berat aku melihat jam berapa sekarang. Mataku terbelalak melihat jam tersebut. pukul 9 pagi, aku melupakan tugasku di kala subuh lagi. Hari ini aku habiskan waktu dengan memikirkan ucapan Oma. Ia berucap agar aku kuliah di universitas Hang Tuah, karena di sana ada jurusan kedokterannya, seperti cita-citaku. Tapi itu bukan impianku, impianku adalah kuliah di UI jurusan kedokteran. Aku termangu menatap seluit sore keemasan yang indah.
‘Papa, mama, aku kengen. Aku ingin bertemu kalian, kenapa kalian tidak menjemputku? Aku tidak bisa meneruskan hidupku lagi’ ucapku lagi. lalu dengan lembut untuk kesekian kalinya aku mendengar petikan gitar dan suara cowok tetangga. Perlahan air mataku tumpah lagi.
Tak kan pernah habis air mataku, bila ku ingat tentang dirimu. Mungkin hanya kau yang tau, mengapa sampai saat ini ku masih sendiri. Adakah disana, kau rindu padaku meski kita kini ada di dunia yang berbeda. Bila masih mungkin waktu berputar kan kutunggu dirimu…
Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada disana menemani dirimu dalam kedamian. Ingatlah cintaku, kau tak terlihat lagi namun cintamu abadi…[3]
Kini hari telah berganti, dan lagi-lagi Malam yang riang menyapa, dan untuk yang kesekian kalinya aku merasa tersindir oleh keriangannya, aku tersindir karena aku belum juga bisa riang sepertinya. Untuk sejenak aku berfikir, apa aku bisa kembali riang seperti dulu? Duniaku kini telah berubah, duniaku kini tidak ada artinya lagi. Aku menutup mataku dan menarik napas dengan berat namun saat ku buka mata, air mataku kembali jatuh.
Aku menyeka air mata itu, kenapa semuanya terasa sulit? Kenapa Engkau begitu jahat kepadaku? Apa aku selalu menyakitimu? Apa Kau begitu membenci-ku sehingga membuat takdirku yang sedemikian rupa? Kenapa Kau menghidupkanku jika kehidupanku kini mematikanku?.
Tak pernahkah kau sadari akulah yang kau sakiti, engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari. Oh tuhan tolonglah aku, hapuskan rasa cintaku, aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia…[4]
“Aku bosan setiap kali melihatmu pasti aura sedih menyelimutimu” kata cowok tetangga setelah menghentikan petikan gitarnya entah kepada siapa. Aku hanya diam dan menatap langit. “Manusia memang boleh bersedih, tapi bisakah mereka tersenyum untuk menutupinya? Kenapa harus menularkan aura kesedihan kepada semua orang?” kata cowok itu lagi. Aku hanya menarik napas dan berusaha tidak menghiraukan kata-kata cowok itu. Aku tidak mengerti kenapa dia berkata seperti itu kepada orang lain dengan suara yang keras sehingga aku bisa mendengarnya. Cowok sinting!
“Aku berbicara kepadamu bodoh!” kata cowok itu lagi sambil berteriak, seakan menjawab pertanyaanku, namun dalam sekejap aku menghapus itu semua, mana mungkin dia berbicara kepadaku. Ujung mataku bisa menangkap bayangannya yang merapat ke ujung balkonnya, sehingga jaraknya denganku lumayan dekat. Aku geleng-geleng kepala, orang sinting!. Aku memutuskan untuk berjalan masuk kedalam kamar dan menutup pintu balkon.
Usaplah air matamu, lalu bilang bahwa kau mampu.. Berjalanlah walau
tertatih kawan.. Hadapi dunia dengan senyuman. Di sini ku ada untukmu, genggam tangan kita bersenang-senang…[5]
Mataku terbuka ketika jam menunjukkan pukul 5 pagi. Aku merasa heran kenapa aku bisa bangun sepagi ini, sejak 2 minggu lalu, aku tidak pernah bisa bangun kala subuh menyapa. Aku memutuskan untuk menjalankan kewajibanku dan menemui Oma ketika jam menunjukkan pukul 8 pagi. Mataku langsung terbelalak ketika mengetahui cowok tetangga sedang berbincang-bincang dengan Oma.
“Aira, sudah bangun? Sini Oma kenalin sama Awan” seru Oma sambil mengenalkanku dengan cowok tetangga itu. Setelah selesai acara perkenalannya, Oma memilih untuk meninggalkanku dengan Awan berdua.
“Soal yang kemarin, aku berbicara kepadamu, tapi kenapa kamu malah meninggalkanku? Apa itu sesuatu yang sopan?”
Keningku berkerut, dan ingatan kemarin menghampiri. “Maaf” kataku.
“Sebagai permintaan maafmu aku ingin kamu mengikutiku” katanya sambil menggeretku ke luar rumah tanpa permisi dan lebih bodohnya kenapa aku sama sekali tidak memberontaknya?. Aku hanya diam ketika ia sedang asik mengemudi mobilnya dan keningku langsung berkerut ketika mobilnya berhenti di sebuah universitas. ‘Universitas Hang-Tuah’.
“Aku ditugaskan Oma untuk mendaftarkanmu di sini” ucapnya sambil menggiringku memasuki kampus itu, dan sadar atau tidak aku merasa terhipnotis, karena aku tidak melawan sama-sekali atas apa yang ia lakukan. Padahal ia mendaftarkanku tanpa menanyakan kesediaanku dulu. Setelah urusan pendaftaran selesai ia mengajakku di sebuah taman kampus.
“Apa ini kampusmu?” tanyaku tiba-tiba tanpa bisa aku cegah.
Awan menggelengkan kepala. “Aku mahasiswa kedokteran UNAIR” jawabnya santai yang berhasil membuatku menatapnya penuh arti.
“Gue kira lo pengamen” celetukku jahat dengan tiba-tiba ketika ia akan tersenyum melihat ekspresiku tadi.
“Terserah kau sajalah!” kata Awan sambil menghembuskan napas panjang “Kenapa kau sedih?” tanyanya secara tiba-tiba sambil menatapku tajam dan itu membuatku gugup.
“Moksud loe?”
“Kenapa kamu sedih? Karena tidak diterima di UI? Karena kepergian orang tuamu?”
Aku hanya diam mendengar hal itu, yah… karena itu semua tapi yang paling membuatku bersedih adalah karena aku merasa ketidak adilan. Ketidak adilan atas semuanya. S-E-M-U-A-N-Y-A.
“Semua kesedihan bakal ada ujungnya dan percayalah semua akan baik-baik saja” ucap Awan dengan nada yang sangat menenangkan. Aku tidak tahu kenapa aku bisa merasakan hal itu, tapi ia benar-benar membuatku jauh lebih baik dari sebelumnya hanya karena mendengar kata-katanya.
Hari-hari selanjutnya aku habiskan dengan bersama Awan dan gitarnya. Aku seperti menemukan dunia yang lain ketika duniaku yang dulu mendepakku keluar. Entah mengapa aku merasa dia bisa mengobati lukaku.
Kau cantik hari ini… dan aku suka.. kau lain sekali.. dan aku cinta…[6]
Mataku melebar ketika mendengar lagu itu, untuk sesaat aku menatap Awan dengan tatapan membunuh namun bibirku menahan senyum agar tidak mengembang. “Lagu ini bukan buat kamu” katanya ketika melihat ekspresiku. Untuk sesaat perasaan kecewaku tiba-tiba muncul. “Bacanya di kamar saja” ucap Awan sambil melempar secarik kertas ke arahku. Aku mengambilnya dan buru-buru memasuki rumah.
Aku hanya tahu sebagian kecil dari dirimu seperti saat kau menangis melihat langit, hingga aku dihadapkan pada suatu pertanyaan dalam hati yang bagiku cukup mustakhil mempercayainya, entah mengapa…
Aku ingin berada di dekatmu menghapus semua kesedihan dan membawa sinar keceriaan sehingga aku bisa melihat dirimu yang dulu. Dirimu yang dulu tidak aku mengerti namun sangat ingin aku pelajari.
Aku tersenyum membaca secarik surat itu. cowok sinting itu ternyata bisa juga membuatku tersenyum dan merasa menemukan pahlawan baru. Pahlawan yang akan merubah duniaku seperti dulu atau mungkin duniaku yang lebih menawan dan mengesankan.
Setelah mendapat surat itu hubunganku dan Awan semakin mengerat entah karena apa. Aku merasa jauh lebih baik ketika ia hadir, yah walaupun perasaan sakit atas apa yang terjadi sebulan lalu masih tersisa, dan itu tidak akan pernahku lupakan.
Tepat di malam ke-33 aku dan Awan duduk bersebelahan sambil memandangi langit Surabaya yang ceriah, yah.. keceriaan itu kini mulai menular kepadaku.
“Lo tau Wan, gue kira.. gue nggak bakal bisa move-on atas apa yang terjadi kepada gue. Tapi lo dan Surabaya membuang anggapan itu jauh-jauh” kataku menembus keheningan malam entah karena dorongan apa. “Thanks, becouse you open myeyes if all i’ll be okay”
“Aku melakukan itu karena diam-diam kesedihanmu bisa menarikku untuk memperhatikanmu, memahamimu, dan mencintaimu”
Aku hanya diam mendengar kata-kata itu. namun aku menikmati setiap hembusan angin yang membenarkan kata-kata itu. mataku melebar ketika ia memberiku secarik kertas. Dengan perlahan aku membuka isi kertas itu dan membacanya.
Ketika semua orang tertawa, aku melihatmu yang bersedih. Ketika sang surya menyapa dengan ceriah, aku tidak bisa melihat kecerian itu dimatamu. Ketika aku melihat bunga yang sedang mekar, aku tidak merasakan kemekaran pada auramu. Yang aku lihat hanya kehancuran, kehancuran yang membuatku ikut hancur. Dalam hati aku berkata, bisakah aku menyatukan sesuatu yang hancur dan membuatnya lebih indah? dan yah.. aku akan berusaha. Karena kau tahu? Kehancuran itu yang membuatku mencintaimu…
“Saat hujan menghampiri bukanlah sesuatu hal yang buruk karena mentari akan menghampiri dan membentuk tujuh warna yang indah, karenanya jangan pernah bersedih dan putus asa karena tangan dan bahuku selalu ada untukmu..” ucap Awan ketika aku selesai membaca suratnya.
Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak pernah aku rasakan bahkan ketika Hery membuatku tertawa.
Aku menghembuskan napas dengan lega, aku tidak akan berbuat apa-apa karena aku hanya ingin menikmatinya, biarlah semua itu berjalan dengan apa adanya, biar waktu dan takdir yang menjawab semuanya. Dengan diiringi petikan gitar Awan, aku dengannya bernyanyi bersama-sama menciptakan mimpi-mimpi yang baru di tengah gelapnya malam.
I have a dream, a song to sing. To help me cope with anything. If you see the wonder of a fairy tale, You can take the future even if you fail. I believe in angels. Something good in everything I see. I believe in angels, When I know the time is right for me… I’ll cross the stream – I have a dream…[7]
Aku melirik Awan yang sedang tersenyum, tanpa sadar aku pun tersenyum lebar. Aku tersenyum karena aku ingin larut dalam indahnya Awan dan Surabaya. Becouse Awan dan Surabaya Is Myhero.
karya lia dan farah
[2] Agnes monica-Rindu
[3] Kerispatih-mengenangmu
[4] Judika-aku yang tersakiti
[5] Naff-tetap berjalan
[6] Lobbow-cantik
[7] Westlife-I have adream