Pesan Komunikasi

1. Pesan dalam Proses Komunikasi
Sastropoetro (1982:13) memberikan pengertian bahwa pesan (encoding) merupakan suatu kegiatan penting, sulit dan menentukan apakah gagasan yang ada dapat dituangkan secara pasti kedalam lembaga yang berarti dan telah disusun sedemikian rupa, sehingga menghindari timbulnya salah paham.
Pratikto (1987 : 42) mendefinisikan pesan dengan melihat dari bentuknya, yaitu :
“Pesan adalah semua bentuk komunikasi baik verbal maupun nonverbal. Yang dimaksud dengan komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan nonverbal adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pesan adalah suatu materi yang disampaikan kepada orang lain dalam bentuk gagasan baik verbal maupun nonverbal, untuk menyatakan maksud tertentu sesuai dengan kebutuhan orang lain berkenaan dengan manfaat dan kebutuhannya.
Membicarakan pesan (message) dalam proses komunikasi, kita tidak bisa lepas dari apa yang disebut simbol dan kode, karena pesan dikirim komunikator kepada penerima terdiri atas rangkai simbol dan kode. Sebagai makhluk sosial dan makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya diliputi oleh berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu maupun yang bersifat alami.
Manusia dalam keberadaannya memang memiliki keistimewaan dibading dengan makhluk yang lain. Selain kemampuan daya pikirnya , manusia juga memiliki keteramplian berkomunikasi yang lebih indah dan lebih canggih, sehingga dalam berkomunikasi mereka bisa mengatasi rintangan jarak dan waktu. Manusia menciptakan simbol-simbol dan memberi arti pada gejala-gejala alam yang ada disekittarnya, sementara hewan hanya dapat mengandalkan bunyi.
simbol-simbol yang digunakan selain sudah ada yang diterima menurut konvensi internasional, seperti simbol-simbol lalu lintas, alfabet latin, simbol matematika, juga terdpat simbol lokal yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Banyak kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi dalam masyarakat kerena tidak memahami simbol-simbol lokal.
Menurut Cangara (2004:95) bahwa simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang berkembang pada suatu masyarakat. Simbol tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. semua kode memiliki unsur nyata
b. semua kode memiliki arti
c. semua kode tergantung pada persetujuan para pemakainya
d. semua kode memiliki fungsi
e. semua kode dapat dipindahkan, apakah melalui media atau saluran-saluran komunikasi lainnya.
Simbol atau kode pada dasarnya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
a. Kode Verbal
Kode verbal dalam pemakainnya, menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur
sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti.
Bahasa mempunyai banyak fungsi, menurut Cangara (2004:95) bahwa bahasa mempunyai tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif, yaitu :
1) Untuk mempelajari tentang dunia sekeliling
2) untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia.
Untuk mempelajari dunia sekeliling kita, bahasa menjadi peralatan yang sangat penting untuk memahami lingkungan. Melalui bahasa, kita dapat mengetahui sikap, perilaku dan pandangan suatu bangsa, meski kita belum pernah berkunjung ke negaranya.
Bahasa mengembangkan pengetahuan kita, agar kita dapat menerima sesuatu dari luar dan juga berusaha untuk menggambarkan ide-ide kita kepada orang lain. sebagai alat pengikat dan perekat dalam hidup bermasyarakat, bahasa dapat membantu kita menyusun struktur pengetahuan menjadi logis dan mudah diterima oleh orang lain. Sebab bagaimanapun bagusnya sebuah ide, kalau tidak disusun dengan bahasa yang sistematis sesuai dengan aturan yang telah diterima, maka ide yang baik itu akan menjadi kacau. menurut Benyamin Lee Whorf (dalam Cangara, 2004:97) bahwa bahasa bukan hanya membagi pengalaman, tetapi juga mebentuk pengalaman itu sendiri.
b. Kode Non-Verbal
Manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa) juga memakai kode non-verbal. Kode nonverbal menurut Cangara (2004:99) bahwa kode nonverbal bisa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent languange).
Kode nonverbal yang digunakan dalam berkomunikasi, sudah lama menarik perhatian di kalangan antropologi, bahasa, bahkan dari bidang kedokteran. Menurut Mark Knapp (1978) dalam Cangara (2004:100) menyebut bahwa penggunaan kode nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi :
1) meyakinkan apa yang telah diucapkan (repetition)
2) menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
3) menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya (identity)
4) menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna.
Pemberian arti terhadap kode nonverbal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya masyarakat yang menggunakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada hal-hal yang unik, seperti makin langkanya orang yang bisa menganut prinsip satu kata dan perbuatan, makin banyak orang yang pintar bicara tetapi tidak disertai perbuatan yang sesuai dengan ucapannya. Ataukah kita sering dihadapkan pada sesuatu yang justru kontradiksi dengan persepsi kita. misalnya orang cenderung menggunakan atribut tertentu justru untuk menipu orang lain.
2. Teknik Pengelolaan Pesan
Menurut Cassandra dalam Cangara (2004:111) bahwa terdapat dua model penyusunan pesan, yakni penyusunan pesan yang besifat informatif dan penyusunan pesan yang bersifat persuasif.
a. Penyusunan Pesan yang Bersifat Informatif
Model penyusunan pesan yang bersifat informatif lebih banyak ditujukan pada perluasan wawasan dan kesadaran khlayak. Prosesnya lebih banyak bersifat difusi atau penyebaran, sederhana, jelas, dan tidak banyak menggunalan jargon atau istilah-istilah yang kurang populer di kalangan khalayak.
Ada empat macam penyusunan pesan yang bersifat informatif, yakni:
1) Space Order, penyusunan pesan yang melihat kondisi tempat atau ruang, seperti international, nasional, dan daerah.
2) Time Order, penyusunan pesan berasarkan waktu atau periode yang disusun secara kronologis
3) Deductive Order, penyusunan pesan mulai dari hal-hal yang bersifat umum kepada khusus. Misalnya penyusunan GBHN
4) Inductive Order, penyusunan pesan yang dimulai dari hal-hal khusus ke hal-hal yangb bersifat umum.
Model penyusunan pesan informatif banyak dilakukan dalam penulisan berita dan artikel oleh para wartawan dengan memakai model piramid.
b. Penyusunan Pesan yang Bersifat Persuasif
Model penyusunan pesan yang bersifat persuasif memiliki tujuan untuk mengubah persepsi, sikap dan pendapat khalayak. Sebab itu, penyusunan pesan persuasif memiliki sebuah proposisi. Proposisi disini ialah apa yang dikehendaki sumber terhadap penerima sebagai hasil pesan yang disampaikannya, artinya setiap pesan yang dibuat diinginkan adanya perubahan.
Menurut Cangara (2004:113) bahwa terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam penyusunan pesan yang memakai teknik persuasi, antara lain :
1) Fear Appeal, motode penyusunan pesandengan menimbulkan rasa ketakutan kepada khalayak. Sebenarnya khalayak kurang senang menerima pesan yang disertai ancaman yang menakutkan, sebab meraka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan mengemukakan pendapatnya. tetapi dalam hal tertentu, khalayak harus menerima karena bisa mengancam dirinya.
2) Emotional Appeal, cara penyusunan atau penyampaian pesan dengan berusaha menggugah emosional khalayak. misalnya dengan mengungkapkan masalah suku, agama, kesenjangan ekonomi, diskriminasi, dan sebagainya. Bentuk lain dari emotional appeal adalah propaganda. dalam komunikasi bisnis, propaganda banyak sekali digunakan dalam bentuk iklan, agar konsumen bisa membeli barang.
3) Reward Appeal, cara penyusunan atau penyampaian pesan menawarkan janji-janji kepada khalayak. dalam berbagai studi yang dilakukan dalam hubungannya dengan reward appel, ditemukan bahwa dengan menjanjikan uang Rp. 1 juta, seorang cenderung mengubah sikap daripada menerima janji uang Rp. 50 ribu.
4) Motivational Appeal, teknik penyusunan pesan yang dilakukan bukan karena janji-janji, tetapi disusun untuk menumbuhkan internal psikologis khalayak sehingga mereka dapat mengikuti pesan-pesan itu, misalnya menumbuhkan rasa nasionalisme atau gerakan memakai produksi dalam negeri.
5) Humoris Appeal, teknik penyusunan pesan yang dilakukan dengan humor, sehingga penerimaan pesan khalayak tidak merasa jenuh. Pesan yang disertai humor mudah diterima, enak dan menyegarkan. hanya saja dalam penyampaian pesan yang disertai humor diusahakan jangan sampai terjadi humor yang lebih dominan daripada materi yang ingin disampaikan.
Keberhasilan dalam mengelolah dan menyusun pesan-pesan secara efektif perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1) pesan yang disampaikan harus dikuasai lebih dahulu, termasuk struktur penyusunannya yang sistematis
2) mampu mengemukakan argumentasi secara logis. Untuk itu harus mempunyai alasan-alasan berupa fakta dan pendapat yang bisa mendukung materi yang disajikan.
3) memiliki kemampuan untuk membuat intonasi bahasa, serta gerakan-gerakan nonverbal yang dapat menarik perhatian khlayak.
3. Media
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologis memandang bahwa dalam komunikasi antar manusia, maka media yang paling dominan adalah pancaindera selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan.
Menurut Cangara (2004:119) bahwa media komunikasi dapat dibedakan atas empat macam, yaitu media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan media massa.
a. Media antarpribadi
Untuk hubungan perorangan (antarpribadi), maka media yang tepat digunakan ialah kurir (utusan), surat dan telepon. Kurir banyak digunakan oleh orang-orang dahulu kala untuk menyampaikan pesan. Di daerah-daerah pedalaman pemakaian kurir sebagai saluran komunikasi masih bisa ditemukan, misalnya melalui orang yangn berkunjung ke pasar pada hari-hari tertentu.
Surat adalah media komunikasi antarpribadi yang makin banyak digunakan, terutama dengan makin meningkatnya sarana pos serta makin banyaknya penduduk yang dapat menulis dan membaca.
Media komunikasi antarpribadi lainnya ialah telepon. Telepon makin banyak digunakan di Indonesia, bukan saja untuk kepentingan komunikasi yang bersifat pribadi, tetapi juga untuk kepentingan bisnis dan pemerintahan.
b. Media Kelompok
Dalam aktivitas komunikasi yang melibatkan khalayak lebih dari 15 orang, maka media komunikasi yang banyak digunakan adalah media kelompok, misalnya, rapat, seminar dan komperensi. Rapat biasanya digunakan untuk membicarakan hal-hal penting yang dihadapi oleh suatu organisasi.
Seminar adalah media komunikasi kelompok yang biasa dihadiri oleh khalayak tidak lebih dari 150 orang. Tujuannya adalah membicarakan suatu masalah dengan menampilkan pembicara, kemudian meminta pendapat atau tanggapan dari peserta seminar yang biasanya dari kalangan pakar sebagai nara sumber dan pemerhati dalam bidang itu. Seminar biasanya membicarakan topik-topik tertentu yang hangat dipermasalahkan oleh masyarakat.
Media kelompok masih banyak ditemukan dalam masyarakat pedesaan dengan memakai banyak nama, antara lain tudang sipulung di Sulawesi Selatan, banjar di Bali, rebuk dea di Jawa dan sebagainya. Sementara bagi masyarakat kota, media kelompok banyak digunakan dalam bentuk organisasi profesi, organisasi olahraga, pengajian, dan organiasi lainnya.
c. Media Publik
Media publik digunakan jika khalayak lebih dari 200-an, misalnya rapat akbar, rapat raksasa dan semacamnya. Dalam rapat akbar, khalayak berasal dari berbagai macam bentuk, tetapi masih mempunyai homogenitas, misalnya kesamaan partai, kesamaan agama, kesamaan daerah dan lain-lain. Dalam rapat akbar (Public Media) khalayak melihat langsung pembicara yang tampil di atas podium, bahkan biasanya sesudah mereka berbicara, mereka turun berjabat tangan dengan para pendengar sehingga terjalin keakraban di antara mereka meskipun pembicara tidak dapat mengidentifikasikan satu persatu pendengarnya.
d. Media Massa
Jika khalayak tersebar diketahui di mana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi.
Menurut Cangara (2004:122) bahwa media massa mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada
penyajian informasi.
2. Besifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, di mana informasi yang diampaikan ditrima oleh banyak orang pada aat yang sama
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa menenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Media massa memiliki kekuatan untuk membentuk opini dan perilaku politik, baik yang bersifat tradisional, maupun perilaku kritis yang dinamis dalam sistem demokrasi. Pembentukan perilaku politik tersebut sebagai bagian dari ciri masyarakat modern yang sangat membutuhkan informasi dalam berinteraksi, sebagai bagian dari perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perilaku kehidupan masyarakat seperti di atas, dapat diketahui melalui pembahasan mengenai realitas media massa, baik media cetak mapun media elektronik. Kehidupan tersebut, termasuk berhubungan dengan masalah politik. Media massa merupakan media yang sangat efektif untuk melakukan komunikasi politik dalam suatu sistem demokrasi.
Media massa itu sendiri ada 2 (dua), yaitu media massa dan media nirmassa. Media artinya alat komunikasi, sedangkan massa kependekan dari kata masyarakat (orang banyak). Media massa berarti alat komunikasi yang boleh dimanfaatkan untuk semua orang. Sedangkan media nirmassa adalah alat komunikasi yang tidak boleh digunakan untuk semua orang. Jelasnya, alat komunikasi tersebut bersifat individu.
Media massa (mass media) adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti kata khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara bersama-sama pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut; misalnya surat kabar, radio siaran, televisi siaran, dan film teatrikal yang ditayangkan di gedung bioskop.
Disamping sebagai pengantar informasi secara serempak, media massa juga merupakan kontrol sosial, menurut Rivers (2003:38), kontrol sosial oleh media massa begitu ekstensif dan efektif, sehingga sebagian pengamat menganggap kekuatan utama media memang di situ. Sebagai contoh, Joseph Klapper (dalam Rivers: 2003) melihat adanya kemampuan “rekayasa kesadaran” oleh media, dan ini dinyatakannya sebagai kekuatan terpenting media, yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan apa pun. Rekayasa kesadaran sudah ada sejak lama, namun media-lah yang memungkinkan hal itu dilaksanakan secara cepat dan besar-besaran.
Ada hubungan yang sangat erat antara media massa dengan kehidupan sosial (McQuail, 1989:51), dengan asumsi, pertama institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu, serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan kita.
Manusia adalah makhluk yang tahu bagaimana harus bereaksi tidak hanya terhadap lingkungan fisiknya, namun juga pada simbol-simbol yang dibuatnya sendiri (Rivers, 2003: 28) Menurut asumsi dasar di atas, lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan, kepercayaan, dan lain-lain) sering kita ketahui melalui media massa, dan media pulalah yang dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda.
Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi (penengah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Peran mediasi ini ada hubungannya dengan salah satu arti konotatif kata “media massa” itu sendiri. Media massa berperan sebagai penengah dan penghubung dalam pengertian bahwa: media massa seringkali berada di antara kita (sebagai penerima) dengan bagian pengalaman lain yang berada di luar persepsi dan kontak langsung kita; media massa dapat saja berada di antara kita dengan institusi lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita.
Mediasi yang dimaksud di atas, dapat berlangsung dalam berbagai bentuk tergantung pada tingkat dan bentuk kegiatan, tujuan, interaktivitas, dan efektivitas. Mediasi mengandung banyak manifestasi kegiatan mulai dari hubungan langsung antara satu dengan lainnya melalui negoisasi, sampai dengan pengendalian oleh seseorang terhadap yang lainnya.
Menurut McQuail (1987: 52), Variasi manifestasi kegiatan di atas dapat dipahami dengan memperhatikan citra komunikasi berikut ini yang menunjukkan pelbagai aspek cara media menghubungkan kita dengan realitas. Media berperan sebagai :
1. jendela pengalaman yang meluaskan pandangan kita dan memungkinkan kita mampu memahami apa yang terjadi disekitar kita, tanpa campur tangan pihak lain atau sikap memihak.
2. Juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa atau hal yang terpisah dan kurang jelas.
3. Pembawa atau pengantar informasi dan pendapat.
4. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima melalui pelbagai macam umpan balik.
5. Papan penunjuk jalan yang secara aktif menunjukkan arah, memberikan bimbingan atau instruksi.
6. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi perhatian khusus dan menyisihkan aspek pengalaman lainnya, baik secara sadar dan sistimatis maupun tidak.
7. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri; biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan (distorsi) karena adanya penonjolan terhadap segi yang ingin dilihat oleh para anggota masyarakat, atau sering kali pula segi yang ingin mereka hakimi atau cela.
8. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi pencapai tujuan propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan (escapism).
Meskipun beberapa citra di atas lahir dari analisis eksternal terhadap kegiatan media, namun kebanyakan citra itu juga berasal dari definisi dari pihak media itu sendiri.