Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai definisi hukum pidana sebagai berikut :
Menurut van Hamel hukum pidana didefinisikan sebagai “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”14)
Sedangkan Simons memberikan definisi sebagai berikut : “Hukum Pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara yang mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu, serta semua aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.”15)
Dari rumusan-rumusan definisi hukum pidana yang ada, menurut Moeljatno dapat disimpulkan bahwa :
“Hukum pidana mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (criminal act),
b. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility);
c. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.17)
Sebagaimana dasar-dasar dan aturan yang diadakan oleh hukum pidana, menyebabkan hukum pidana dapat dipandang dari dua segi sebagai berikut :
a. Hukum pidana dalam arti obyektif (ius poenale).
b. Hukum pidana dalam arti subyektif (ius puniendi).18)
Ius poenale adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang disertai ancaman pidana terhadap orang yang melanggarnya. Ius poenale ini dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil berisikan peraturan tentang :
a. Perbuatan yang diancam pidana ;
b. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ;
c. Hukum penitensier, antara lain jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana.19)
Hukum pidana formil adalah sejumlah peraturan tentang tata cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Hukum pidana formil ini sering disebut hukum acara pidana.
Ius puniendi adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak negara atau alat perlengkapan negara untuk mengancam atau mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu. Mengancam pidana merupakan hak dari lembaga legislatif. Sedangkan mengenakan pidana dilaksanakan oleh lembaga peradilan.20)
Terkait dengan ius poenale yang dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, masing-masing hukum pidana tersebut mempunyai bentuk yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia ketentuan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan perundangan lainnya mengenai tindak pidana khusus, sedangkan hukum pidana formil dimana sebelumnya diatur dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1. Hukum Pidana Formil
Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana. Mengenai istilah hukum acara pidana, Andy Hamzah mengemukakan sebagai berikut :
“Istilah “hukum acara pidana“ sudah tepat dibanding dengan istilah “hukun proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering yang jika diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai..”21)
Menurut Simons, hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan Wirjono Projodikoro menyatakan sebagai berikut : “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”22)
Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana menetapkan aturan-aturan mengenai bagaimana alat-alat negara, yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, menegakkan dan menjalankan ketentuan hukum pidana materiil.
Mengenai fungsi hukum acara pidana, hal ini diantaranya dapat disimpulkan berdasarkan pendapat JM. Van Bemmelen yang mengemukakan sebagai berikut :
“Bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-hal :
a. diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan pidana oleh alat-alat negara,
b. diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan tersebut ;
c. diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan ;
d. dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke hadapan hakim ;
e. menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan terdakwa serta untuk menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib lainnya ;
f. menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil hakim ;
g. akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan tata tertib.23)
Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pengambilan putusan oleh hakim.
c. Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti, dari bahan bukti inilah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana dimana ditegaskan bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha menemukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua proses ini yaitu :
d. Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan pada sidang pengadilan.
e. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.24)
Pemeriksaan penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan adalah serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukannya tindak pidana yang mempunyai arti penting dan berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaskan yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurangtelitian dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi nama baiknya.
Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti suatu perkara pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas kebenaran materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara pidana tersebut.
Menurut van Hamel hukum pidana didefinisikan sebagai “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”14)
Sedangkan Simons memberikan definisi sebagai berikut : “Hukum Pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara yang mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu, serta semua aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.”15)
Dari rumusan-rumusan definisi hukum pidana yang ada, menurut Moeljatno dapat disimpulkan bahwa :
“Hukum pidana mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (criminal act),
b. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility);
c. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.17)
Sebagaimana dasar-dasar dan aturan yang diadakan oleh hukum pidana, menyebabkan hukum pidana dapat dipandang dari dua segi sebagai berikut :
a. Hukum pidana dalam arti obyektif (ius poenale).
b. Hukum pidana dalam arti subyektif (ius puniendi).18)
Ius poenale adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang disertai ancaman pidana terhadap orang yang melanggarnya. Ius poenale ini dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil berisikan peraturan tentang :
a. Perbuatan yang diancam pidana ;
b. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ;
c. Hukum penitensier, antara lain jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana.19)
Hukum pidana formil adalah sejumlah peraturan tentang tata cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Hukum pidana formil ini sering disebut hukum acara pidana.
Ius puniendi adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak negara atau alat perlengkapan negara untuk mengancam atau mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu. Mengancam pidana merupakan hak dari lembaga legislatif. Sedangkan mengenakan pidana dilaksanakan oleh lembaga peradilan.20)
Terkait dengan ius poenale yang dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, masing-masing hukum pidana tersebut mempunyai bentuk yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia ketentuan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan perundangan lainnya mengenai tindak pidana khusus, sedangkan hukum pidana formil dimana sebelumnya diatur dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1. Hukum Pidana Formil
Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana. Mengenai istilah hukum acara pidana, Andy Hamzah mengemukakan sebagai berikut :
“Istilah “hukum acara pidana“ sudah tepat dibanding dengan istilah “hukun proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering yang jika diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai..”21)
Menurut Simons, hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan Wirjono Projodikoro menyatakan sebagai berikut : “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”22)
Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana menetapkan aturan-aturan mengenai bagaimana alat-alat negara, yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, menegakkan dan menjalankan ketentuan hukum pidana materiil.
Mengenai fungsi hukum acara pidana, hal ini diantaranya dapat disimpulkan berdasarkan pendapat JM. Van Bemmelen yang mengemukakan sebagai berikut :
“Bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-hal :
a. diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan pidana oleh alat-alat negara,
b. diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan tersebut ;
c. diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan ;
d. dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke hadapan hakim ;
e. menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan terdakwa serta untuk menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib lainnya ;
f. menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil hakim ;
g. akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan tata tertib.23)
Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pengambilan putusan oleh hakim.
c. Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti, dari bahan bukti inilah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana dimana ditegaskan bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha menemukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua proses ini yaitu :
d. Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan pada sidang pengadilan.
e. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.24)
Pemeriksaan penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan adalah serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukannya tindak pidana yang mempunyai arti penting dan berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaskan yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurangtelitian dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi nama baiknya.
Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti suatu perkara pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas kebenaran materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara pidana tersebut.