Money Supply

Ketika money demand telah stabil dan dikaitkan dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat dan pembangunan, pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah bagaimana menggiring aggregate money supply bertemu dengan money demand sehingga terjadi ekuilibrium. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dua instrumen utama dalam manajemen moneter konvensional, yaitu discount rate dan operasi pasar terbuka yang mengandung suku bunga tidak dapat dipakai dalam ekonomi Islam. Selanjutnya, yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana mengalokasikan money supply sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan moneter.
Untuk menciptakan ekuilibrium antara money demand dan money supply, pendekatan praktis yang paling sering digunakan untuk mengestimasi money demand adalah dengan melihat konsistensi realisasi dari tujuan sosio-ekonomis yang diinginkan dalam kerangka kerja stabilitas harga, dan selanjutnya menentukan besarnya sasaran pertumbuhan money supply yang akan menyeimbangkan money demand.
Di dalam mencapai pertumbuhan money supply yang sesuai target, diperlukan instrumen-instrumen yang digunakan oleh bank sentral untuk menciptakan keselarasan antara pertumbuhan money supply yang ditargetkan dan yang aktual terjadi. Oleh karena dekatnya hubungan antara pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan M0 atau high-powered money, maka bank sentral berkewajiban untuk mengatur dengan ketat pertumbuhan M0.
Terdapat tiga sumber utama dari high-powered money, yaitu pinjaman pemerintah kepada bank sentral, kredit bank sentral kepada bank komersial dan surplus neraca pembayaran. Setelah perang dunia kedua, sumber pertama merupakan yang terbesar bagi high-powered money karena besarnya defisit anggaran pemerintah. Berlebihnya defisit pada anggaran pemerintah mengakibatkan yang sangat berat bagi sektor moneter untuk menjaga stabilitas serta kebijakan moneter yang sehat sangat sulit diciptakan. Ekspansi moneter hanya dapat dikontrol bila sumber utama dari high-powered money dapat diatur dengan baik.
Selanjutnnya, dimungkinkan bagi bank sentral untuk mengendalikan penyaluran kredit kepada bank-bank komersial. Penerapan profit-and-loss sharing yang menggantikan suku bunga akan lebih dapat meningkatkan kemampuan bank sentral untuk mengendalikan penyaluran pinjaman tersebut. Penyaluran pinjaman oleh bank sentral kepada bank komersial bisa dalam bentuk mudarabah (bagi hasil), yang berarti bank sentral harus lebih hati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada bank komersial. Dilain pihak, bank komersial juga harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit kepada debiturnya baik sektor pemerintah maupun swasta, guna menghindari pemanfaatan kredit pada kegiatan-kegiatan spekulasi dan non-produktif. Oleh karena itu, manajemen perbankan yang konservatif sangat diperlukan, namun tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Untuk pengendalian surplus neraca pembayaran, dapat dilakukan dengan melakukan sterilisasi. Sterilisasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan instrumen moneter yang tersedia pada suatu negara.

2.3.3 Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter
Instrumen moneter yang dikenal menurut ekonomi Islam adalah dalam bentuk kontrol kuantitatif pada penyaluran kredit dan instrumen yang dapat menjamin alokasi kredit dapat berlangsung dengan baik pada sektor-sektor yang bermanfaat dan produktif (Chapra, 1996). Menurut Chapra (1996), instrumen kontrol kuantitatif yang umum berlaku dapat berupa statutory reserve requirement, credit ceiling, government deposits, common pool, dan moral suasion. Sedangkan instrumen untuk alokasi kredit adalah men-treat uang sebagai fay (kekayaan yang diserahkan oleh musuh tanpa ada peperangan) dan menerapkan alokasi kredit yang berdasarkan tujuan pemanfaatannya.
Statutory reserve requirement pada sistem ekonomi Islam adalah instrumen yang sangat penting karena discount rate dan operasi pasar terbuka tidak dapat diterapkan pada sistem ini. Bank komersial diwajibkan menempatkan sebagian dananya yang berasal dari demand deposits pada bank sentral sebagai statutory reserve. Reserve requirement ini hanya berlaku pada demand deposits, sedangkan bagi mudarabah deposit tidak diperlukan reserve requirement karena mudarabah merupakan penyertaan (equity) dari penabung pada bank tersebut yang memiliki kemungkinan laba maupun risiko rugi. Dalam sistem ekonomi yang berlaku saat ini yang diterapkan adalah reserve requirement terhadap total deposits dikarenakan sulitnya membedakan antara demand dan saving deposits. Dalam perekonomian Islam akan lebih mudah membedakannya, karena mudarabah deposits merupakan penyertaan sedangkan demand deposits tidak termasuk dalam penyertaan. Selain itu, penerapan reserve requirement terhadap total deposits, tidak hanya untuk mengatur jumlah penyaluran kredit, tetapi juga untuk menjamin keutuhan deposit tersebut dan menjamin kecukupan likuiditas sistem perbankan. Padahal sebaiknya kedua hal tersebut diatur melalui lebih tingginya capital requirement dan penerapan ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti tingkat liquidity ratio sewajarnya. Hal ini akan berlangsung dengan baik bila ditunjang dengan sistem pengawasan bank yang baik. Oleh karena itu, berdasarkan ekonomi Islam lebih baik menerapkan hal-hal tersebut di atas daripada membatasi pemanfaatan mudarabah deposits melalui statutory reserve requirement.
Dengan hanya mengandalkan reserve requrement yang dapat memudahkan bank sentral melakukan penyesuaian pada high-powered money, belum menjamin keberhasilan manajemen moneter, karena dapat terjadi ekpansi kredit melampaui dari jumlah yang ditargetkan. Hal ini terjadi, karena aliran dana yang dapat diperkirakan dengan tepat masuk dalam sistem perbankan hanya yang berasal dari ber-mudharabahnya bank sentral dengan bank komersial, sedangkan aliran dana dari sumber lain yang masuk dalam sistem perbankan sangat sulit ditentukan secara akurat. Hal lain yang juga turut mempengaruhi adalah hubungan antara reserves yang ada pada bank komersial dengan ekspansi kredit belum memperlihatkan hubungan yang jelas. Oleh karena perilaku money supply mencerminkan interaksi berbagai faktor-faktor internal maupun eksternal yang kompleks, maka perlu juga dipertimbangkan ceilings atau pagu kredit untuk menjamin total kredit yang disalurkan konsisten dengan target moneter.
Instrumen yang juga cukup berarti dalam mempengaruhi reserves daripada bank komersial adalah kewenangan bank sentral untuk dapat memindahkan demand deposits pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank komersial. Instrumen ini telah terbukti sangat efektif sebagai instrumen moneter di Saudi Arabia dalam mempengaruhi reserves bank komersial secara langsung, yang fungsinya sama seperti operasi pasar terbuka yang mempengaruhi reserves bank komersial secara tidak langsung.
Common pool merupakan instrumen yang mensyaratkan bank-bank komersial untuk menyisihkan sebagian dari deposits yang dikuasainya dalam proporsi tertentu yang berdasarkan kesepakatan bersama guna menaggulangi masalah likuiditas. Instrumen ini sama efektifnya dengan fasilitas rediskonto yang biasa digunakan oleh bank sentral dalam membantu bank komersial mengatasi masalah likuiditas.
Moral suasion merupakan instrumen yang lebih penting pada bank sentral yang menerapkan prinsip-prinsip syariah. Melalui kontak-kontak personal, konsultasi dan pertemuan-pertemuan dengan bank komersial, bank sentral akan dapat lebih cepat dan mampu memonitor kekuatan dan masalah yang dihadapi bank-bank komersial. Dengan demikian bank sentral dapat dengan jelas dan tepat memberikan saran-saran guna mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perbankan dan hal ini akan memudahkan pencapaian tujuan perbankan.
Selanjutnya, uang yang diciptakan oleh bank sentral berasal dari pelaksanaan hak prerogatifnya dan hal ini membawa keuntungan bagi bank sentral karena biaya dikeluarkan untuk menciptakan uang lebih kecil dari nilai nominalnya atau dikenal dengan money seigniorage. Oleh karena adanya seigniorage tersebut, maka sewajarnya bank sentral menyisihkan sebagaian dananya sebagai fay atau pajak yang nantinya terutama digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang dapat memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin dan dapat mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dana ini tidak boleh digunakan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang hanya menguntungkan golongan kaya. Dengan instrumen ini, alokasi dana dapat dipertanggungjawabkan akan mengalir pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan produktif.
Alokasi pembiayaan perbankan yang berdasarkan tujuan pemanfaatannya akan memberikan manfaat yang optimum bagi semua pelaku bisnis dan akan menghasilkan barang dan jasa yang dapat terdistribusi ke semua lapisan masyarakat. Pada kenyataannya hal ini sulit terjadi, karena dana yang dapat dihimpun oleh perbankan umumnya sebagian besar dari para penabung kecil, namun pemanfaatannya dalam bentuk kredit lebih tertuju pada pengusaha-pengusaha besar. Kengganan perbankan menyalurkan kredit pada usaha kecil karena adanya risiko yang lebih tinggi dan pengeluaran yang lebih besar dalam pembiayaan usaha kecil. Konsekuensi dari hal ini maka usaha kecil sangat sulit memperoleh pembiayaan dari bank, kalau pun bank mau menyediakan dana untuk pembiayaan usaha kecil, namun disertai dengan berbagai persyaratan yang sulit dapat dipenuhi oleh mereka, khususnya jaminan. Dengan kondisi yang demikian, maka dapat diperkirakan pertumbuhan dan kelangsungan usaha kecil menjadi terancam walaupun sebenarnya usaha kecil berpotensi dapat memperluas kesempatan kerja, menghasilkan produksi dan dapat memperbaiki distribusi pendapatan.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya skim penjaminan bagi bank untuk berpartisipasi dalam pembiayaan usaha-usaha produktif yang tidak menyalahi nilai-nilai Islam. Dalam skim penjaminan, perusahaan diteliti kemampuan berusahanya dan manajemennya. Bila dirasakan kurang namun memiliki prospek yang baik, maka dibantu dengan program-program pelatihan sehingga perusahaan dapat memanfaatkan dan mengelola dananya dengan baik. Kemudian perusahaan ini didaftar oleh pengelola skim penjaminan. Melalui skim penjaminan ini, bank tidak diharuskan meminta jaminan kepada perusahaan yang mengajukan permohonan pembiayaan. Seandainya dalam pemanfaatan pinjaman tersebut perusahaan mengalami kegagalan, maka pengelola skim penjaminan harus meneliti sebab-sebab kegagalan. Bila kegagalan ini dikarenakan oleh penyimpangan moral dalam berbisnis atau moral hazard dari perusahaan, maka bank yang membiayai perusahaan itu akan memperoleh kembali dananya. Selanjutnya bila kegagalan tersebut karena keadaan ekonomi yang memburuk yang tidak diduga sebelumnya atau dikarenakan normal business loss, maka bank harus ikut menanggung risiko bisnis tersebut berdasarkan profit-and-loss sharing yang disepakati.

Related Posts: