Daerah Madyaning Kadang (Perang Saudara)
Dahulu di negeri Janggala Shri Mapanji Garasakan duduk di singgasana dihadap segenap nayaka praja. Konon Shri baginda sedang murka karena mendengar laporan patihnya, bahwa banyak raja bawahan yang mengarahkan kesetiannya kepada Panjalu. Hal tersebut dirasakan sangat menyinggung kebesaran Janggala dan menuduh Panjalu sebagai penyebabnya. Segeralah Shri Jayantaka mengirim pasukan untuk menyerang Panjalu.
Tidak terlukiskan perjalanan pasukan Jenggala yang menuju ke Panjalu. Pada saat yang sama, Shri Samarawijaya di istana Panjalu, sedang menerima penghadapan Shri Linggajaya, raja negeri Tanjung. Tiba-tiba ketenangan di paseban dikejutkan oleh suara riuh di luar, yang ternyata adalah musuh yang datang menyerang tanpa surat tantangan. Betapa terkejut Shri Samarawijaya, setelah mengetahui hahwa muauh yang datang menyerang adalah keluarganya sendiri raja Janggala, Shri Jayantaka. Seketika itu pulalah terjadi pertempuran besar di alun-alun Panjalu. Gemuruh suaranya bagai membelah langit Ternyata pasukan kedua belah pihak sangatlah seimbang, sedemikian lama tidak nampak yang kalah dan yang menang. Desak mendesak tendang menendang pedangnya saling menyambar menebarkan hawa maut.
Alun-alun Panjalu yang semula nampak hijau karena rerumputan yang tertata rapi, berubah menjadi merah karena tersiram darah. Gelegar pertempuran ternyata terdengar sampai di pertapaan Pucangan, dengan segera Rara Kilisuci menghentikan samadinya, berkelebat bagai bayangan cepat laksana kilat menuju ke Panjalu. Sesampai di Panjalu sang pertapa Kilisuci segera mengambil genta pusaka yang tersimpan di dalam jubahnya.
Dengan disertai mantra sakti genta pun digoyangkan mengeluarkan suara lantang memenuhi seluruh medan perang. Suara genta menelusup masuk telinga terasakan bagai senjata tajam menusuk-nusuk meremas jantung, para prajuritpun bergelimpangan jatuh pingsan di tanah, pertempuran terhenti seketika. Kedua narpati yang bertempur ingat benar bahwa yang memiliki genta pusaka tersebut adalah saudara mereka yang sangat mereka hormati, yaitu Rara Kilisuci. Segera merekapun mendekati sang resi. Oleh sang resi mereka berdua dinasehati agar selalu rukun damai jangan sampai terjadi permusuhan sesama keluarga.
Kedua raja tersebut pun tertunduk mendengar nasehat sang resi, akhirnya mereka pun berdamai saling berpelukan menghapuskan rasa permusuhan. Segera Shri Mapanji Garasakan pamit meninggalkan alun-alun kembali ke Kahuripan. Perjalanannya melingkar ke selatan melalui negeri Tanjung. Bagai didera murka Shri Garasakan, setelah menyaksikan persiapan pasukan Tanjung yang akan mengawal upeti ke Panjalu. Barisan pedati yang telah siap akan berangkat, dirampas dan ditumpas dengan kobaran api.
Tak urung terjadilah pertempuran sengit antara pengawal Tanjung dengan pasu kan dari Janggala. Pertempuran yang habis- habisan tersebut mendesak para penduduk untuk meninggalkan rumahnya. Salang tunjang berlari mengungsi mencari, perlindungan.
Ternyatalah pasukan pengawal dari Tanjung bukan tandingan pasukan dari Janggala. Sewaktu matahari telah mulai mendekati puncak bukit, pasukan Tanjung sudah tumpas habis, Shri Linggajaya gugur dalam medan pertempuran. Negeri Tanjung pun dikuasi oleh Janggala.
Beberapa prajurit Tanjung yang berhasil meloloskan diri, mencari perlingdungan ke Panjalu. Peristiwa Tanjung itu pun akhirnya terdengar oleh Shri Samarawijaya. Betapa murka baginda, karena keberadaannya sebagai pengayom negeri Tanjung serta meria dilecehkan oleh Janggala. Nilai harga diri melebihi nilai jiwa dan raganya. Oleh sebab itu tanpa menunggu waktu, segera mempersiapkan pasukan, untuk menghajar Janggala.
Alkisah yang ada di Janggala, saat itu sedang berpesta pora untuk menghormati pasukan yang unggul perang. Di setiap sudut kota diselenggarakan pagelaran kesenian rakyat. Kota Kahuripan nampak terang benderang, karena lampu yang terpasang tersebar di seluruh penjuru kota.
Suasana bersuka ria tersebut digoncang oleh kedatangan pasukan Panjalu yang langsung menyerang gerbang kota. Masyarakat lari pontang panting mencari perlingdungan, sedangkan para prajurit segera memungut senjata seadanya. Pertempuran besarpun terjadilah.
Gelegar pertempuran tersebut terdengar sampai di Gunung Penanggungan, segeralah Resi Aji Paduka Mpuku yang mendengar adanya perang saudara, turun menuju medan laga. Tidaklah berkelebihan bila sang resi disebut-sebut sebagai titisan Bathara Wishnu, ternyata meskipun telah lanjut usia masih mampu tampil sebagai sang maha jurit. Terlihat berkelebat sekejab telah sampai di Kahuripan.
Sementara itu di Kahuripan, dahan-dahan ringin kurung sempal kaparapal berserakan di tanah, pepohonan banyak yang tumbang karena tersentuh oleh tangan-tangan yang sedang berperang.
Kedatangan resi maha sakti Shri Aji Paduka Mpungku membawa pengaruh yang luar biasa. Tiba-tiba datanglah kabut tebal menyelimuti medan pertempuran. Sedemikian tebalnya sehingga mereka tidak mampu melihat dan membedakan antara kawan dan lawan. Pertempuran pun berhenti seketika.
Hilangnya kabut tebal nampaklah sang maharesi Aji Paduka berdiri berwibawa di tengah medan pertempuran, memanggil kedua putra sentana yang terlihat perang saudara. Keduanya dinasehati agar rukun kembali. Pertempuran telah dinyatakan selesai, segera mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Demikianlah indahnya cerita ini disajikan dalam untaian sekar setaman sari, SINOM, PANGKUR, DURMA dan ASMARADANA.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: RM. Budi Udjianto, HN. Banjaran Kadiri, Kediri: Pemerintah Kota Kediri, 2008.