di warnet, gak taw siapa yang download dan sumbernya dari mana


Buang Sial ke Singapura

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur. Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil, dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi, berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali. Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan. Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja, sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot. Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir, membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil, Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22, giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar, Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."


Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama.

Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua.

Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ketentraman sosial. Oleh karena itu saya 'siap perang'. Terus terang saja, saya tidak suka pada pemogokan kaum buruh. Itu mengancam ketentraman sosial. Dan sangat lebih tidak suka lagi kepada sumber atau penyebab-penyebab pemogokan mereka. Misalnya, hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi!
"Tampaknya Anda-anda ini sahabatnya Si Komo...?" saya nyeletuk, sesudah beberapa kalimat pembicaraan, serta berdasarkan yang saya ketahui dari surat mereka.
"Kata orang, buruh macam kami ini derajatnya sama dengan onderdil mesin. Tapi ternyata mesin lebih berharga dan lebih bernasib baik dibanding kami, Cak!" salah seorang nrombol. "Opo maneh iku!" kata saya.

"Kalau mesin mogok, ia tidak dipukuli, melainkan langsung diperbaiki, agar bisa digunakan lagi. Kalau kami mogok, lain soalnya. Wong masalahnya hanya aus karena kurang oli, kok lantas bisa sampai ke mana-mana yang kami tidak paham. Yang mbalelo, yang subversif, yang..."

"Bukan," jawab saya, "Bukan sampai ke mana-mana. Hanya sampai ke uang. Uang itu titik pusat gerak-gerik lain dalam kehidupan.
Gerak pendidikan, gerak kebudayaan, gerak politik, tuduhan-tuduhan dan retorika dalam hubungan kerja antar manusia, sesungguhnya bermuara pada uang. Tetapi yang penting, saya tidak mau kedatangan Anda kemari ini menjadi potensi yang bisa mengancam ketentraman sosial. Sebagai warga negara yang berusaha baik, saya selalu merasa wajib mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan masyarakat, meskipun yang bisa saya lakukan ya hanya sebatas begini-begini ini saja...."

"Meresahkan masyarakat bagaimana? Dan ikut mencegah bagaimana," mereka mengejar.
"Misalnya," jawab saya, "seperti dalam kasus yang Anda kemukakan kepada saya: para buruh harus kompak dengan juragan dan semua dalam perusahaan untuk mengantisipasi oknum-oknum yang dinilai tidak bisa melaksanakan undang-undang perburuhan. Para buruh harus selalu meletakkan diri dalam satu kepentingan dengan perusahaan, demikian juga pihak perusahaan harus meletakkan diri dalam dialektika profesional dengan buruh, sebab keduanya saling memerlukan. Para buruh kompak dengan perusahaan dalam pemenuhan hak-hak: gaji yang memadai sesuai dengan Moral Perburuhan Pancasila, imbalan lembur, fasilitas kesehatan, cuti haid, cuti hamil, hak berorganisasi, keterbukaan dan keadilan ketentuan kesejahteraan buruh... pokoknya semua segi hubungan kerja - nya. Perusahaan juga harus bertindak tegas kalau ada buruh yang menyogok atau menyewa pihak luar yang punya kekuatan untuk menekankan kepentingannya. Kalau ternyata buruh tak mungkin melakukan itu karena tak punya biaya,ya perusahaan yang harus waspada jangan sampai dirinya menyewa kekuatan macam itu...."
Saya menganjurkan agar para buruh itu mengusulkan kepada para juragannya, para direktur dan mandor-mandornya, agar memberikan penataran kepada para buruh ---umpamanya---tentang undang-undang perburuhan, apa kata Pancasila tentang hak-hak buruh.... ()

Buruh 2
Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi.
Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami.
Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak terpenuhi hak-haknya, kurang disantuni kelayakan hidupnya, apalagi kalau standar upah minimal saja tidak dipenuhi, tentu kemajuan perusahaan juga menjadi tidak maksimal."
Mereka menjadi mengerti: "Kami ini mesin. Kalau mesin loyo, bensinnya terlalu ngirit, minyak pelumasnya tidak lancar, yang rugi kan yang punya kendaraan. Beinsin ngirit membuat temperatur mesin menjadi panas, oli kurang mengakibatkan onderdil gampang rusak. Siapakah pengurus perusahaan yang menginginkan mesin kepanasan dan rusak seperti itu?"
Mungkin kemudian ada yang menyaut: "Kalau panas dan rusaknya keterlaluan akhirnya mesin kan mogok!"
Tetapi pasti ada juga yang meneruskan: "Padahal kami sama sekali tidak senang mogok...."
"Benar! Kami tidak suka mogok! Kami ingin bekerja baik-baik dan memaksimalkan hasil perusahaan, sehingga dengan demikian penghidupan kami pun menjadi baik. Sekali lagi kami tidak senang mogok.

Karena itu kami menginginkan suatu mekanisme kerjasama dalam bisnis ini dilakukan secara adil dan tidak memakai cara memaksa mesin menjadi mogok."
"Ya, Pak," demikian kira-kira yang lainnya meneruskan, "kalau Bapak punya mesin, tanyakan kepadanya apakah ia suka mogok, pasti jawabnya tidak. Tapi mengapa terkadang mesin itu suka mogok ya karena keadaannya harus mogok. Karena realitasnya mogok, ia dipaksa oleh kenyataan dirinya untuk hanya bisa mogok, meskipun ia sama sekali tidak senang mogok."
Ketidak sukaan mereka untuk mogok itu, jika sudah ditatar, akan lebih dilandasi oleh filosofi dan cara berfikir yang benar, di samping oleh kesadaran untuk memelihara ketentraman sosial. Mereka menjadi paham hakikat mogok. "Hakikat mogok itu sama dengan hakikat macetnya lalu lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang melarang jalannya macet?"
Karena kecerdasan Buruh meningkat, maka mungkin E.kan ada yang membuka wawasan lain: "Bagaimana kalau jalan yang ditempuh bukan pemogokan, melainkan suatu cara yang lebih bijak?"
"Apa misalnya?"
"Musyawarah, diplomasi, perundingan...."
Kecil kemungkinan akan ada yang menjawab begini: "Ah, mas ini! Ya Buruh pasti kalah dan diakali saja kalau pakai diplomasi segala. Kami ini makan sekolahan hanya sedikit, sedangkan Bos-bos kami orang pandai semua. Kalau kami ini pandai, mosok ya menjabat sebagai buruh to maaaas .... !"
Artinya, kalau Perburuhan Pancasila menghendaki tidak ada aksi mogok dari para buruh misalnya melalui musyawarah, dialog, di.plomasi, perundingan dan sebagainya cara-cara tersebut bisa dilaksanakan dengan adil apabila ada kekuatan tawar-menawar yang seimbang. Hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari posisi dan kondisi sosial, politik, budaya buruh saat ini.
Insya Allah tidak begitu. Kecuali kalau kaum buruh memang disengaja diperbodoh, dibiarkan bodoh dan dibiarkan lemah dan malah dilemahkan. ()


Cerdas, Terampil dan Jujur, tetapi Melarat

Seorang pemilik bengkel kendaraan bermotor dan toko onderdil tidak bisa memahami ulah seorang karyawanny a. Dalam suratnya ia menyatakan kebingungannya, apakah harus memecatnya atau memeliharanya terus. Karena di samping hal-hal tertentu merugikan bisnisnya, si karyawan ini juga merupakan kekayaan tersendiri da!am lingkaran usahanya.
"Dia memiliki keterampilan alamiah di bidang permesinan, bisa menangani yang kecil-kecil seperti jam tangan sampai mesin truk, dan tampaknya punya pengetahuan yang tidak rendah tentang mesin kapal.

Mungkin kalau pesawat ia angkat tangan, tetapi terhadap apa saja yang baru dan ia belum tahu, ia begitu penasaran. Dan kalau sudah penasaran, ia akan menghabiskan waktu untuk mempelajarinya, sehingga tugas-tugasnya terbengkalai. Ia lebih merupakan seorang "ilmuwan" daripada seorang karyawan bengkel mesin. " demikian tulis usahawan kita yang pusing ini.
"Ia otodidak penuh, mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sejak kanak-kanak. Kalau teknisi lain sudah angkat tangan dia selalu. menjadi pamungkas penyelesaian problemnya. Dia juga selalu sangat kritis, dan sesekali, sambil memperbaiki mesin mobil, ia menggerutu menyalahkan pabriknya yang dia keliru mengkonsep sistem-sistem tertentu."
"Tetapi justru karena keahliannya, ia seringkali merugikan usaha saya. Sampai tingkat tertentu ia bisa memperbaiki suatu onderdil dengan cara dan akal yang tak habis-habisnya sampai layak pakai kembali.

Tetapi itu berarti tingkat jual toko saya dirugikan. Padahal sudah menjadi kebiasaan bengkel di mana-mana untuk suka menyuruh pemilik mobil ganti onderdil, dan tentunya hal itu wajar dalam dunia bisnis."
"Yang lebih menjengkelkan, ia tak tahu bagaimana menyerap pembeli. Mestinya ia jangan gampang bilang bahwa mobil seseorang oke-oke saja. Omong kurang ini kurang itu kek, harus didandani ininya dan itunya kek. Juga dalam menggagas setiap pasien yang membawa kerusakan mobilnya, ia cenderung membela pasien, dengan selalu berpikir bagaimana meringankan bebannya. Setiap saran dan perbaikan yang dilakukannya diarahkan untuk penghematan si empunya kendaraan. Saya dong yang celaka. Usaha saya tidak bisa maksimal kemajuannya, tetapi saya juga merasa eman kalau memecat karena sebagai manusia dia sangat menyenangkan, manusiawi dan selalu mampu membuat lingkungan kerja kami menjadi segar."

Alangkah Mengasikkan Kehidupan Ini!
Mungkin itu sebabnya Rasulullah Muhammad meskipun tidak melarang pasar namun wanti-wanti agar memilah-milah betul antara pasar dengan masjid. Kalu sudah cukup lama di pasar, cepatlah masuk masjid, agar selamat kembali sebagai manusia.
Manusia diciptakan sebagai manusia individu dengan dua kosmos: individual dan sosial. Kalau seseorang kehilangan individualitasnya, ia larut menjadi nomer dalam deretan atau kumpulan suatu komunitas. Tapi kalau ia mengintensifkan individualitasnya saja, yang terjadi adalah "individualisme". Lebih menyempit lagi menjadi "egoisme". Menjadi manusia adalah pergulatan untuk menyeimbangkan antara individualitas dan sosialitas.
Si Karyawan itu adalah petugas Allah untuk mengemban "proyek penyeimbangan kemanusiaan" semacam itu.
Dunia usaha, bisnis, berdagang, berniaga, berjual beli, kapitalisasi, adalah salah satu bentuk individualisasi atau egoisasi yang mereduksi keutuhan manusia dan kemanusiaan. Dari kosmos utuh eksistensi manusia, seseorang menyempitkan diri ke dalam kubangan nilai untung rugi, produktif dan konsumtif, dan semua itu dalam perspektif materialisasi dan materialisme.
Bisnis adalah sebuah fungsi sosial, narnun mengacu kepada fungsi ego atau kepentingan sepihak si pelaku dagang. Prosesnya dari "manusia" menjadi "manusia dagang" lantas menjadi hanya "pedagang", manusianya tak berlaku. Di dalam pasar bisnis, segala sesuatu, termasuk rnanusia, Nabi dan Tuhan, hanya berposisi sebagai faktor produksi, sebagai kornoditi, suku cadang, barang jualan, alat produksi, atau apa pun sebutan dan anglenya.
Sedangkan Si Karyawan itu. .hanya "manusia". Ia hanya berhubungan dengan manusia dan apapun dalam kedudukan dan nilai-nilai sebagai manusia. Ia tidak punya bakat untuk mengeksploitir benda, manusia dan peristiwa fang dialaminya untuk orientasi laba pribadi. Ia tidak bisa menjadi kapitalis. Dan luga tidak bisa disebut sebagai "bukan manusia kapitalis", sebab kalau kapitalis itu namanya "belum manusia".
Jadi apakah sebaiknya ia dilemparkan atau dipelihara, tergantung Pak pemilik bengkel dan toko, mau berjalan ke mana dan menjadi apa dalam kehidupan ini. Kalau mau jadi kapitalis dan merencanakan bawa harta benda, riunah, mobil, deposito dan credit card ke dalarn kuburan, cepat-cepat campakkan dia supaya Anda senang dan supaya dia juga bahagia. Tapi kalau Anda mau jadi rnanusia, ia adalah sahabat sejati yang menawarkan penyelamatan kemanusiaan juga kemelaratan.


CITA-CITA SUCI "SI DIA"

Di Jakarta, pusat kemajuan Indonesia, terdapatlah seorang wanita bintang seks yang cukup terkenal. la seorang foto model dan bintang film yang dianugerahi Tuhan wajah cantik dan tubuh indah. Rupanya ia tidak 'egois': anugerah itu tak dipakainya sendiri atau tak dipersembahkan hanya buat suaminya tercinta. la 'mendermakannya' kepada sebanyak mungkin orang, dengan cara membuka dan memaparkan keindahannya itu di depan kamera.
Berkat 'kedermawatian'-nya itu, ia pun memperoleh uang dan kekayaan yang jauh melebihi kebanyakan penduduk negerinya.
Itu, tentu saja, bukan berita aneh. Bahkan 'bukan berita'. Sebab kita sudah terbiasa memadukan baik dengan buruk secara harmonis. Kita mampu mengiklankan "budaya timur" sambil melanggarnya. Kita sanggup mempidatokan Ketuhanan Yang Maha Esa justru untuk melanggar-Nya. Kita ahli bicara soal film yang kultural edukatif sambil memproduksi barang jualan yang kurang beradab dan tak mendidik. Dunia jahiliah sudah mendarah daging, sehingga makin tdak terasa.
Yang menjadi berita adaiah bagaimana bintang seks kita itu mendidik putrinya. Dengan sadar ia menggiring anak kinasihnya untuk mengikuii jejaknya. Ia bahkan bangga.
Tahun ini sang putri berumur 16. Berbagai fotonya dengan pakaian yang justru menonjolkan bentuk tubuhnya yang amat merangsang telah mulai terpampang di beberapa media massa cetak. Sang putri ini sangat cerdas bagaimana mewarisi semangat ibunya, dan sudah canggih bikin pernyataan kepada wartawan: "Saya sudah siap melakukan adegan-adegan panas. Memang saya mengambil pengalaman dari yang Ibu lakukan,
tapi saya ingin menjadi diri sendiri."
Maksudnya, ternyata, "Saya ingin tampil lebih hangat. Tapi juga ditunjang oleh kemampuan akting. Kalau soal buka-buka pakaian di depan 'camera sih soal gampang, tapi bagaimana menentukan pose dan akting yang pas, itu yang harus saya pelajari."
Kenapa hal ini rnenjadi berita?
Karena, biasanya, pelacur yang paling pelacur pun tak menginginkan anaknya jadi pelacur. "Biarlah saya rusak, tapi anak saya harus jadi orang balk-balk" biasanya demikian pelacur bersikap. Bahkan ada pelacur yang dengan sadar melacurkan diri demi membiayai proses kemajuan anaknya menuju masa depan yang balk. Pelacur biasanya punya cita-cita luhur bagi anak-anaknya. Ia menjadi pelacur tidak karena keyakinan atau hobinya, tetapi karena keterpepetan untuk menjadi semacam martir.
Jadi apa yang kita jumpai pada bintang seks kita di atas, adalah gejala yang berbeda.
Saya menduga itu bukan hanya fenomena psikologis melainkan lebih dari itu: ia adalah munculan dari gejala peradaban yang lebih luas dan makin merata.
Merata. Masuk kampung kita. RK dan RT kita. Lantas rumah kita.
Sementara itu kita sibuk mempertengkarkan apakah huruf alif sebaiknya ditulis lurus atau sedikit bengkok.



DITANYAKAN KEPADANYA

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia


Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi

Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya.
Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi.
Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda.
Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepada titik proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam ditergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik Pribadi yang didirikannya.
Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda.
Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.
Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya, berkata di depan bupati :
"Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat.
Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak, kasihan arakyat, Pak.
Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap angka-angka dan manajemennya saja, buata huruf..."
Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati atau tokoh-tokoh berwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat kecil" sebagaimana Pak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa.
Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun bicara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari kewafatannya dengan pengajian dan tahlilan besar.
Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-acara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI dan lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya 90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang membosankan.
Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang tidak naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak Nun..."
Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan Madura ini.
Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa, dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.
Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh.
Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius, tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang.
Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah suara keras dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor Kabupaten, kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan pengarahan. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan mendengarkan!"
Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan tangan sambil berteriak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!"