Lahan Kering

Menurut Biro Pusat Statistik (2000), sekitar 58,5% dari luas daratan Indonesia (111,4 juta hektar) merupakan lahan kering. Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dan membutuhkan air dalam jumlah yang terbatas. Sebagian besar lahan kering bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.
Sifat fisik tanah pada lahan kering kurang baik, yaitu berstruktur padat, kelembapan lapisan tanah atas (top soil) maupun lapisan tanah bawah (sub soil) rendah, sirkulasi udara agak terhambat, dan kemampuan tanah untuk menyimpan air relatif rendah (Mahadelswara, 2004).
Menurut Semaoen et al. (1991) dalam Guritno et al. (1997), ciri utama yang menonjol di lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktifitas lahan, tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang ditanam serta aspek sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan Dudung (1991) dalam Guritno et al. (1997) berpendapat bahwa keadaan lahan kering umumnya adalah lahan tadah hujan yang lebih peka terhadap erosi, terutama jika keadaan tanah miring dan tidak tertutup vegetasi.(www.google.com).
Lahan kering sebagian besar terdiri dari tanah-tanah ultisol, inceptisol/aluvial, alfisol, dan oksisol, namun tetap berpotensi untuk dikembangakan sebagai lahan yang produktif dengan pemilihan teknologi dan jenis komoditi yang sesuai (Mahadelswara, 2004).
Alluvial merupakan tanah yang berkembang dari bahan alluvium muda (recen), mempunyai susunan berlapis atau kadar C-organik tidak teratur dengan kadar fraksi pasir kurang dari 60% pada kedalaman antara 25 – 100cm dari permukaan tanah mineral (Pusat Penelitian Tanah, 1993). Tanah aluvial hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir, atau merupakan hasil endapan bahan-bahan koluvial akibat angkutan dari daerah di atasnya. (www.google.com)
Tanah Aluvial dengan warna kelabu kekuningan (disebut Aluvial Kelabu Kekuningan) berkembang di daerah dengan tingkat drainasi yang baik. Tanah Aluvial Kelabu Kekuningan pada umumnya mempunyai masalah dengan kekurangan air. (www.google.com).
B. Survei dan Evaluasi Lahan
Survai adalah uraian keseluruhan dari aktifitas dan proses, termasuk didalamnya adalah perumusan tujuan prosedur perencanaan, komplikasi data dan ekstraksi informasi dalam bentuk peta, laporan dan sebagainya (Abdullah, 1993).
Menurut Siswomartono (1989), survai tanah merupakan istilah umum untuk penyelidikan tanah sistematik dilapangan, di laboratorium, deskripsi klasifikasi, pemetaan jenis tanah, penafsiran (interpretasi) tanah menurut kesesuaian tanah bagi tanaman rumput, pohon serta perilaku tanah dibawah pemakaian atau perlakuan untuk produktivitasnya dalam pengelolaan yang berbeda-beda.
Survai tanah dilakukan untuk menentukan tingkat kemampuan lahan secara keseluruhan, sebagai bahan pemetaan tanah dalam hubungan dengan penentuan klasifikasi tanah. Lahan-lahan yang telah disurvai digolongkan dala kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuannya, berdasarkan dengan faktor-faktor yang bersifat menghambat dalam pemanfaatannya lahan tersebut terutama untuk bidang pertanian.
Faktor-faktor yang menunjang adalah data-data mengenai sifat fisik, kimia dan biologi tanah termasuk bentuk wilayah, iklim dan lain-lain secara keseluruhan baik sampai sangat baik. Faktor-faktor penghambat seperti sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang jelek, keadaan iklim yang tidak sesuai, bentuk wilayah berlereng, dan berbukit-bukit, sering terjadi genangan air serta salinitas yang tinggi.
Setelah melakukan kegiatan survai dan pemetaan sumber daya lahan di lapangan, kegiatan selanjutnya adalah mengevaluiasi lahan. Evaluasi lahan pada dasarnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk berbagai penggunaan. Adapun kerangka yang mendasar dari evaluasi sumber daya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumber daya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus, 1983).
Menurut CSR/FAO (1983), bahwa dalam evaluasi lahan sifat-sifat lingkungan fisik dan kimia suatu wilayah dirincikan dalam kualitas lahan dan setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu karakteristik lahan, yang umumnya memiliki hubungan satu sama lainnya. Karakteristik lahan adalah sifat-sifat tanah yang dapat diukur atau diduga. Kualitas lahan adalah sifat tanah yang kompleks dan berperan pada penggunaan lahan yang spesifik.

C. Klasifikasi dan Penilaian Kesesuaian Lahan
Menurut Seta (1991), klasifikasi kesesuaian lahan merupakan kegiatan pengelompokan lahan kedalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk digunakan sebagai penunjang produksi pertanian secara lestari. Menurut Sitorus (1985), klasifikasi lahan adalah sebagai pengaturan satuan-satuan kedalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau keadaannya dalam berbagai penggunaan.
Klasifikasi lahan yang bersifat kualitatif umumnya didasarkan atas sifat fisik lahan yang hanya didukung oleh keterangan tentang ekonomi. Klasifikasi lahan yang bersifat kualitatif mencakup masukan yang banyak tentang informasi-informasi sosial, ekonomi dan lingkungan (FAO, 1976).
Menurut Rahim (1991), untuk memperoleh informasi apakah lahan yang akan atau sedang dimanfaatkan mempunyai kemampuan tertentu, yang berarti bahwa lahan tersebut memiliki potensi dan kendala tertentu sehingga diperlukan evaluasi kemampuan lahan (land capability classification) atau evaluasi kesesuaian lahan.
Sistem klasifikasi kesesuaian lahan menurut CSR/FAO (1983), terdiri dari empat kategori yang merupakan tingkat generalisasi yang bersifat menurun yaitu :
1. Ordo kesesuaian lahan (order) : Menunjukkan jenis atau macam kesesuaian lahan secara umum.
2. Kelas kesesuaian lahan (kelas) : Menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo.
3. Sub-Kelas kesesuaian lahan : Menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.
4. Satuan kesesuaian lahan : Menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan untuk pengelolaan dalam sub-kelas.
Kesesuaian lahan dalam tingkat ordo menunjukkan apakan lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Ordo kesesuaian lahan dibagi dua :
1. Ordo S : Sesuai (Suitable), yakni lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya alam.
2. Ordo N : Tidak sesuai (Not Suitable), yakni lahan yang mempunyai pembatas sehingga mencagah suatu penggunaan secara lestari.

Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukkan bagian lebih lanjut dari ordo dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari ordo. Kelas kesesuaian lahan dibagi lima :
1. Kelas S1 : Sangat sesuai (Highly Suitable), yaitu lahan tanpa atau mempunyai faktor pembatas, tetapi tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman.
2. Kelas S2 : Cukup sesuai (Moderatly Suitable), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk suatu penggunaan lestari. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi produksi tanaman.
3. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari.
4. Kelas N1 : Tidak sesuai sekarang (Currently Not Suitable), yaitu lahan mempunyai faktor pembatas sangat berat, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang.
5. Kelas N2 : Tidak sesuai permanen (Permanetly Not Suitabel), yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan lestari.
Menurut Sitorus (1985), pengelompokkan kedalam sub kelas kesesuaian lahan untuk tanaman pangan pada tanah mineral ada 13 faktor, sedangkan untuk tanah bergambut dan gambut ada 15 faktor, yaitu : 1) kedalaman efektif, 2) kelas butir tanah pada daerah perakaran, 3) air yang tersedia, 4) singkapan batuan permukaan, 5) kesuburan tanah, 6) reaksi tanah (pH), 7) toksisitas, 8) topografi, 9) erodibilitas, 10) iklim, 11) kelas drainase, 12) banjir dan genangan, 13) salinitas, 14) tingkat dekomposisi bahan organik, 15) kedalaman gambut.
Menurut Rahman (1995), sifat lahan ditentukan dengan memetakan satuan-satuan lahan dengan kesamaan sifat fisik. Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu pendekatan yang penting dalam mengarahkan penelitian atau evaluasi lebih lanjut bagi usaha-usaha pengembangan selanjutnya.

D. Faktor Pembatas Kesesuaian Lahan
Menurut CSR/FAO (1983) dan Pusat Pnelitian Tanah dan Agroklimat (2000), ada beberapa faktor yang menjadi pembatas dengan simbolnya dalam menentukan kelas kesesuaian lahan, antara lain : rezim temperatur (t), ketersediaan air (w), kondisi perakaran (r), faktor unsur hara (f), ketersediaan unsur hara (n), topografi (s), salinitas (x) dan bahaya banjir (F).

1. Rezim Temperatur (t)
Faktor iklim terutama suhu adalah faktor alam yang tidak dapat diubah dan juga diperbaiki dalam peningkatan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian disuatu daerah (Rahman, 1995)
Menurut Bunting (1981), temperatur adalah faktor utama yang mempengaruhi tahap perkembangan tanaman dan panjang periode tanaman mulai dari penanaman sampai dengan panen. Untuk daratan rendah di Indonesia rata-rata temperatur harian dari 20oC dan bukan merupakan faktor yang nyata dalam batas pertumbuhan yang tersedia.

2. Ketersediaan Air (w)
Ketersediaan air tanah bagi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor iklim (khususnya curah hujan), tanaman dan tanah. Air diperlukan oleh tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan proses metabolisme (Hakim et al., 1986).
Curah hujan merupakan unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan air dalam tanah. Unsur-unsur ini sangat berpengaruh pula terhadap pola tanam bila tidak ada sumber air yang tersedia. Tetapi tidak semua hujan yang jatuh pada permukaan tanah adalah efektif. Hal ini ditentukan oleh intensitas curah hujan, sifat tanah, jenis tanaman yang ditanam dan topografi.

3. Kondisi Perakaran (r)

a. Drainase
Menurut CSR/FAO (1983), drainase tanah merupakan kecepatan perpindahan air tanah baik berupa aliran permjukaan maupun perembesan air kedalam tanah. Keadaan drainase adalah tanda dari kondisi basah dan kering tanah tersebut, drainase tanah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu topografi, tekstur, permeabilitas dan ketersediaan air yang berasal dari curah hujan.
Tingkat drainase tanah alami dipengaruhi oleh kecepatan perkolasi air melalui tanah, aerasi dan bagian tanaman-tanaman yang khusus. Komposisi udara dalam tanah tergantung pada aerasi. Pada drainase tanah yang baik, tanah memiliki kelembaban dan kandungan karbon dioksida lebih tinggi dari atmosfir.
Kondisi drainase yang terbatas didalam tanah dan drainase yang sangat jelek atau pada kondisi yang tergenang maka kandungan oksigen akan menurun dan kecepatan difusi ke akar tanaman terbatas. Pada tanah yang drainasenya sangat tinggi maka kehilangan unsur hara melalui pencucian juga akan meningkat (Bunting, 1981), sedangkan menurut Hakim at al (1986), tujuan drainase tanah adalah untuk menurunkan muka air tanah sehingga dapat meningkatkan kedalaman ekfetif perakaran.

b. Tekstur Tanah
Menurut Hakim et al (1986), tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara fraksi debu, liat, dan pasir yang dinyatakan dalam persen. Tekstur tanah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, laju infiltrasi, perkolasi, dan peredaran udara didalam tanah. Dengan demikian maka secara tidak langsung tekstur tanah juga dapat mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisien dalam pemupukan.
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, maka dari itu berdasarkan atas perbandingan banyaknya butir-butir, debu dan liat, maka tanah dikelompokkan kedalam beberapa macam kelas tekstur (Hardjowigeno, 1995).

c. Kedalaman Efektif
Kedalaman efektif adalah dalamnya akar tanaman yang dapat menembus lapisan tanah dimana perakaran dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa adanya hambatan atau pembatas. Kedalaman efektif merupakan kedalaman sampai kerikil, padas dan kropos (Hardjowigeno, 1993).
Kedalaman efektif merupakan faktor pembatas yang tidak dapat diberikan input. Dan kedalaman efektif suatu tanah tidak sesuai dengan tanaman yang akan dibudidayakan, maka lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk tanaman yang dibudidayakan.

d. Ketebalan Gambut
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan tanah organik dengan ketebalan minimal 40 cm atau 60 cm, tergantung bobot jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Soil Survey Staff, 1994).
Tanah-tanah gambut terbentuk dari endapan bahan organik yang terutama berasal dari sisa jaringan tumbuhan pada masa lampau. Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1994) tingkat dekomposisi bahan organik dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik.
- Fibrik : merupakan gambut yang mempunyai tingkat dekomposisi awal, dengan lebih dari tiga perempat bagian volumenya (75%) masih berupa serat.
- Hemik : merupakan gambut yang mempunyai tingkat dekomposisi tengahan, sebagian bahan organiknya sudah benar-benar lapuk, dan sebagian lagi masih berupa serat. Kandungan serat pada tingkat dekomposisi hemik adalah antara 17-75% volumenya.
- Saprik : merupakan gambut tingkat dekomposisinya sudah lanjut dan bahan- bahan kasar/seratnya tinggal sedikit yaitu kurang dari 17% volumenya.

Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut. Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibagi menjadi 4 kelas yaitu : 1) gambut dangkal (50 - < 100 cm), 2) gambut sedang (100 - < 200 cm), 3) gambut dalam (200 - < 300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Tanah dengan ketebalan lapisan gambut 0 – 50 cm dikelompokkan sebagai tanah mineral bergambut (Soil Survey Staff, 1994).


4. Daya Menahan Unsur Hara (f)
a. Reaksi Tanah (pH)
Reaksi tanah (pH) adalah gambaran diagnostik dari nilai yang khusus atau konsentrasi ion H. Tanah dikatakan masam, jika pH nya kecil dari 7, netral jika sama dengan 7 dan basa jika pHnya diatas 7. Jika konsentrasi ion H dalam tanah naik maka pH tanah turun dan jika ion H dalam tanah turun maka pH tanah akan naik (Soegiman, 1982).
Faktor kemasaman tanah digunakan sebagai salah satu faktor pembatas kesesuaian lahan, karena kemasaman tanah merupakan satu faktor yang berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Kemasaan tanah merupakan perwujudan dari proses hancuran iklim dan faktor kimiawi yang berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah (Hakim at al., 1986).
Menurut Hardjowigeno (1985), pH tanah penting untuk menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap tanaman, menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun dan dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH netral.


b. Kapasitas Tukar Kation (KTK).
Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan koloid tanah untuk menyerap dan mempertukarkan kation. Kapasitas tukar kation dari berbagai tanah sangat beragam, bahkan tanah yang sejenis dapat berada dalam kapasitas tukar kation (Hakim at al., 1986).
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada tanah dengan KTK rendah. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur hara yang terdapat dalam kompleks jerapan koloid tersebut tidak hilang tercuci oleh air (Hardjowigeno, 1987).

5. Ketersediaan Unsur Hara (n)
Menurut CRS/FAO (1983), ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman, yaitu 1) jumlah hara yang terdapat di dalam tanah, 2) bentuk hara tersedia, dan ukuran kemampuan tanah menyediakan hara bagi tanaman 3) kemampuan sistem vegetasi tanah untuk mensuplai hara selama periode akhir dari tanaman penutup.
Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara didalam tanah. Unsur hara makro dan mikro harus berada dalam keadaan seimbang. Sisa tanaman juga akan menambah ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Keberadaan bahan organik di dalam tanah akan menunjang aktivitas mikroorganisme tanah, sehingga tanah akan menjadi subur dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman akan menjadi tersedia. Dengan demikian, maka tanaman akan dapat tumbuh dengan baik (Hardjowigeno, 1987).



6. Salinitas (x)

Salinitas adalah tingkat keracunan tanah yang disebabkan karena tingginya kadar garam terlarut dalam tanah yang dipengaruhi oleh pasang surut dan intrusi air laut. Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman dapat berpengaruh secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh langsung terhadap petumbuhan tanaman diakibatkan oleh tingginya konsentrasi garam yang terdapat pada tanah terutama garam NaCl dan karena tingginya potensial osmotik larut tanah. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah karena pengaruh buruknya terhadap sifat fisika dan kimia tanah (Departemen Pertanian, 1997).
Menurut Sitorus (1985), salinitas ditunjukkan oleh daya hantar listrik (DHL) ekstrak tanah dalam mili-mhos/cm pada 25 oC. Salinitas diukur pada lapisan tanah 30 cm teratas, atau air tanah yang ada pada kedalaman 30 cm. Pengaruh salinitas terhadap tanaman dapat diabaikan jika DHL kurang dari 4 mmhos/cm, sedangkan DHL 16 mmhos/cm adalah bersifat merusak.

7. Topografi (s)
Menurut Hakim at al., (1986), bahwa topografi sangat mempengaruhi kondisi drainase dan permukaan air. Akumulasi bahan organik biasanya terjadi jika keadaan drainase tanah jelek, sehingga tanah yang kekurangan oksigen pada kondisi ini akan mengawetkan bahan organik, terutama jika air tergenang. Pada daerah yang kemiringannya besar sering terjadi erosi tanah secara terus menerus sehingga subsoil akan muncul kepermukaan tanah. Akibatnya tanah-tanah pada kemiringan yang besar akan memiliki solum yang tipis, kandungan bahan organik yang rendah bila dibandingkan dengan tanah-tanah bergelombang dan datar.
Topografi mempengaruhi perkembangan pembentukan propil tanah yaitu jumlah curah hujan terabsorpsi dan penyimpanan dalam tanah, tingkat perpindahan tanah bagian atas oleh erosi dan juga gerakan bahan-bahan dalam suspensi atau larutan dari suatu tempat ketempat lain. Faktor topografi yang di nilai adalah tingkat kecuraman lereng, karena terdapatnya perbedaan penting dalam syarat-syarat pengelolaan tanah untuk tanaman tertentu pada tingkat kecuraman yang berbeda (Darmawijaya, 1990).