Farmakologi dan Terapi Obat Anti Hipertensi

2.1 Hipertensi
2.1.1 Pengertian hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri sistemik yang terjadi secara terus-menerus. Meskipun konsep ini jelas, tekanan darah tepat yang menyebabkan hipertensi ditentukan secara acak berdasarkan tekanan yang berkaitan dengan risiko statistik berkembangnya penyakit yang terkait hipertensi. Pada orang dewasa, derajat hipertensi dibagi menjadi 4 oleh WHO, yaitu:
v  Mild HT          : 140-159/90-104
v  Moderate HT  : 160-179/105-119
v  Severe HT       : >180/120
v  Malignan HT   : >180/120 + retinopati, haemorrhage, dan pepil edema

2.2 Klasifikasi hipertensi
2.2.1 Hipertensi essensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Patogenesis hipertensi esensial tidak pasti. Tidak ada perubahan konstan kadar renin, aldosteron, atau katekolamin plasma atau pada aktivitas sistem saraf simpatik atau baroreseptor yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain.
Teori yang saat ini lebih disukai adalah bahwa hipertensi esensial disebabkan oleh tingginya asupan natrium diet pada individu yang memiliki predisposisi genetik. Mungkin terdapat kegagalan ekskresi oleh ginjal akibat beban natrium yang tinggi dalam jangka lama. Retensi natrium mengakibatkan peningkatan faktor natriuretik di dalam sirkulasi. Salah satu faktor natriuretik ini menghambat Na+_K+ ATPase pada membran, dengan demikian menyebabkan akumulasi Ca2+ intraseluler. Ca2+ sitosol meningkat pada hipertensi esensial; pada otot polos vaskular, peningkatan Ca2+ sitosol mendorong reaktivitas dan cenderung menyebabkan vasokonstriksi. Efek Ca2+ ini dihambat oleh obat-obatan penghambat saluran kalsium, yang merupakan obat antihipertensi yang efektif.

2.2.2 Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi. Hipertensi sekunder disebabkan oleh proses penyakit sebelumnya. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akbat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain.
Hipertensi renal dapat berupa hipertensi renovaskuler, misalnya pada stenosis arteri renalis, vaskulitis intrarenal; dan hipertensi akibat lesi parenkim ginjal seperti pada glomerulonefritis, pielonefritis, penyakit ginjal polikistik, nefropati diabetik dan lain-lain.
Hipertensi endokrin antara lain akibat kelainan korteks adrenal (hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing), tumor medulla adrenal (pheokromositoma), hipertiroidisme, dan lain-lain. Beberapa obat seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, simpatomimetik amin (efridin, fenilpropanolamin, fenilefrin, amfetamin), kokain, siklosporin dan eripoetin, juga dapat menyebabkan hipertensi.

2.3 Patofisiologi hipertensi
Perjalan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan yang bermakna. Bila terdapat gejala maka biasanya bersifat non-spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat, mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke, atau gagal ginjal. Namun, deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan tekanan darah secara teratur mempunyai arti penting dalam perawatan hipertensi.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, Bare, 2002).

2.4 Komplikasi hipertensi dan faktor risiko kardiovaskular
Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ (target organ damage) pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer.
Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, pada otak dapat terjadi strok karena pecahnya pembuluh darah serebral dan pada ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal. Pada mata dapat terjadi retinopati hipertensif berupa bercak-bercak perdarahan pada retina dan edema papil nervus optikus. Selain itu hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya ateroslerosis dengan akibat penyakit jantung koroner (angina pektoris sampai infark miokard) dan strok iskemik. Hipertensi yang sangat berat juga dapat menimbulkan aneurisma aorta dan robeknya lapisan intima aorta (dissecting aneurisma).
Pengendalian berbagai faktor risiko pada hipertensi sangat penting untuk mencegah komplikasi kardiovaskular. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain tekanan darah, kelainan metabolik (diabetes mellitus, lipid darah, asam urat, dan obesitas), merokok, alkohol dan inaktivitas, sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin dan faktor genetik.   

2.5 Obat anti hipertensi
2.5.1 Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan CO (cardiac output) dan tekanan darah. Beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.

2.5.1.1 Golongan thiazide
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama Na/ Cl di tubulus ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. Umumnya kurang efektif pada gangguan ginjal, dapat memperburuk fungsi ginjal, dan pemakaian lama menyebabkan hiperlipidemia (peningkatan kolesterol, LDL, dan trigliserida). Efek hipotensif baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4 minggu.
Efek samping
Dalam dosis tinggi thiazide dapat menyebabkan hipokalemia yang berbahaya bagi pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila thiazide diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti diuretik hemat kalium, atau penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme). Sedangkan suplemen kalium tidak lebih efektif. Thiazide juga dapat menyebabkan hiponatremia, hipomagnesia, dan hipokalsemia. Selain itu thiazide dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut. Thiazide dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida. Pada penderita DM (diabetes mellitus), thiazide dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi insulin. Pada pasien pria, kadang-kadang dapat timbul gangguan fungsi seksual.

2.5.1.2 Hydrochlorothiazide
Dalam dosis ekuipoten berbagai golongan thiazide memiliki efek dan efek samping yang kurang lebih sama. Perbedaan utama terletak pada masa kerjanya. Hydrochlorothiazide memiliki waktu paruh 10-12 jam.

2.5.1.3 Indapamid
Kelebihannya adalah masih efektif pada pasien gangguan fungsi ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemak dan efektif meregresi hipertrofi ventrikel.

2.5.2 Diuretik kuat
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle ascendens bagian epitel tebal dengan cara menghambat ko-transpor Na, K, Cl dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Onsetnya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan thiazide. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari.
Efek samping hampir sama dengan thiazide, kecuali bahwa diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan thiazide menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah. Contoh obatnya adalah asam etakrinat, furosemid,  dan bumetanid.

2.5.3 Diuretik hemat kalium
2.5.3.1 Amilorid
Amilorid bekerja pada ujung tubuli distal dengan menghambat penukaran ion-ion N dengan ion K dan H. Ekskresi Na (juga Cl dan HCO3-), sedangkan pengeluaran kalium berkurang. Efek maksimalnya tercapai setelah 6 jam dan bertahan 24 jam. Resorpsinya dari usus 50%, yang dikurangi makanan, PPnya 40%, plasma T½nya 6-9 jam, mungkin juga lebih lama. Ekskresinya lewat kemih terutama secara utuh.
Efek sampingnya umum, fotosensibilisasi sering dilaporkan (di Australia), ada kalanya juga impotensi. Berlainan dengan diuretika lain, obat ini tidak menekan sekresi urat, melainkan menstimulasinya. Semua penghemat kalium tidak dapat saling dikombinasikan atau diberikan bersama suplemen kalium berhubung bahaya hiperkalemia.

2.5.3.2 Triamteren
Derivat pteridin ini (1962) berkhasiat diuretik lemah, mulai kerjanya lebih cepat, setelah 2-4 jam, tetapi hanya bertahan ca 8 jam. Mekanisme kerjanya mirip amilorida.
Resorpsinya dari usus antara 30% dan 70%, PPnya lebih kurang 60%, dan T½nya ca 2jam. Ekskresinya berlangsung lewat kemih, sebagian besar metabolit aktif. Kemih dapat berwarna biru dan pembentukan batu ginjal (calculi) dilaporkan pada 1:1500 pasien.

2.5.3.3 Spironolakton
Penghambat aldosteron ini memiliki rumus steroida, mirip struktur hormon alamiah. Mulai kerjanya setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari pula setelah pengobatan dihentikan. Daya diuretisnya agak lemah, maka khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika umum lainnya. Efek kombinasi demikian adalah adisi disamping mencegah kehilangan kalium. Akhir- akhir ini ditemukan bahwa spironolakton pada gagal jantung berat berdaya mengurangi risiko kematian sampai 30%.
Resorpsinya dari usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan. PPnya 98%. Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit aktif, antara lain kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja. Plasma T½nya sampai 2 jam, kanrenon 20 jam.
Efek sampingnya berupa umum; pada penggunaan lama dan dosis tinggi efeknya antiandrogen dengan ginekomasti, gangguan potensi, dan libido pada pria, sedangkan pada wanita nyeri buah dada dan gangguan haid. Pada tikus ternyata berefek karsinogenik, maka hendaknya digunakan dalam waktu singkat.

2.5.4 Penghambat adrenergik
2.5.4.1 β-blocker
Mekanisme antihipertensi
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiostenin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer, dan peningkatan biosintatis prostasiklin.
Penurunan TD (tekanan darah) oleh β-blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat, efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai satu minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu lebih cepat. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam.
β-blocker merupakan merupakan obat yang baik.

2.5.4.2 α-bloker
Hanya α-bloker yang selektif menghambat reseptor α1 yang digunakan sebagai antihipertensi. α-bloker non selektif kurang efektif sebagai anti hipertensi karena hambatan reseptor α2 di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan pelepasan norepinefrin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
Mekanisme antihipertensi. Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hpotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama), menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka panjang reflleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensi tetap bertahan.
α-bloker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida, dan meningkatkan HDL) dan mengurangi resistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia dan/atau DM. α-bloker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat, karena hambatan reseptor α1 akan merelaksasi otot polos prostat dan sfingter uretra sehingga mengurangi resistensi urin. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak diekskresi melalumengganggu fungsi jantung, tidak menganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan AINS.

2.5.4.3 Adrenolitik Sentral
2.5.4.3.1 Metildopa
Mekanisme kerja
Merupakan pro-drug yang dalam SSP (sistem saraf pusat) menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir alphamethylnorepinephrine. Diduga lebih disebabkan oleh stimulus reseptor alpha 2 sentral sehingga mengruangi sinyal simpatis ke perifer. Methyldopa menurunkan resistensi vaskuler tanpa banyak mengruangi CO. Tetapi pada usia lanjut dilatasi vena, penurunan beban hulu dan penurunan frekuensi jantung dapat menyebabkan curah jantung menurun.tidak mempengaruhi alrina darah ginjal dan fungsi ginjal. Pada jangka panjang, sering terjadi retensi air sehingga efek anti hipertensinya makin berkurang yang dapat diatasi dengan pemberian diuretik.
Kinetik
Absorpsi melalui saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap. Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50%. Sekitar 50-70% diekskresi melalui urin dalam bentuk konjugasi dengan sulfat dan 25% dalam bentuk utuh. Waktu paruh obat sekitar 2 jam tapi efek puncak tercapai setelah 6-8 jam p.o. atau i.v. Efektifitas berlangsung sampai 24 jam. Kelambatan efek dikarenakan proses transpor ke SSP, konversinya menjadi metabolit aktif dan eliminasi yang lambat dari jaringan otak.
Efek samping
Sedasi, hipotensi postural, mulut kering, sakit kepala, depresi, gangguan tidur, impotensi kecemasan, penglihatan kabur, hidung tersumbat, kadang anemia hemolitik autoimun, trombositopenia, leukopenia, demam obat, dan sindrom seperti lupus dengan pembentukan antibodi antinukleus.

2.5.4.3.2 Klonidin
Terutama bekerja pada reseptor alpha 2, di susunan saraf pusat dengan efek penurunan sympathetic outflow. Efek hipotensi terjadi karena penurunan resistensi perifer, pnurunan tonus simpatis menyebabkan penurunan kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung. Pada pengobatan jangka panjang CO kembali normal. Ada tendensi terjadinya hipotensi ortostatik. Secara klinis umumnya bersifat asimtomatik. Berkurangnya reflek simpatis juga mempermudah terjadinya hipotensi ortostatik.
Kinetik
Absorpsi oral langsung dan lengkap dengan bioavailabilitas mencapai 95%. Dapat diberikan secara transdermal dengan kadar plasma setara dengan pemberian p.o.. Waktu paruh 6-13 jam. Kira-kira 50% dieliminasi dalam bentuk utuh melalui urin. Kadar plasma meningkat pada usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping
Mulut kering, sedasi, pusing, mual, impotensi. Gejala ortostatik terjadi terutama karena depresi bila ada deplesi cairan. Efek sentral berupa mimpi buruk, cemas, dan depresi. Retensi cairan dan toleransi semu terjadi bila klonidin dipakai sebagai obat tunggal.

2.5.5 Penghambat saraf adrenergik
2.5.5.1 Reserpin
Terikat kuat pada vesikel di ujung saraf sentral dan perifer dan menghambat proses penyimpanan katekolamin ke dalam vesika. Selanjutnya MAO memecah katekolamin. Pemberian ini menurunkan CO dan resistensi perifer. Frekuensi denyut jantung dan sekresi renin menurun. Pemakaian jangka panjang sering terjadi retensi air dan menyebabkan pseudotoleransi, terutama bila tidak disertai pemberian diuretik.
Efek samping
Pada dosis yang dianjurkan (sampai 0,25 mg/hari) tidak banyak menimbulkan efek samping.
SSP: bersifat sentral seperti letargi, mimpi buruk, depresi mental di mana depresi mental dapat terjadi sewaktu-waktu. Tapi dapat juga terjadi pada dosis yang lebih rendah. Gejala depresi dapat bertahan lama setelah penghentian obat.
Reserpin menurunkan ambang kejang sehingga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien epilepsi.

2.5.5.2 Guanetidin dan Guanadrel
2.5.5.2.1 Guanetidin
Bekerja pada neuron adrenergik perifer dan ditranspor aktif ke dalam vesikel saraf dan menggeser norepinefrin ke luar vesikel. Dalam dosis besar i.v. guanetidin menggeser NE ke dalam vesikel dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Pemberian p.o. menggeser NE perlahan-lahan dan terjadi degradasi oleh MAO sebelum mencapai sel-sel saraf sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah. Menurunkan tekanan darah dengan menurnkan CO dan resistensi perifer. Retensi cairan terjadi sehingga efek antihipertensinya berkurang pada pemakaian jangka panjang. Untuk mengatasi, perlu dikombinasi dengan diuretik. Guanetidin digunakan pada hipertensi berat yang tidak responsif degnan obat lain.

2.5.5.2.2 Guanadrel
Mekanisme kerja, farmakodinamik, dan efek samping mirip guanitidin tetapi jarang menimbulkan diare.

2.5.6 Penghambat ganglion
2.5.6.1 Trimetafan
Kerjanya cepat dan singkat. Dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah dengan segera seperti pada: (1) hipertensi darurat terutama aneurisme aorta disekan akut; (2) menghasilkan hipotensi yang terkendali seperti operasi besar.

2.5.7 Vasodilator
2.5.7.1 Hidralazin
Merelaksasi otot polos arteriol. Sedangkan otot polos vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin, dan NE plasma. Hidralazin menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri karena lebih selektif bekerja pada arteriol maka hidralazin sangat jarang menimbulkan hipotensi ortostatik.
Kinetik
Diabsorpsi denngan baik pada saluran cerna, tapi biovailabilitasnya relatif rendah (16% pada asetilator cepat dan 32% pada asetilator lambat) karena adanya metabolisme lintas pertama yang besar. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma yang tinggi, dengan efek samping yang lebih sering.
Efek samping
Sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardia, palpitasi, angina pektoris. Retensi air dan natrium disertai edema dapat dicegah dengan pemberian bersama diuretik. Efek samping lain adalah neuritis perifer, diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut. Neuropati perifer dapat dikoreksi dengan pemberian piridoksin. Obat ini dikontraindikasikan pada hipertensi dengan PJK dan tidak dianjurkan pada pasien usia di atas 40 tahun.

2.5.7.2 Minoksidil
Obat ini bekerja dengan pemberian kanal kalium sensitif ATP dengan akibat terjadinya effluks kalium dan hiperpolarisasi membran yang dikuti oleh relami penaksasi otot polospembuluh darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada arteriol daripada vena. Obat ini menurunkan tekanan sistol dan diastol yang sebanding dengan tingginya tekanan darah awal. Efek hipotensifnya dikuti oleh reflek takikardia dan peningkatan curah jantung yang dapat meningkat 3-4 kali lipat.
Farmakokinetik
Minoksidil diserap dengan baik pada pemberian per oral. Bioavabilitas mencapai 90% dan kadar puncak plasma tercapai dalam 1 jam. Obat ini merupakan prodrug yang harus mengalami penambahan gugus sulfat sebelum aktif sebagai vasodilatator.
Efek samping
Retensi cairan dan garam, efek samping kardiovaskular karena reflek simpatis dan hipertrikosis adalah efek samping yang utama. Selain itu dapat terjadi gangguan toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemia; sakit kepala, mual, erupsi obat, rasa lelah, dan nyeri tekan dada. Retensi cairan dapat diatasi dengan ppemberian diuretik.

 2.5.7.3 Diazoksid
Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan struktur mirip tiazid, tapi tidak memiliki efek diuresis. Mekanisme kerja, farmakodinamik, dan efek samping mirip dengan minoksidil.
Efek samping
Retensi cairan dan hiperglikemi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Efek samping hiperglikemi terjadi karen hambatan sekresi insulindari sel-sel β pankreas akibat stimulasi kanal kalium sensitif ATP. Respon tubuh terhadap pemberin insulin tidak dipengaruhi. Obat ini menyebabkan relaksasi uterus sehingga menggangu proses kelahiran bila digunakan pada eklampsia. Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi hipertrikosis.

2.5.7.4 Natrium Nitroprusid
Mekanisme kerja. Natrium nitroprusid merupakan donor NO yang bekerja dengan mengaktifkan guanilat siklase dan meningkatkan konversi GTP menjadi GMP siklik pada otot polos pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan kalsium intrasel dengan efek akhir vasodilatasi arteriol dan venola. Denyut jantung meningkat karena refleks simpatik, namun curah jantung tidak banyak berubah karena efek venodilatasi menurunkan beban hulu.

2.5.8 ACE inhibitor
2.5.8.1 Captopril
Efek peniadaan pembentukan AT II adalah vasodilatasi dan berkurangnya retensi garam dan air. Zat ini tidak menimbulkan edema atau refleks takikardi. Captopril digunakan untuk hipertensi ringan sampai berat dan pada dekompensasi jantung. Diuretik memperkuat efeknya, kombinasinya dengan beta blocker hanya menghasilkan adisi.
Kinetik
Resorpsi dari usus cepat untuk ca 75% efeknya sudah maksimal setelah 1,5 jam.dan bertahan 12-24 jam tergantung pada dosis. PP-nya 25-30%, plasma t1/2 2-3 jam. Ekskresi lewat kemih, setengahnya sebagai metabolit inaktif dan setengahnya utuh.
Efek samping
Hilangnya rasa, batuk kering, exanthema. Indometasin dan NSAID lainnya dapat menghilangkan efek obat ini.

2.5.8.2 Enalapril
Merupakan derivat prolin tetapi tanpa gugusan C-S. Khasiat dan penggunaannya sama dengan captopril. Resorpsi prodrug ini dari usus cepat sampai ca 60%. Dalam hepar, dihidrolisis menjadi enalaprilat aktif dengan PP ca 55% dan T½nya ca 11 jam. Efek maksimal setelah 4-6 jam dan bertahan lebih kurang 24 jam. Ekskresi melalui kemih dan sebagian dalam bentuk utuh.
Efek samping
Tidak menimbulkan hilangnya rasa (tanpa -CS) efeknya tidak dipengaruhi oleh NSAID.

2.5.9 Ca antagonis
2.5.9.1 Diltiazem
Derivat 1,5 benzothiazepine ini dibandingkan dengan dengan rumus tranquilizer sama penggunaannya dengan verapamil. Ada kalanya juga menggunakan pada angina instabil dan merupakan obat primer dan obat pilihan kedua untuk angina stabil. Juga digunakan sebagai obat antiaritmia kelas IV. Permulaan dan penghentian pengobatan harus berangsur dengan menghindarkan efek sampingnya. Resorpsinya dari usus lebih dari 90% tetapi BA-nya hanyaa ca 40% karena FPE tinggi. PPnya ca 80%, plasma T½nya 4-8 jam. Ekskresinya berlangsung lewat tinja (65%) sebagai metabolit (termasuk desazetil diltiazem aktif) dan secara utuh lewat kemih. Efek sampingnya mirip verapamil.

2.5.9.2 Nifedipin
Khasiat utama adalah vasodilatasi, maka terutama digunakan pada hipertensi esensial (ringan atau sedang) juga pada angina varian berdasarkan efek terhadap jantung yang relatif ringan: tak berkhasiat inotropik negatif. Pada angina stabil, hanya digunakan bila beta blocker dikontraindikasi atau kurang efektif. Resorpsinya dari usus baik (90%) tetapi BA-nya hanya rata-rata 60% karena FPE tinggi. Mulai kerja kapsul dalam 20 menit dan bertahan 1-2 jam. Efek samping: edema pergelangan kaki (10%),  dosis awal yang terlampau tinggi dapat memprovokasi angina akibat hipotensi kuat mendadak, sporadis, malah ischemia dan infark akibat refleks takikardi terutama pada lansia.

2.5.9.3 Verapamil
Senyawa amin alifatis ini dengan kelompok nitril digunakan pada angina varian dan stabil. Juga pada aritmia. Verapamil juga efektif pada hipertensi ringan sampai sedang dan mencegah reinfark setelah serangan jantung jika ada kontraindikasi bagi beta blocker. Kombinasinya dengan obat-obat lain yang bekerja kardiosupresif atau menghambat pembentukan atau penyaluran rangsangan harus dielakkan. Resorpsi dari usus ca 90% dengan BA lebih kurang 43%, berhubung FPE besar, PP-nya lebih kurang 90%. Plasma T ½ nya 4,5-12 jam. Di dalam hepar, zat ini dirombak lebih kurang 12 metabolit yang diekskresikan lewat kemih dan tinja. Efek samping hipotensi, bradikardi, insufisiensi jantung, obstipasi. Jarang AV blokade, nyeri kepala, edema, dan efek umum lainnya.

2.5.10 Antagonis Aldosteron
Pada hipertensi, peranan aldosteron adalah meningkatkan reabsorpsi natrium dan kalium pada ginjal. Antagonis aldosteron merupakan diuretik hemat kalium dan bisa digunakan sebagai terapi hipertensi, mekanisme kerjanya adalah penghambatan kompetitif aldosteron. Sehingga dengan dihambatnya aldosteron, reabsorpsi natrium dan kalium di hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan demikian ekskresi kalium juga dapat dikurangi. Contoh preparat antagonis aldosteron adalah spironolactone.

Spironolactone
Farmakokinetik : Spironolactone adalah steroid sintetis yang bekerja sebagai kompetitif inhibitor pada aldosteron. Onset of action dan duration of action dari target ini sangat tergantung dari kinetika aldosteron di target jaringan. Sedangkan inaktivasi dari Spironolactone terjadi di liver. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Spironolactone memiliki onset of action yang lama. 70% Spironolactone peroral diabsorpsi saluran cerna mengalami siklus enterohepatik dan metabolisme lintas pertama.
Indikasi pemakaian :
a.         Pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dan intoleransi glukosa.
b.         Gagal jantung kongestif.
c.         Cirrhosis hati.
d.         Hipertensi.
Efek samping :
a.         Hiperkalemia. (Biasanya di kombinasi dengan tiazid untuk meminimalkan hipokalemia)
b.         Perdarahan perut dan duodenum.
c.         Ginekomastia.
d.         Ataksia, disfungsi ereksi, kulit kemerahan.
e.         Karsinogenic (Dalam tahap percobaan pada tikus).

2.6 Diabetes mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥126 mg/dL atau postprandial ≥200 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200mg). Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan resiko timbulnya gangguan mikrovaskular meningkat, seperti hipertensi.
Hiperglisemi pada DM dapat timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan metabolismenya juga terganggu. Sebenarnya hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali hingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya ialah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis sangat meningkat disertai hilangnya elektrolit. Hal ini yang menyebabkan dehidrasi dan timbul gejala hipertensi.
Pada DM defisiensi insulin menyebabkan hambatan transpor amino ke dalam sel, glukoneogenesis bertambah, lipolisis bertambah dan terjadilah imbangan nitrogen negatif. Hal ini menambah lagi turunnya berat badan pasien DM. Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang disekresi.