Makalah Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar
Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar
Oleh : Marja, M.Pd
A. Latar Belakang
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan tertentu, tetapi kelainan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, salah satunya yaitu kesulitan belajar atau Learning Disabilities (LD = ketidakmampuan belajar). Gangguan kesulitan belajar (learning disabilities/ LD) merupakan salah satu
permasalahan yang banyak ditemui dalam dunia pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang dialami siswa berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan belajar adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga presatsi belajarnya rendah dan anak beresiko tinggi tinggal kelas.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Menurut Hallahan et al (dalam Abdurahman, M, 1999) jumlah anak berkesulitan belajar meningkat secara dramatis. Hallahan dan Kauffman (1988) mengungkapkan bahwa prevalensi LD sangatlah bervariasi, dari 1% hingga 30%. Secara umum, prevalensi kesulitan belajar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi anak kesulitan belajar pada sekolah umum di Amerika Serikat pada tahun 1976-1977 sebesar 1,8 % (Lyon, dkk., 2001). Hallahan dan Kauffman (1988) mengemukakan bahwa menurut US Department of Education, 4,73% populasi usia sekolah mengalami kesulitan belajar pada tahun 1985-1986. Lyon, dkk. (2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1997-1998, prevalensi kesulitan belajar mencapai 5,2%. Hal ini setara dengan yang dikemukakan oleh Graziano (2002) bahwa pada tahun 1996 diperkirakan 5-6% anak sekolah usia 6 hingga 18 tahun di Amerika Serikat mengalami kesulitan belajar.
Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari 3.215 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta, terdapat 16,52% siswa yang dinyatakan sebagai murid berkesulitan belajar oleh guru (Abdurrahman, M, 1999). Penelitian sebelumnya oleh Balitbang Dikbud dengan menggunakan instrumen khusus dalam peneitian di empat provinsi pada 1996 dan dilaporkan 1997, menemukan bahwa terdapat sekitar 10 % anak mengalami kesulitan belajar menulis, 9 % mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari 8 % mengalami kesulitan berhitung. Di samping itu, diketahui pula bahwa 22 % anak berkesulitan belajar mempunyai intelegensi tinggi, 25 % sedang dan 52 % kurang.
Dari pemaparan di atas jelas terlihat bahwa LD merupakan kondisi yang dapat dialami oleh siswa, dengan prevalensi yang cenderung meningkat. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya kemampuan siswa dalam menguasai tujuan belajar yang harus dicapainya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hasil belajarnya. Sebagai akibatnya adalah adanya kendala dalam kelancaran proses belajar. Banyak siswa yang mengulang disebabkan karena mereka mengalami LD secara akademis.
B. Fokus Permasalahan
Fokus permasalahan ini berkenaan dengan ”Identifikasi siswa LD di SD”, yang akan mengembangkan dan menjawab pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimanakah hakikat dari LD?
2. Instrumen dan patokan apakah yang digunakan untuk menjaring dan menyaring siswa berkesulitan belajar di SD?
C. Hakikat Individu Berkesulitan Belajar
1. Definisi LD
Untuk mengembangkan pemahaman terhadap LD, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai LD, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran dan tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problem belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi. (USOE; United States Office of Education, 1977)
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung. (NJCLD; National Joint Committee on Learning Disabilities, 1981)
Dari dua pendapat tersebut, memiliki beberapa persamaan yang berkenaan dengan:
a. Kemungkinan adanya disfungsi neurologis
b. Adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik
c. Adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi
d. Adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain;
1) LD tidak termasuk & disebabkan oleh MR (keterbelakangan mental, tunarungu, tunanetra,dsb)
2) LD tidak dikategorikan & disebabkan oleh faktor-faktor yg berasal dari luar diri individu.
2. Klasifikasi Kesulitan Belajar
LD diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Kesulitan belajar pra-akademik (perkembangan) dan Kesulitan belajar akademik.
Kesulitan belajar pra-akademik / perkembangan (developmental learning disabilities), berkenaan dengan;
Kesulitan dalam berbahasa; Gangguan bahasa reseptif dan gangguan bahasa ekspresif.
Kesulitan dalam berperilaku sosial & emosional; Kesulitan dalam memahami konsep diri, labilitas emosional, kekurangan dlm keterampilan sosial, gangguan perhatian, hiperaktivitas, dan gangguan aktivitas motorik. Gangguan perseptual; Gangguan perseptual visual, gangguan perseptual auditoris, dan gangguan perseptual visual-motor, taktial, dan kinetetik.
Kesulitan belajar kognitif; Gangguan penggunaan operasi mental melalui ingatan, gangguan dalam melihat hubungan-hubungan, gangguan dalam membuat generalisasi, gangguan asosiasi, dan gangguan berpikir konseptual.
Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities);
Kesulitan belajar membaca; Kesulitan belajar membaca permulaan dan kesulitan belajar membaca pemahaman.
Kesulitan belajar menulis; Kesulitan belajar menulis dengan tangan, kesulitan belajar mengeja, dan kesulitan belajar komposisi.
Kesulitan belajar matematika; Kesulitan belajar konsep matematika dan kesulitan belajar komputasi matematika.
3. Prevalensi anak berkesulitan belajar
a. Terkait erat dengan definisi yang digunakan karena alat identifikasi dan asesmen untuk menentukan prevalensi didasarkan atas definisi tertentu.
b. Prevalensi anak usia sekolah yang berkesulitan belajar membentuk rentang dari 1%-30%
D. Identifikasi LD di SD
1. Proses Pembelajaran dan Anak Berkesulitan Belajar
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
d. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
e. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya
kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
a. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
b. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
c. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang
mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah
satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai.
Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih
jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah
mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut
dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah,
sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat
potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya.
Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
2. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan
studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan
merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu
mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
3. Mengidentifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan
belajar;
a. Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun
khusus dalam bidang studi.
b. Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic” kemudian
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
c. Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
d. Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui
kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list.
e. Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan
guru pembimbing.
Identifikasi Anak Berkesulitan Belajar di Sekolah Dasar
Oleh : Marja, M.Pd
A. Latar Belakang
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan tertentu, tetapi kelainan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus, salah satunya yaitu kesulitan belajar atau Learning Disabilities (LD = ketidakmampuan belajar). Gangguan kesulitan belajar (learning disabilities/ LD) merupakan salah satu
permasalahan yang banyak ditemui dalam dunia pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang dialami siswa berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan belajar adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga presatsi belajarnya rendah dan anak beresiko tinggi tinggal kelas.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Menurut Hallahan et al (dalam Abdurahman, M, 1999) jumlah anak berkesulitan belajar meningkat secara dramatis. Hallahan dan Kauffman (1988) mengungkapkan bahwa prevalensi LD sangatlah bervariasi, dari 1% hingga 30%. Secara umum, prevalensi kesulitan belajar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi anak kesulitan belajar pada sekolah umum di Amerika Serikat pada tahun 1976-1977 sebesar 1,8 % (Lyon, dkk., 2001). Hallahan dan Kauffman (1988) mengemukakan bahwa menurut US Department of Education, 4,73% populasi usia sekolah mengalami kesulitan belajar pada tahun 1985-1986. Lyon, dkk. (2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1997-1998, prevalensi kesulitan belajar mencapai 5,2%. Hal ini setara dengan yang dikemukakan oleh Graziano (2002) bahwa pada tahun 1996 diperkirakan 5-6% anak sekolah usia 6 hingga 18 tahun di Amerika Serikat mengalami kesulitan belajar.
Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari 3.215 murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta, terdapat 16,52% siswa yang dinyatakan sebagai murid berkesulitan belajar oleh guru (Abdurrahman, M, 1999). Penelitian sebelumnya oleh Balitbang Dikbud dengan menggunakan instrumen khusus dalam peneitian di empat provinsi pada 1996 dan dilaporkan 1997, menemukan bahwa terdapat sekitar 10 % anak mengalami kesulitan belajar menulis, 9 % mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari 8 % mengalami kesulitan berhitung. Di samping itu, diketahui pula bahwa 22 % anak berkesulitan belajar mempunyai intelegensi tinggi, 25 % sedang dan 52 % kurang.
Dari pemaparan di atas jelas terlihat bahwa LD merupakan kondisi yang dapat dialami oleh siswa, dengan prevalensi yang cenderung meningkat. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya kemampuan siswa dalam menguasai tujuan belajar yang harus dicapainya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hasil belajarnya. Sebagai akibatnya adalah adanya kendala dalam kelancaran proses belajar. Banyak siswa yang mengulang disebabkan karena mereka mengalami LD secara akademis.
B. Fokus Permasalahan
Fokus permasalahan ini berkenaan dengan ”Identifikasi siswa LD di SD”, yang akan mengembangkan dan menjawab pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimanakah hakikat dari LD?
2. Instrumen dan patokan apakah yang digunakan untuk menjaring dan menyaring siswa berkesulitan belajar di SD?
C. Hakikat Individu Berkesulitan Belajar
1. Definisi LD
Untuk mengembangkan pemahaman terhadap LD, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai LD, yaitu:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran dan tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problem belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi. (USOE; United States Office of Education, 1977)
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung. (NJCLD; National Joint Committee on Learning Disabilities, 1981)
Dari dua pendapat tersebut, memiliki beberapa persamaan yang berkenaan dengan:
a. Kemungkinan adanya disfungsi neurologis
b. Adanya kesulitan dalam tugas-tugas akademik
c. Adanya kesenjangan antara prestasi dengan potensi
d. Adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain;
1) LD tidak termasuk & disebabkan oleh MR (keterbelakangan mental, tunarungu, tunanetra,dsb)
2) LD tidak dikategorikan & disebabkan oleh faktor-faktor yg berasal dari luar diri individu.
2. Klasifikasi Kesulitan Belajar
LD diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Kesulitan belajar pra-akademik (perkembangan) dan Kesulitan belajar akademik.
Kesulitan belajar pra-akademik / perkembangan (developmental learning disabilities), berkenaan dengan;
Kesulitan dalam berbahasa; Gangguan bahasa reseptif dan gangguan bahasa ekspresif.
Kesulitan dalam berperilaku sosial & emosional; Kesulitan dalam memahami konsep diri, labilitas emosional, kekurangan dlm keterampilan sosial, gangguan perhatian, hiperaktivitas, dan gangguan aktivitas motorik. Gangguan perseptual; Gangguan perseptual visual, gangguan perseptual auditoris, dan gangguan perseptual visual-motor, taktial, dan kinetetik.
Kesulitan belajar kognitif; Gangguan penggunaan operasi mental melalui ingatan, gangguan dalam melihat hubungan-hubungan, gangguan dalam membuat generalisasi, gangguan asosiasi, dan gangguan berpikir konseptual.
Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities);
Kesulitan belajar membaca; Kesulitan belajar membaca permulaan dan kesulitan belajar membaca pemahaman.
Kesulitan belajar menulis; Kesulitan belajar menulis dengan tangan, kesulitan belajar mengeja, dan kesulitan belajar komposisi.
Kesulitan belajar matematika; Kesulitan belajar konsep matematika dan kesulitan belajar komputasi matematika.
3. Prevalensi anak berkesulitan belajar
a. Terkait erat dengan definisi yang digunakan karena alat identifikasi dan asesmen untuk menentukan prevalensi didasarkan atas definisi tertentu.
b. Prevalensi anak usia sekolah yang berkesulitan belajar membentuk rentang dari 1%-30%
D. Identifikasi LD di SD
1. Proses Pembelajaran dan Anak Berkesulitan Belajar
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
d. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
e. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya
kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
a. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
b. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
c. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang
mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah
satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai.
Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih
jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah
mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut
dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah,
sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat
potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya.
Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
2. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan
studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan
merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu
mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
3. Mengidentifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan
belajar;
a. Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun
khusus dalam bidang studi.
b. Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic” kemudian
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
c. Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
d. Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui
kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list.
e. Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan
guru pembimbing.