Dialog Ibn Athaillah Al Sakandari (w.709 H) dengan Ibn Taymiyah (w. 728 H).
Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah Ditranslasi dari buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996)
Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah Ditranslasi dari buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996)
Bismillahi ar-rahmani ar-rahiim.
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemukayang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulis karya-karya berikut: Al
Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism
al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi
al Adad al-Thariq. Juga sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau
adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus
kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah
atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham
dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”. Satu
HalamanPostingan berikut ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
untuk pertama kali atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog : Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim
Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah
tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum
terpelajar (berpendidikan keislaman). Di samping itu, ia juga merekam
kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf: Syaikh
Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya
dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah yang Notabene adalah Imam Sufi:
Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang
malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami
Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan
Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh
sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
IBN ATHAILLAH: “Biasanya saya sholat di masjid Imam
Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah
berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut
anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai
faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
IBN TAYMIYAH: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk
terhadapku, tapi perbedaan pandangan di antara kita tetap ada. Sejak
hari ini, dalam kasus apa pun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan
dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
IBN ATHAILLAH: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?
IBN TAYMIYAH: Aku tahu anda adalah seorang yg saleh,
berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku
bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang
lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah
atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi laranganNya.Tapi
bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda
ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak
kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan
Allah (istighatsah)?
IBN ATHAILLAH: Tentu saja, Rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawassul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan
bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya
karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBN TAYMIYAH: Mengenai hal ini saya berpegang pada
sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi
sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an
juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi)
ke tempat yang terpuji (Q.S Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat
terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra
wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang
Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni
dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan
dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena
Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
IBN ATHAILLAH: Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih?!Maksud
dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia
mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul
melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai
pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain
Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,
”Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat
ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu
menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya
sendiri?”.
”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan
pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari
Allah? Di samping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai
ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja
dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah
sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul
berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimilikinya dari Allah,
sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan
seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan
selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui
makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk
mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah
anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat
Al qur’an yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka
yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya
jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam
rangaka bertawassul atau mengambil perantara atas keutamaan (hak) rasul
yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau
memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada
rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau
memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada
kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan buah anggur karena dapat dijadikan minuman keras. Dan (seharusnya) mengebiri (melumpuhkan kemapuan besetubuh) laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini, sebab konon Syaikh Ibnu Taymiyah adalah pria yang tidak menikah)).
Lalu IBN ATHAILLAH melanjutkan: “Saya kenal betul
dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang
didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya
teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari
godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik
kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik
kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara
kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini
untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh
dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam.
Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata
yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak
dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al-Islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang
sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti
makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun
kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin
Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn
Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya,
melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi,
pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian
pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam
konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa
pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya”. Sayyidina Ali adalah
merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran
kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha
sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan
pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah
membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi
sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang
meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
IBN ATHAILLAH: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara
faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan
menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau
pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke
dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak
menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan
hukum) bahwa mereka harus dibunuh di manapun mereka ditemukan?
IBN TAYMIYAH: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
IBN ATHAILLAH: Dan Imam Ahmad- semoga
Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang
berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen
atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli
gadis para penyanyi, dan menyerang masayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan
menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini
dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan
menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas
perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan
dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas
pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari
ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan
pebuatan yang dilarang agama.Apakah anda tidak memahami hal ini?
IBN TAYMIYAH: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di
antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah
saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan
memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut
tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat
itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa
Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya
malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di
singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
IBN ATHAILLAH: “Tidak semua
sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan;
apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
IBN TAYMIYAH: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
IBN ATHAILLAH: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun
tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat
seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak
memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari
kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan
kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar
menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam
tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran
sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat
diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah,
melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat
dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba
Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi
kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA. Inilah posisi mulia yang
menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa.
Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai
manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis
dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam
menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya
hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata
yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
IBN TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut justru ditujukan
untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng
dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang?Saya
meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami
(salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi
sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun
bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan
menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut
Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau
menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa
seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud)
ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas
perilaku ateis dan kafir”.
IBN ATHAILLAH: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat
yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al
Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda
tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi
seorabg Zahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode
yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa
yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna
mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannyasangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali,
yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan
isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan
berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah
cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah
anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di
antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai
perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang
berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam
Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal
pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa
Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan
Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana
ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan
semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah
memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang
lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat
mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan
lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al
Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia
membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha
untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke
dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak
mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di
(hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para
ahli fiqih mengecam Ibn Arabiadalah karena kritik beliau
terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar
masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus
yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia
menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah
mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan
anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: ”Siapa saja yang
membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak
dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak
bisa diandalkan.Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” Adakah pernyataan yang seindah ini?”
IBN TAYMIYAH: “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
*****
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate
with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The
repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.