Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al-Jailani Qadasallahu Sirrahu, semoga Allah merahmatinya, adalah al-ghawts al-a’zham – manifestasi sifat Allah Yang Mahaagung, yang mendengar permohonan dan memberikan pertolongan, dan al-quthb al-a’zham – pusat dan ujung kembara ruhani, pemimpin ruhani dunia, sumber hikmah, perbendaharaan ilmu, teladan iman dan Islam, pewaris hakiki kesempurnaan Nabi Muhammad SAW. Ia termasuk insan kamil, pendiri Tarekat Qodiriyah, yang tersebar luas di dunia Islam dan telah menjaga makna tasawuf selama berabad-abad hingga kini.
Syekh lahir di al-Jil, termasuk dalam wilayah Iran, pada 470 Hijriah (1077-1078). Ibunya Ummul Khayr Fatimah binti Al-Syekh Abdullah Sumi – keturunan Rasulallah SAW melalui cucu terkasihnya, Sayyidina Husein RA – mengatakan, “Anakku, Abdul Qadir lahir di bulan Ramadhan. Di siang hari bulan Ramadhan. Bayiku tak pernah mau diberi makan.”
Berikut penuturan Syekh, seperti ditulis Syekh Tosun Bayrak dalam “Secret of The Secrets”.
Masa Kecil Syekh
Di waktu kecil, ada malaikat yang selalu datang kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan. Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju madrasah dan membuat teman-temanku selalu mengutamakan diriku. Ia menemaniku seharian hingga aku pulang. Dalam sehari, aku peroleh ilmu lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman sebayaku selama satu minggu. Aku tak pernah mengenali pemuda itu.
Suatu hari, ketika aku bertanya kepadanya, ia menjawab, “Aku adalah malaikat yang diutus Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama kau belajar.”
Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan, “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati.”
Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meski pun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.
Masa Remaja Syekh
Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh dan memandangku, laluberkata, “Kau tercipta bukan untuk hal semacam ini.”
Mendengar hewan itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika memandang ke depan, kulihat dengan jelas para jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, “Izinkan aku menempuh jalan kebenaran. Biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para orang-orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah.”
Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang tiba-tiba, ia menangis sedih. Namun, ia keluarkan 80 keping emas – harta satu-satunya warisan ayahku. Ia sisihkan 40 keping untuk saudaraku. Sedangkan 40 keping emas lainnya dijahitkan di bagian lengan mantelku. Ia memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat, agar aku selalu bersikap jujur. Apa pun yang terjadi.
Sebelum berpisah, ibuku berkata, “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar, aku takkan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat.”
Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja meninggalkan kota Hamadan, sekelompok perampok, yang terdiri dari 60 orang berkuda, menghadang kami. Mereka merampas semua harta milik anggta kafilah. Salah seorang perampok mendekatiku dan bertanya, “Anak muda, apa yang kau miliki?”
Kukatakan bahwa aku punya 40 keping emas.
Ia bertanya lagi, “Di mana?”
Kukatakan, “Di bawah ketiakku.”
Ia tetawa-tawa dan pergi meninggalkanku. Perampok lainnya menghampiriku dan menanyakan hal yang sama. Aku menjawab sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi sambil tertawa mengejek. Kedua perampok itu mungkin melaporkanku kepada pemimpinnya. Karena tak lama kemudian, pimpinan gerombolan itu memanggilku, agar mendekati mereka yang sedang membagi-bagikan hasil rampokan. Si pemimpin bertanya, “Apakah aku memiliki harta?”
Kujawab bahwa aku punya 40 keping emas yang dijahitkan di bagian lengan mantelku.
Ia ambil mantelku. Ia sobek. Dan ia temukan keeping-keping emas itu. Keheranan, ia bertanya, “Mengapa kau memberitahu kami, padahal hartamu itu aman tersembunyi?”
“Aku harus berkata jujur, karena telah berjanji kepafa ibuku untuk selalu bersikap jujur.”
Mendengar jawabanku, pemimpin perampok itu tersungkur menangis. Ia berkata, “Aku ingat janji kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang akan menimpaku!”
Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu berkata, “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam tobat!”
Ke-60 orang itu memegang tanganku dan bertobat. Mereka adalah kelompok pertama yang memegang tanganku dan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka.