2.8
Sejumlah jamur telah dilaporkan mampu mendegradasi kayu. Jenis jamur yang
tergolong kedalam jamur pelapuk putih selama ini telah lama dikenal sebagai organisme
yang dapat mendegradasi komponen kimia kayu terutama lignin. Jenis jamur pelapuk
putih memiliki hifa yang berperan dalam mengeluarkan enzim-enzim yang berguna
untuk membusukkan komponen-komponen dinding sel kayu. Hifa jamur dalam sampel
kayu dapat tumbuh dengan cepat pada kondisi yang menguntungkan. Hifa dapat tumbuh
di dalam lamela tengah majemuk atau di dalam dinding sekunder dan juga pada lamina
parenkim serta sel-sel pembuluh yang merupakan jalur yang paling mudah untuk
pengembangan hifa (Radtke et all., 1981 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Reaksi kayu terhadap jamur dipengaruhi oleh banyak hal dan tergantung pada
sifat kayu seperti struktur, ultrastruktur, berat jenis, tipe dan jumlah kandungan lignin
serta tipe dan jumlah ekstraktif dalam kayu. Kecepatan degradasi juga dipengaruhi oleh
kondisi sebaran substrat dalam kayu dan kemampuan enzim mencapai komponen
tersebut. Selain ukuran lubang-lubang pada kayu, ukuran dan bentuk enzim, letak air
dalam kayu juga akan mempengaruhi pola dan kecepatan pelapukan kayu (Setliff et all.,
1990 dalam Pujirahayu dan Marsoem, 2006).
Enzim memiliki peranan penting dalam degradasi alami kayu oleh organisme
perusak kayu. Enzim mendegradasi komponen-komponen kayu yang tidak larut menjadi
produk-produk yang larut dan akhirnya menjadi senyawa-senyawa kimia sederhana yang
dapat dimetabolisme.
25
Jamur pembusuk putih termasuk ke dalam subdivisi Basidiomycota. Pada
umumnya jamur pembusuk putih menyerang kayu keras dan berperan penting dalam
mendegradasi lignin maupun polisakarida pada kayu. Kayu yang dirusak oleh parusak
kayu ini mengalami perubahan, seperti warna kayu manjadi putih dan lunak. Selain itu,
degradasi dinding sel disertai dengan penurunan sifat-sifat kekuatan dan meningkatnya
pembengkakan dinding sel (Fengel dan Wegener, 1995).
Hifa menembus permukaan kayu melalui selaput noktah dan melalui dinding-
dinding sel dengan membentuk lubang-lubang pengeboran (Schmid, Liese, 1964 dalam
Fengel, 1995). Hifa tumbuh terutama pada permukaan dinding sel sebelah dalam dan
mendegradasi dinding dengan kekuatan eksoenzim yang menghasilkan zona lisis di
sekitar hifa yang menyebabkan dinding-dinding sel semakin keropos dan menghasilkan
struktur sarang lebah. Menurut Ruel et all., (1981) dalam Fengel (1995), penyerangan
dimulai dengan gangguan pada lamela lignin pararel dengan cara pembengkakan ruang
antar lamela. Kemudian lamela makin lama makin dirusak dan diubah menjadi rantai-
rantai granula gelap yang menggumpal membentuk kelompok-kelompok besar.
Pada kayu teras degradasi lignin oleh jamur pembusuk putih berbeda dengan
kayu gubal. Degradasi lebih lambat pada sel-sel kayu teras dibanding dengan sel-sel
kayu gubal. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan kandungan ligninnya lebih tinggi
pada kayu teras (Liese, 1970 dalam Fengel dan Wegener, 1995). Menurut Kirk (1975)
dalam Fengel dan Wegener (1995), enzim-enzim pelapuk lignin harus bertindak secara
ekstraseluler karena jenis jamur ini harus mendegradasi zat-zat makromolekul.
26
Jenis-jenis jamur yang tergolong kedalam jamur pembusuk putih berbeda dalam
memproduksi enzim-enzim dan aktivitas dari enzim-enzim sehingga peruraian
polisakarida dan lignin berbeda juga. Phanerochaeta chrysosporium adalah salah satu
jenis jamur pembusuk putih yang berperan dalam penghilangan lignin. Percobaaan pada
termomekanik pulp red alder (Alnus rubra) menunjukkan laju maksimum degradasi
lignin oleh Phanerochaeta chrysosporium setiap hari setelah dua minggu inkubasi
adalah 3%. Untuk mendapatkan laju degradasi yang cukup, perlu penambahan bahan
gizi nitrogen dan molekul oksigen (Kirk et all., 1979 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Jamur Phanerochaeta chrysosporium termasuk kedalam kingdom Fungi, Filum
Basidiomycota, Ordo Polyporales, Family Phanerochaetaceae dan Genus Phanerochaeta.
Jamur Phanerochaeta chrysosporium memiliki dinding hifa yang tipis dengan sekat
yang bersilangan, tubuh buah berbentuk seperti payung (basidium), spora tidak
berwarna, bentuk kulit luar menyebar dan permukaan rata yang tertutupi oleh bintik-
bintik yang sangat kecil (Hood, 2003).
P. chrysosporium termasuk kedalam jamur pembusuk putih. Mereka dinamai
jamur busuk putih karena mampu mendegradasi substrat kayu yang berwarna kecoklatan
(lignin) menjadi materi selulosa yang pada umumnya berwarna putih. Selain itu, kayu
yang dibusukkan oleh jamur busuk putih, sebagian besar terpisah-pisah menjadi serat-
serat selulosa yang sangat mirip dengan pulp. Jamur P. chrysosporium secara
eksperimental diketahui memiliki kemampuan mendegradasi senyawa aromatik tersebut
melalui aktivitas enzim ekstraseluIer. Jamur sangat tergantung pada keberadaan glukosa
sebagai kosubstrat utama untuk pertumbuhan. Dengan penambahan bahan gizi nitrogen
27
dan molekul oksigen diharapkan konsentrasi glukosa dapat dikurangi karena keberadaan
senyawa selulosa yang dapat di jadikan sumber karbon bagi jamur dapat mendukung
laju degradasi yang cukup (Young et all., 1980 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan lignin pada kayu berkurang.
Jamur pelapuk lignin adalah jamur yang mampu merombak selulosa dan lignin yang
dikenal sebagai jamur pelapuk putih. Percobaan Siagian dkk., (2003) pada serbuk kayu
sengon yang diinokulasi dengan jamur P. chrysosporium menunjukkan turunnya kadar
lignin 1,07%. Jamur yang tumbuh sebanding dengan enzim yang dihasilkan seperti
enzim peroksidase, fenol-oksidase dan laccase. Adanya enzim ini akan mendegradasi
lignin menjadi senyawa yang lebih sederhana (Kirk et all., 1990 dalam Fengel dan
Wegener, 1995). Eriksson dan Hamp (1978) dalam Fengel dan Wegener (1995), berhasil
menjelaskan sistem enzimatik yang bertanggung jawab terhadap degradasi hidrolitik
selulosa oleh P. chrysosporium.
Bruce and Palfreyman mendefinisikan biopulping sebagai perlakuan awal pada
chip dengan jamur pelapuk putih (white-rot fungi) sebelum mekanika atau kimia
pulping. Pengolahan pulp secara biologi adalah suatu proses yang memanfaatkan
mikroba untuk melemahkan struktur kayu melalui cara degradasi lignin. Pengurangan
lignin dalam serpih akan mengurangi pemakaian bahan kimia dan energi dalam
pemisahan serat (Siagian dkk., 2003). Tidak ada catatan tentang penggunaan kayu yang
mengalami delignifikasi secara alami untuk memproduksi kertas. Syafii (2000)
menjelaskan bahwa pulping adalah proses pemisahan serat atau degradasi lignin.
Pemisahan ini memerlukan energi yang sangat tinggi, baik energi mekanis dalam proses
28
mekanis maupun energi kimia dalam proses kimia. Jamur P. chrysosporium digunakan
untuk membantu penguraian lignin, sebagai perlakuan awal sebelum pemasakan (Bajpai,
2001). Pujirahayu dan Marsoem (2006) menunjukkan perlakuan jamur P. chrysosporium
terhadap chip sebelum pemasakan dapat meningkatkan rendemen, menurunkan bilangan
kappa, mengurangi kadar lignin dan penggunaan alkali aktif dan juga lama pemasakan.
Akhtar et all., (1992) dan Blanchette et all., (1992) dalam Fengel dan Wegener, (1995)
menambahkan dari sekitar 200 strain jamur yang diuji, P. chrysosporium ditemukan
sebagai jamur biopulping terbaik untuk kayu keras dan Ceriporiopsis subvermispora
untuk kayu keras dan lunak pada saat pulp mekanik dihasilkan.
Konsentrasi dan lama inkubasi jamur akan mempengaruhi persentase degradasi
komponen kimia kayu. Berdasarkan hasil penelitian Adnoza (2008) menyatakan bahwa
pemberian jamur P. chrysosporium tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kadar-selulosa campuran batang dan cabang mangium tetapi berpengaruh nyata
terhadap kadar holoselulosanya. Serpih campuran batang dan cabang mangium yang
diberi jamur P. chrysosporium pada kombinasi konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45
hari memiliki kadar holoselulosa sebesar 71.68% dan kadar-selulosa sebesar 48.15%
(Adnoza, 2008). Ayu (2008) juga melaporkan bahwa penurunan kadar lignin tertinggi
terjadi pada serpih campuran batang dan cabang A. mangium ditemukan pada kombinasi
konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45 hari yaitu sebesar 22,02 %. Dilain pihak, Sirait
(2008) menyatakan bahwa perlakuan kombinasi konsentrasi dan lama inkubasi jamur P.
chrysosporium pada serpihan kayu batang A. mangium tidak menunjukkan pengaruh
29
yang nyata terhadap kadar ekstraktif tetapi berpengaruh yang nyata terhadap kadar
lignin. Serpih batang A. mangium yang diberi jamur P. chrysosporium dengan
konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45 hari memiliki kadar ekstraktif sebesar 5,03 %
dan kadar lignin 23,43% (Sirait, 2008).
Sejumlah jamur telah dilaporkan mampu mendegradasi kayu. Jenis jamur yang
tergolong kedalam jamur pelapuk putih selama ini telah lama dikenal sebagai organisme
yang dapat mendegradasi komponen kimia kayu terutama lignin. Jenis jamur pelapuk
putih memiliki hifa yang berperan dalam mengeluarkan enzim-enzim yang berguna
untuk membusukkan komponen-komponen dinding sel kayu. Hifa jamur dalam sampel
kayu dapat tumbuh dengan cepat pada kondisi yang menguntungkan. Hifa dapat tumbuh
di dalam lamela tengah majemuk atau di dalam dinding sekunder dan juga pada lamina
parenkim serta sel-sel pembuluh yang merupakan jalur yang paling mudah untuk
pengembangan hifa (Radtke et all., 1981 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Reaksi kayu terhadap jamur dipengaruhi oleh banyak hal dan tergantung pada
sifat kayu seperti struktur, ultrastruktur, berat jenis, tipe dan jumlah kandungan lignin
serta tipe dan jumlah ekstraktif dalam kayu. Kecepatan degradasi juga dipengaruhi oleh
kondisi sebaran substrat dalam kayu dan kemampuan enzim mencapai komponen
tersebut. Selain ukuran lubang-lubang pada kayu, ukuran dan bentuk enzim, letak air
dalam kayu juga akan mempengaruhi pola dan kecepatan pelapukan kayu (Setliff et all.,
1990 dalam Pujirahayu dan Marsoem, 2006).
Enzim memiliki peranan penting dalam degradasi alami kayu oleh organisme
perusak kayu. Enzim mendegradasi komponen-komponen kayu yang tidak larut menjadi
produk-produk yang larut dan akhirnya menjadi senyawa-senyawa kimia sederhana yang
dapat dimetabolisme.
25
Jamur pembusuk putih termasuk ke dalam subdivisi Basidiomycota. Pada
umumnya jamur pembusuk putih menyerang kayu keras dan berperan penting dalam
mendegradasi lignin maupun polisakarida pada kayu. Kayu yang dirusak oleh parusak
kayu ini mengalami perubahan, seperti warna kayu manjadi putih dan lunak. Selain itu,
degradasi dinding sel disertai dengan penurunan sifat-sifat kekuatan dan meningkatnya
pembengkakan dinding sel (Fengel dan Wegener, 1995).
Hifa menembus permukaan kayu melalui selaput noktah dan melalui dinding-
dinding sel dengan membentuk lubang-lubang pengeboran (Schmid, Liese, 1964 dalam
Fengel, 1995). Hifa tumbuh terutama pada permukaan dinding sel sebelah dalam dan
mendegradasi dinding dengan kekuatan eksoenzim yang menghasilkan zona lisis di
sekitar hifa yang menyebabkan dinding-dinding sel semakin keropos dan menghasilkan
struktur sarang lebah. Menurut Ruel et all., (1981) dalam Fengel (1995), penyerangan
dimulai dengan gangguan pada lamela lignin pararel dengan cara pembengkakan ruang
antar lamela. Kemudian lamela makin lama makin dirusak dan diubah menjadi rantai-
rantai granula gelap yang menggumpal membentuk kelompok-kelompok besar.
Pada kayu teras degradasi lignin oleh jamur pembusuk putih berbeda dengan
kayu gubal. Degradasi lebih lambat pada sel-sel kayu teras dibanding dengan sel-sel
kayu gubal. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan kandungan ligninnya lebih tinggi
pada kayu teras (Liese, 1970 dalam Fengel dan Wegener, 1995). Menurut Kirk (1975)
dalam Fengel dan Wegener (1995), enzim-enzim pelapuk lignin harus bertindak secara
ekstraseluler karena jenis jamur ini harus mendegradasi zat-zat makromolekul.
26
Jenis-jenis jamur yang tergolong kedalam jamur pembusuk putih berbeda dalam
memproduksi enzim-enzim dan aktivitas dari enzim-enzim sehingga peruraian
polisakarida dan lignin berbeda juga. Phanerochaeta chrysosporium adalah salah satu
jenis jamur pembusuk putih yang berperan dalam penghilangan lignin. Percobaaan pada
termomekanik pulp red alder (Alnus rubra) menunjukkan laju maksimum degradasi
lignin oleh Phanerochaeta chrysosporium setiap hari setelah dua minggu inkubasi
adalah 3%. Untuk mendapatkan laju degradasi yang cukup, perlu penambahan bahan
gizi nitrogen dan molekul oksigen (Kirk et all., 1979 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Jamur Phanerochaeta chrysosporium termasuk kedalam kingdom Fungi, Filum
Basidiomycota, Ordo Polyporales, Family Phanerochaetaceae dan Genus Phanerochaeta.
Jamur Phanerochaeta chrysosporium memiliki dinding hifa yang tipis dengan sekat
yang bersilangan, tubuh buah berbentuk seperti payung (basidium), spora tidak
berwarna, bentuk kulit luar menyebar dan permukaan rata yang tertutupi oleh bintik-
bintik yang sangat kecil (Hood, 2003).
P. chrysosporium termasuk kedalam jamur pembusuk putih. Mereka dinamai
jamur busuk putih karena mampu mendegradasi substrat kayu yang berwarna kecoklatan
(lignin) menjadi materi selulosa yang pada umumnya berwarna putih. Selain itu, kayu
yang dibusukkan oleh jamur busuk putih, sebagian besar terpisah-pisah menjadi serat-
serat selulosa yang sangat mirip dengan pulp. Jamur P. chrysosporium secara
eksperimental diketahui memiliki kemampuan mendegradasi senyawa aromatik tersebut
melalui aktivitas enzim ekstraseluIer. Jamur sangat tergantung pada keberadaan glukosa
sebagai kosubstrat utama untuk pertumbuhan. Dengan penambahan bahan gizi nitrogen
27
dan molekul oksigen diharapkan konsentrasi glukosa dapat dikurangi karena keberadaan
senyawa selulosa yang dapat di jadikan sumber karbon bagi jamur dapat mendukung
laju degradasi yang cukup (Young et all., 1980 dalam Fengel dan Wegener, 1995).
Degradasi lignin akan mengakibatkan kandungan lignin pada kayu berkurang.
Jamur pelapuk lignin adalah jamur yang mampu merombak selulosa dan lignin yang
dikenal sebagai jamur pelapuk putih. Percobaan Siagian dkk., (2003) pada serbuk kayu
sengon yang diinokulasi dengan jamur P. chrysosporium menunjukkan turunnya kadar
lignin 1,07%. Jamur yang tumbuh sebanding dengan enzim yang dihasilkan seperti
enzim peroksidase, fenol-oksidase dan laccase. Adanya enzim ini akan mendegradasi
lignin menjadi senyawa yang lebih sederhana (Kirk et all., 1990 dalam Fengel dan
Wegener, 1995). Eriksson dan Hamp (1978) dalam Fengel dan Wegener (1995), berhasil
menjelaskan sistem enzimatik yang bertanggung jawab terhadap degradasi hidrolitik
selulosa oleh P. chrysosporium.
Bruce and Palfreyman mendefinisikan biopulping sebagai perlakuan awal pada
chip dengan jamur pelapuk putih (white-rot fungi) sebelum mekanika atau kimia
pulping. Pengolahan pulp secara biologi adalah suatu proses yang memanfaatkan
mikroba untuk melemahkan struktur kayu melalui cara degradasi lignin. Pengurangan
lignin dalam serpih akan mengurangi pemakaian bahan kimia dan energi dalam
pemisahan serat (Siagian dkk., 2003). Tidak ada catatan tentang penggunaan kayu yang
mengalami delignifikasi secara alami untuk memproduksi kertas. Syafii (2000)
menjelaskan bahwa pulping adalah proses pemisahan serat atau degradasi lignin.
Pemisahan ini memerlukan energi yang sangat tinggi, baik energi mekanis dalam proses
28
mekanis maupun energi kimia dalam proses kimia. Jamur P. chrysosporium digunakan
untuk membantu penguraian lignin, sebagai perlakuan awal sebelum pemasakan (Bajpai,
2001). Pujirahayu dan Marsoem (2006) menunjukkan perlakuan jamur P. chrysosporium
terhadap chip sebelum pemasakan dapat meningkatkan rendemen, menurunkan bilangan
kappa, mengurangi kadar lignin dan penggunaan alkali aktif dan juga lama pemasakan.
Akhtar et all., (1992) dan Blanchette et all., (1992) dalam Fengel dan Wegener, (1995)
menambahkan dari sekitar 200 strain jamur yang diuji, P. chrysosporium ditemukan
sebagai jamur biopulping terbaik untuk kayu keras dan Ceriporiopsis subvermispora
untuk kayu keras dan lunak pada saat pulp mekanik dihasilkan.
Konsentrasi dan lama inkubasi jamur akan mempengaruhi persentase degradasi
komponen kimia kayu. Berdasarkan hasil penelitian Adnoza (2008) menyatakan bahwa
pemberian jamur P. chrysosporium tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kadar-selulosa campuran batang dan cabang mangium tetapi berpengaruh nyata
terhadap kadar holoselulosanya. Serpih campuran batang dan cabang mangium yang
diberi jamur P. chrysosporium pada kombinasi konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45
hari memiliki kadar holoselulosa sebesar 71.68% dan kadar-selulosa sebesar 48.15%
(Adnoza, 2008). Ayu (2008) juga melaporkan bahwa penurunan kadar lignin tertinggi
terjadi pada serpih campuran batang dan cabang A. mangium ditemukan pada kombinasi
konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45 hari yaitu sebesar 22,02 %. Dilain pihak, Sirait
(2008) menyatakan bahwa perlakuan kombinasi konsentrasi dan lama inkubasi jamur P.
chrysosporium pada serpihan kayu batang A. mangium tidak menunjukkan pengaruh
29
yang nyata terhadap kadar ekstraktif tetapi berpengaruh yang nyata terhadap kadar
lignin. Serpih batang A. mangium yang diberi jamur P. chrysosporium dengan
konsentrasi 10% dan lama inkubasi 45 hari memiliki kadar ekstraktif sebesar 5,03 %
dan kadar lignin 23,43% (Sirait, 2008).