Ibnu Hajar Al-Asqalani

Ibnu Hajar Al-Asqalani : Hakim yang Adil dan Wara’


Ibnu Hajar Al-Asqalani, selain dikenal sebagai ulama yang sangat wara’ (senantiasa berhati-hati terhadap sesuatu yang tidak jelas), beliau juga seorang hakim yang sangat adil ketika beliau menjabat sebagai Qadli al-Qudhat (hakim agung).

Karena ketegasan dan kekritisannya terhadap sebuah permasalahan, jabatannya sebagai hakim sering kali mengundang ketidakpuasan dari penguasa (pejabat pemerintah) Mesir ketika itu. Dan, karena itu pula, beberapa kali jabatan beliau sebagai hakim agung terpaksa dicopot. Menurut catatan, pencopotan jabatan hakim agung itu terjadi hingga enam kali. Namun demikian, beliau tak pernah meminta jabatan itu, tapi justru penguasa sendiri yang akhirnya meminta beliau kembali untuk jabatan tersebut.

Pejabat pemerintah yang meminta beliau agar mau menjadi hakim agung tersebut adalah Sulthan Al-Muayyad dan Jalaluddin al-Bulqini. Saat pertama kali menerima jabatan hakim agung itu beliau sangat menyesalinya. Sebab, banyak masyarakat yang tidak menghormati seorang hakim, termasuk para pejabat negara yang suka mengancam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun permintaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebenaran.

Karena kondisi seperti itu, semangat beliau untuk menegakkan kebenaran dan keadilan semakin tegas. Beliau tak pernah takut terhadap kebijakan pemerintah yang memusuhinya.

Berbagai pemberian maupun hadiah dari pejabat atau orang yang beperkara selalu ditolaknya. Beliau tidak mau menerima pemberian atau hadiah berupa apa pun. Penolakan itu beliau lakukan demi menjaga diri beliau dari hal-hal yang berbau suap (sogok). Memang, hadiah-hadiah yang ditawarkan kepada beliau berkaitan dengan jabatannya sebagai hakim. Ibnu Hajar menjabat sebagai hakim ini lebih dari 20 tahun.

Ibnu Hajar Al-Asqalani juga dikenal sangat wara’. Ia sangat hati-hati dalam soal makan. Bila terpaksa menghadiri sebuah undangan (walimah), ia pura-pura makan. Terkadang, ia memberikan makanan tersebut kepada orang yang duduk di sampingnya. Sehingga, yang punya hajat menyangka beliau menikmati hidangan tersebut. Hal itu dilakukannya untuk memuliakan tuan rumah. Padahal, tak satu pun makanan yang masuk ke perutnya. Beliau sangat hati-hati dalam hal ini karena takut ada barang yang tidak halal yang masuk ke perutnya.

Itulah Ibnu Hajar Al-Asqalani. Walaupun jabatan tertinggi dijabatnya, baik sebagai hakim agung maupun mufti (orang yang memberi fatwa), beliau tetap tawadlu’ (rendah hati) dan senantiasa beribadah kepada Allah, tanpa diketahui orang lain. Beliau selalu berzikir, membaca tasbih, dan beristigfar dalam setiap kesempatan. Butiran tasbih yang dibawa, disembunyikan dibalik lengan bajunya agar tidak diketahui orang lain. Bila terjatuh, beliau cepat-cepat memungutnya dan menyembunyikannya kembali dibalik bajunya.

Di tengah-tengah tugas yang diembannya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadis-hadis, membacanya, mengajarkannya kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadis, fikih, dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

Kepergiannya (wafat) meninggalkan umat, membawa kesedihan yang mendalam. Seluruh rakyat Mesir memberikan penghormatan kepadanya. Bahkan, pasar-pasar yang biasanya ramai, tutup saat beliau meninggal dunia. Wa Allahu A’lamu. (syahruddin el-fikri)