APAKAH ADA HUBUNGAN ANTARA G30S DAN MUNCULNYA MITOS PANGERAN SAMODRO DI GUNUNG KUMUKUS?

LAPORAN HASIL PENELITIAN
“APAKAH ADA HUBUNGAN ANTARA G30S DAN MUNCULNYA MITOS
PANGERAN SAMODRO DI GUNUNG KUMUKUS?”
















OLEH:
ORLANDO DE GUZMAN
NIM: 06210558
AUSTRALIAN CONSORTIUM FOR ‘IN COUNTRY’ INDONESIAN STUDIES
(ACICIS)
ANGKATAN KE XXIII
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG
DEC 2006

HALAMAN PENGESEHAN





Judul Penelitian:

“Apakah ada Hubungan Antara G30S dan Munculnya Mitos Pangeran Samodro di
Gunung Kumukus?”


Nama Peneliti:

Orlando M. de Guzman










Malang, 26 Mei 2006


Mengetahui,
Dekan FISIP Dosen Pembimbing




Drs. Budi Suprapto, MSi Dr. H. Achmad Habib, MA

Resident Director ACICIS
Ketua Program ACICIS FISIP-UMM




Phil King, PhD H. Moh. Mas’ud Said, PhD



KARYA INI DIPERSEMBAHKAN KEPADA MANTAN DOSEN SAYA DI
UNIVERSITAS WASHINGTON, DR. DANIEL LEV, YANG BERPULANG
BULAN JULI 2006 DI SEATTLE. BELIAUMENJADI SUMBER INSPIRASI
UNTUK MELANJUTKAN PENDIDIKAN SAYA TENTANG SEJARAH DAN
POLITIK ASIA TENGGARA, KHUSUSNYA TENTANG INDONESIA. ATAS
BIMBINGANNYA SAYA BERHUTANG BUDI . SEBELUM BELIAU WAFAT,
SARANNYA ADALAH “JANGAN TERPUKAU PADA HAL-HAL YANG MISTIS
DI JAWA, MALAH LIHAT SAJA APA YANG DIBELAKANGNYA DARI SISI
POLITIK.” SELAIN DOSEN YANG TERBAIK, BELIAU ADALAH PEJUANG
HAK AZAZI MANUSIA YANG TAK PERNAH MENYERAH KEPADA
KEMUNAFIKAN. MARI KITA WUJUDKAN CITA-CITA PAK DAN TENTANG
KEMBANGNYA DEMOKRASI DI INDONESIA.

Kata Pengantar
Laporan ini adalah hasil penelitian mengenai dua topik yang sejak lama menarik
perhatian saya, yaitu mitos dan politik. Keduanya amat berbeda dan jarang
dihubungkan. Demikianlah karena mitos muncul dalam bagian pikiran yang tidak
mengenal logis, sedangkan politik lebih dikendali pikiran rasionalisme dan
perhitungan yang masuk akal. Untungnya, di Gunung Kumukus, mitos dan politik
bertumpang-tindih dan cerita yang muncul sangat menarik. Seperti yang
digambarkan Gunung Kumukus, pemaknaan mitos bagi berbagai pihak adalah
perhitungan politik untuk melanggengkan gagasan-gagasan tertentu.
Laporan ini juga bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam sejarah sosial
masyarakat di wilayah Solo. Akan tetapi, mengingat keterbatasan peneliti ini
mengenai pengetahuannya tentang sejarah dan budaya Jawa, khususnya
keterbatasannya dalam bahasa Jawa yang begitu rumit, laporan ini tidak menyatakan
bahwa semua analysis dan kesimpulan disini tepat. Dengan demikian, semoga semua
kekurangan dan kesalahan dimaafkan. Namun, proses pengumpulan data di lapangan
dan pengajian pustaka tentang kebudayaan Jawa sangat bermanfaat untuk
menlanjutkan ketrampilan saya untuk berbahasa Indonesia.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
dalam proses penelitian ini:
Kepada Universitas Muhammadiyah yang tulus ikhlas memberikan kesempatan pada
saya untuk melalukan riset di Jawa Tengah, saya ucapkan terima kasih banyak.
Terima kasih pada semua staf, khususnya pada Pak Mas’ud dan dosen pembimbing
saya Pak Habib atas dukungan moral dan saran-saran mereka. Terimah kasih juga
kepada Mbah Lulud atas semua urusan kantor yang dia kerjakan selama semester ini.
Terima kasih juga kepada Mbah Syamsuri, juru kunci di Gunung Kumukus yang
memberikan banyak informasi yang menarik sambil menyampaikan doa-doa kami
kepada Eyang Samodro.
Selain itu saya juga mengucapkan terima kasih kepada Program ACICIS atas semua
dukungannya, khususnya pada Pak Phil dan Mbah Lestari yang antara lain
memberikan banyak saran mengenai arah penelitian ini. Ucapkan terima kasih juga
kepada Mbah Herna, Mbah Apri, dan Mas Nur dari Wisma Bahasa di Yogyakarta atas
semua pelajaran mengenai tulis-menulis, tata bahasa, politik, agama, mitos, sejarah
dan filosifi Jawa. Saya juga berhutang budi kepada Ibu Cathy Scheibner dan Bapak
Griffiths Way dari Yayasan Blakemore di Seattle, Washington yang mengurus semua
kebutuhan jasmani saya selama satu tahun supaya saya bisa melanjutkan pelajaran
bahasa. Saya tahu bahwa pengalaman ini akan bermanfaat saat saya terjun ke
lapangan untuk bekerja sebagai wartawan di Indonesia tahun 2007.
Akhirnya, terima kasih banyak kepada keluarga saya. Kepada Anna yang penuh
pengertian dan sayang, kepada Carlos yang setiap pagi bangun tersenyum, kepada
Papa saya yang sepajang hidupnya melestarikan mitos-mitos dalam karya lukisannya.
Orlando de Guzman,
Yogyakarta, Desember, 2006

ABSTRACT
The myth of Pangeran Samodro at Gunung Kumukus, Kabupaten Sragen, Central
Java has attracted hundreds of thousands of fortune seekers over the past 4 or so
decades since it became popular. Pangeran Samodro, like many local folk heroes who
enter the realm of myth, is believed to possess supernatural powers that can bring
about luck, wealth and charm to the pilgrims who troop to his grave. This myth only
makes sense if the pilgrims take part in its ritual, which involves sexual intercourse
between male and female pilgrims, specifically with partners who are not their
husband or their wife. This ritual has to be done 7 times according to specific dates
where the Gregorian calendar coincides with Javanese calendar days, in this case
Jumat Pon and Jumat Kliwon.
Pangeran Samodro is a mythological figure, who like many others across Java, has its
roots in the fall of the Majapahit Kingdom. Remnants of ancient Hindu beliefs may
be behind the ritualistic nature of sex in Kumukus, though over the years there have
been concerted efforts by the government and interested parties to spin new
interpretations of the mythology away from what is considered ‘immoral’. Despite
such efforts, ritualistic sex in Kumukus occurs regularly, as does commercial sex
which has found a haven amongst the ritual.
This paper looks at the development of this myth through various historical moments
in central Java. It argues that the development and the rise in popularity of local
mythologies coincides with social, cultural and economic upheaval. The traumatic
events after the attempted coup September 30, 1965 (an event known more commonly
by in its Indonesian acronym, G30S, from ‘Gerakan 30 September’) may have led to
the popularity of Gunung Kumukus, though further research is need to draw
conclusive evidence. Gunung Kumukus lies at the heartland of the Communist Party
of Indonesia’s (PKI) membership base in Central Java during the 1960s. The area
was the once the scene where cultural differences between santri and abangan
Javanese world views became increasingly polarized by radical political ideology,
eventually leading to the bloody massacres of PKI sympathizers after G30S. It is not
so clear how all these factors have fueled the development of the myth of Pangeran
Samodro and further research needs to be conducted.
However, as the myth became known to more and more people across Java after
G30S, new interpretations of the myth evolved. In the 1980s, Pangeran Samdoro was
recast as a hero for his allegiance and loyalty to the State. Perhaps this revisioning of
the myth was done to thrust Pancasila ideology over a population known for its
outspoken resistance and its PKI history. In the 1980s this became especially acute as
villagers living around Gunung Kumukus became active in resisting the Kedung
Ombo dam project, a USD 156 million project funded largely by the World Bank
which required the forced relocation of 5,000 families, many of whom were later
accused of being PKI sympathizers. Gunung Kumukus, the site of large gatherings
every 35 days, was a source of suspicion and intrigue given its PKI history.
Following a trend in the popularity of Islamic pilgrim sites in the 1990s and 2000,
Pangeran Samodro was once again recast as an important Islamic figure who studied
under the guidance of Sunan Kalijaga, one of the 9 walisongos. This paper has found
that such associations are done more in the interest of retaining the pilgrim business
than any regard for religiosity or historical fact.

ABSTRAK
40 tahun setelah kembangnya mitos Pangeran Samoro di Gunung Kumukus,
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, daya tarik tempat ziarah itu masih kuat dan
dikunjungi ratusan-ribu peziarah setiap tahun. Sebagaimana kisah tentang pahlawanpahlawan
lokal lainnya yang telah mencapai status mitologis, Pangeran Samodo
dianggap sebagai tokoh yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu bisa
mengabulkan semua cita-cita dan keinginan peziarah yang berbondong-bondong
berdatangan ke makamnya dalam rangka ngalap berkah. Akan tetapi, janji mitos ini
hanya terwujud jika si peziarah melakukan seks dengan jenis lawannya, khususnya
yang laki-laki atau perempuan yang bukan muhrimnya. Apalagi, ritual ini harus
dilakukan sebanyak 7 kali berturut-turut sesuai dengan tanggal yang tepat, khususnya
Jumat Pon dan Jumat Kliwon.
Penelitian ini mempertanyakan bagaimana ritual yang menyimpang kesusilaan umum
bisa tumbuh subur di Jawa Tengah, dimana Islamisasi terus berkembang. Seperti
mitos-mitos lainnya di Jawa, mitos Pangeran Samodro berakar dari runtuhnya
Kerajaan Majapahit. Sisa-sisa kepercayaan Hindu tampak dilihat di Gunung
Kumukus, dan ada kemungkinan bahwa pengaruh kepercayaan pra-Islam ini memicu
ritual seks di tempat itu, meskipun para peziarah tidak menyadarinya. Pemerintah dan
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sendiri telah menghaluskan mitos
Pangeran Samodro, akan tetapi ritual seks masih diadakan di situ. Pekerjaan Seks
Komersial dan lokalisasinya juga berkembang seiring dengan ritual yang sakral,
sehingga para peziarah sulit membedakannya. Salah satu tema sejarah Gunung
Kumukus adalah penghalusan mitos dan keyakinanan penduduk asli yang dianggap
mesum ataupun terlarang.
Penelitian ini juga menelusuri perkembangan mitos Pangeran Samodro. Tesis naskah
ini adalah perkembangan mitos tersebut diiringi gangguan tatanan tradisionil
masyarakat, serta perubahan besar-besaran yang mengkhiblatkan masyarakat ke dunia
mitologi. Penelitian ini mengusulkan bahwa pembasmian simpatisan dan anggota
PKI setelah G30S memicu kembangnya mitos Pangeran Samodro. Namun, penelitian
ini harus ditindaklanjuti sehingga terungkap hubungan erat antara G30S dan
munculnya mitos Pangeran Samodro. Gunung Kumukus terletak di tengah wilayah
PKI waktu organisasi ini menjadi sangat populer pada pertama paruh 1960-an.
Gunung Kumukus juga tempat perebutan kekuasaan antara kaum satri dan abangan
yang mempunyai pandangan hidup yang amat berbeda. Konfrontasi akibat perbedaan
kebudayaan ini lama-kelamaan diwarnai ideologi masing-masing yang radikal,
sehingga bentrokan antara kedua kubu ini memuncak waktu G30S meledak.
Bagi penduduk asli, arwah Pangeran Samodro melindungi mereka dari berbagai
ancaman. Lama-kelamaan, sesuai dengan campur tangan politik dan perkembangan
agama Islam, mitos Pangeran Samodro dihaluskan. Setelah mitos Pangeran Samodro
meluas pasca-G30S, banyak tafsiran mitos yang mulai muncul. Salah satunya adalah
tafsiran yang mengatakan bahwa Pangeran Samodro adalah pahlawan yang patut
ditelendani karena dia setia kepada negara dan sultan. Penyesuaian mitos ini
dilakukan untuk memberikan tafsiran yang menyanggah versi masyarakat penduduk

yang saat itu menolak proyek pembangunan raksasa Waduk Kedung Ombo. Proyek
ini dibiayai Bank Dunia dan pembangunan waduk ini mengharuskan penggusuran
5,000 keluarga kepala dari 35 desa yang terletak di wilayah genangan air. Setelah
Orde Baru, mitos Pangeran Samodro berubah lagi dan disesuaikan dengan agama
Islam. Pangeran Samodro dihubungkan dengan garis darah biru Kerajaan Demak dan
tafsiran baru ini menyatakan bahwa dia dididik oleh Sunan Kalijaga. Akan tetapi,
penyesuaian mitos ini hanya dilakukan untuk kepentingan bisnis ziarah yang
meningkat di seluruh Jawa.

DAFTAR ISI
Halaman Pengesehan......................................................................................................i
Halaman Persembahan...................................................................................................ii
Kata Pengantar..............................................................................................................iii
Abstract........................................................................................................................iv
Abstrak..........................................................................................................................v
Daftar Isi........................................................................................................................vi
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................................7
1.5 Metode Penelitian.....................................................................................................8
BAB II: LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Mitos...........................................................................................................9
2.2 Mitos dan kebatinan dalam konteks sejarah Indonesia..........................................11
2.3 Ketertindasan, munculnya mitos dan kembangnya gerakan kebatinan..................13
2.4 Kajian Pustaka........................................................................................................16
ix
BAB III: PEMBAHASAN
3.1 Bagaimana ritual seks muncul di tengah kalangan Islam......................................19
3.2 Pangeran dengan Banyak Versi.............................................................................24
3.3 Tahun 1960-an: G30S dan titik tolak munculnya mitos Pangeran Samodro.........27
3.4 Tahun 1980-an: Waduk Kedung Ombo dan munculnya versi resmi dari Order
Baru.............................................................................................................................32
3.5 Tahun 1990-an: Kembangnya tafsiran yang lebih Islami......................................37
BAB IV: PENUTUP
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................41
4.2 Saran.......................................................................................................................44
Daftar Pustaka.............................................................................................................46

BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak sekali cerita di Jawa yang menggambarkan bahwa pemenuhan harapan orang
Kejawen tidak cukup hanya dengan bekerja dan bersembahyang. Ada upaya lain
yang harus mereka lakukan. Upaya tersebut adalah ritual, yang dilaksanakan
masyarakat sesuai dengan kepercayaan mereka terhadap berbagai mitos yang
berkembang.1 Dengan mengadakan upacara-upacara tertentu, orang Jawa tradisionil
atau Kejawen memunuhi kebutuhan spiritualnya. Bisa dikatakan bahwa orang
tradisionil Jawa tidak dapat memisahkan mitos dari kehidupan mereka, baik mitos
yang diciptakan masyarakat pribumi maupun mitos yang dibawah ke Jawa oleh
pengaruh peradaban India masa yang lalu.
Kendatipun penelitian ini menaruh perhatian pada mitos, namun naskah ini bertujuan
untuk menelusuri sejarah sosial dan politik masyarakat di sebuah wilayah di Jawa
Tengah dimana sebuah mitos tumbuh subur. Karena mitos adalah sebuah cerita yang
dengan sengaja melambangkan gagasan-gagasan tertentu, maka dengan mitos bisa
kita melihat pandangan masyarakat terhadap sejarah.
1 Dr. Purwadi, M. Hum, “Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan
Lokal”, Pustaka Pelajar, 2005. Buku ini menguraikan penggunaan dan makna
berbagai upacara dan mitos yang berkembang di Jawa Tengah.Sebuah mitos yang menarik perhatian penelitian ini adalah mitos yang terus menyebar
dari mulut ke mulut dan diyakini tak sedikit orang Jawa, yaitu mitos Pangeran
Samodro yang muncul di Gunung Kumukus, Desa Pendem, Kecamatan Sumber
Lawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Seperti yang akan dikemukakan dalam
penelitian ini, munculnya mitos Gunung Kumukus dalam perhatian masyarakat
adalah gejala perubahan besar-besaran yang mereka alami.
Secara geografis, Gunung Kumukus lebih patut dijuluki sebagai bukit karena
ketinggiannya hanya 300 meter. Di puncak bukit ini terletak makam Pangeran
Samodro dan kekasih sekaligus ibunya Dewi Ontrowulan serta tujuh makam
pengiringnya dan kudanya yang juga dianggap sebagai tempat-tempat keramat.
Peziarah berbondong-bondong berdatangan dari berbagai sudut Jawa menggunakan
angkutan umum, mobil pribadi atau sewaan. Untuk mencapai daerah ini tidak begitu
susah. Gunung Kumukus terletak 30 km sebelah utara Solo di jalan arah ke
Purwodadi. Gunung Kumukus dikelilingi ladang tebu, jagung dan singkong dimana
penduduk asli mendapatkan sebagian pemasukan mereka. Menurut pengamatan
penelitih ini dan sumber-sumber lainnya, sebagian besar pemasukan masyarakat
(khususnya penghuni baru) diambil dari perekonomian yang berkembang akibat
kedatangan ribuan pengunjung setiap bulan.
Selain tempat-tempat keramat yang menyediakan santapan rohani, ada pula warungwarung
lampu gelap yang menyediakan santapan berahi. Dilihat sepintas lalu
Kumukus lebih mirip lokalisasi Kalijodo di Jakarta, dan warung-warung tersebut yang dibangun sembarangan hampir menghilangkan kesan sakral di gunung itu. Untuk
mencapai puncak Gunung Kumukus bangunan lokalisasi harus dilintasi dan disudutsudut
gelap pekerjaan seks komersial memberanikan diri menawarkan jasa. Suara
karoake terdengar dari warung-warung dan rombongan laki-laki juga bergabung
untuk menghabiskan waktu dan melirik para peziarah perempuan.
Menurut mitos, Pangeran Samodro adalah pelarian dari Kerajaan Majapahit masa
jatuhnya pada tahun Masehi 1478 dan berdirinya Kerajaan Demak. Menjelang
runtuhnya Kerajaan Majapahit, banyak kerabat putra-putra raja yang melarikan diri
keluar dari istana. Penembahan Jimbun, alias Raden Patah, sultan Demak dan putra
raja Majapahit terakhir dari lahir rahim, merebutkan kekuasaan dan mengusir para
penganut agama Hindu.2 Konon, Pangeran Samodro muncul saat masa kekuasaan
Hindu runtuh di Jawa.
Tokoh Pangeran Samodro diyakini sebagai seorang yang bijaksana, pecinta damai,
serta mempunyai kekuasaan yang sangat besar akibat pertapaannya di daerah Gunung
Kumukus, dimana dia juga dimakamkan dengan kekasi sekaligus ibunya, Dewi
Ontrowulan. Makam suami-istri tersebut setiap Jumat Pon dan Jumat Kliwon sangat
ramai dikunjungi ribuan peziarah yang ngalap berkah di beberapa tempat sakral di
Kumukus, termasuk liang lahat suami-istri, sendang Ontrowulan, makam-makam
pengiringnya serta makam kudanya. Kebanyakan peziarah dipengaruhi kepercayaan
magis religius yang kental dalam sebagian masyarakat Kejawen.
2 Prof. Dr. Slamet Muljana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara”, LKIS, 2005. 21-22Salah satu hal yang merumitkan serta memupuk penelitian tentang latar belakang
mitos Pangeran Samodro adalah munculnya beberapa versi dan penafsiran yang
saling menyanggah. Sebagaimana umumnya tempat-tempat ziarah lainnya, tumbuh
subur aneka versi mitos di kawasan makam Pangeran Samodro. Munculnya
keanekaragaman versi mitos Pangeran Samodro menjadi subyek yang pokok
penelitian ini, karena dalam versi masing-masing bisa ditemukan lambang-lambang
yang menggambarkan pikiran masyarakat terhadap kenyataan mereka. Tafsiran mitos
Pangeran Samodro menjadi polemik karena berbagai kepentingan bercampur-baur
untuk mengayomi kepentingannya sendiri, khususnya pendapatan dari bisnis peziarah
serta jasa Pekarjaan Seks Komersial yang begitu besar menguntungkan. Dalam
segala versi mitos Pangeran Samodro muncul beberapa kontradiksi. Misalnya,
bagaimana pelacuran bisa ditoleransi di sekitar makam tokoh yang dikeramatkan
karena pengetahuannya tentang Islam yang sangat besar? Entah untuk memperkuat
daya tarik Gunung Kumukus, pemerintah daerah juga mengatakan dalam selembar
brosur yang beredar bahwa berziarah ke makam Pangeran Samodro sesuai dengan
ajaran Islam.
Para peziarah percaya bahwa bila mereka mengunjungi tempat-tempat sakral di
Gunung Kumukus untuk melaksakan ritual-ritual tertentu, maka cita-cita mereka akan
cepat dikabulkan. Kekuataan mitos Pangeran Samodro tampak dilihat di ribuan
ziarahwan yang berdatangan dari berbagai segi, mulai dari Jawa Barat sampai ke Jawa
Timur.
Mitos tersebut menonjol karena sebagian besar peziarah yang ngalap berkah di
makam Pangeran Samodro melakukan hubungan seks dengan jenis lawannya.Menurut salah satu penafsiran mitos, para peziarah harus bersetubuhan dengan
pasangan yang bukan suami atau istrinya. Di satu sisi, daya tarik Gunung Kumukus
bisa ditemukan dalam mitos Pangeran Samodro yang begitu menjajikan; di sisi lain,
daya tarik Kumukus bisa juga terdapat pada lokalisasinya yang tersemar atau
terbungkus dalam unsur-unsur ritual seks yang dianggap sakral.
Apa yang menimbulkan keyakinan terhadap mitos seperti yang ditemukan di Gunung
Kumukus? Ada teori yang mengusulkan bahwa mitos tumbuh subur dalam waktu
krisis. Indonesia telah mengalami krisis besar-besaran seperti yang melanda
masyarakat saat Perang Dunia Kedua, Perang Kemerdekaan serta ketegangan
berikutnya yang mendesak Jawa sehingga memuncak pada pembantaian massal
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965-66.
Dengan alasan-alasan yang belum jelas dan akan ditelitih disini, mitos Pangeran
Samodro meluas setelah Peristiwa G30S dan pembasmian anggota dan simpatisan
PKI di Jawa Tengah. Gunung Kumukus adalah daerah yang pada desawarsa 50-an
dan 60-an bekas PKI. Menurut beberapa sumber pembantaian massal juga terjadi
disekitarnya. Penafsiran mitos yang lebih Islami juga muncul setelah G30S
sebagaimana timbul penafsiran mitos yang menonjolkan gagasan-gagasan Pancasila
saat zaman Order Baru. Seperti yang akan dikemukakan di sini, pemerintah
menciptakan versi mitos yang baru, meskipun itu bertantangan dengan mitos yang
sudah diyakini masyarakat.
Mitos dan sejarah mencampur-baur di Kumukus sehingga cerita yang muncul di
kawasan itu menjadi kisah yang penuh kontradiksi dan gagasan yang berlawanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, ada beberapa
pertanyaan yang muncul. Berikut adalah:
a) Mengapa Pangeran Samodro dikeramatkan dan dianggap penting bagi peziarah,
sementara nama Pangeran Samodro tidak muncul dalam silsilah Kerajaan Majapahit
maupun Kerajaan Demak?
b) Apa yang melatarbelakangi aneka tafsiran mitos Pangeran Samodro yang
tampaknya saling menyanggah?
c) Bagaimana ritual yang memperbolehkan seks secara bebas tumbuh subur di tengah
masyarakat Jawa yang sekarang lebih santri?
d) Apa yang melatarbelakangi dan memicu munculnya ritual seks yang dalam
kenyataannya bertantangan dengan norma-norma susila masyarakat sekitar?
e) Apakah ada hubungan antara munculnya ritual seks dengan kejadiannya krisis PKI
dan perang saudara berikutnya tahun 1960an?

1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini
a) ingin mengetahui alasan mengapa Pangeran Samodro dianggap penting bagi
peziarah, sementara tokoh tersebut sebenarnya tidak muncul dalam silsilah Kerajaan
Majapahit maupun di naskah-naskah kuno lainnya seperti Babad Tanah Jawi.
b) ingin mengetahui apa yang di belakang aneka versi mitos Pangeran Samodro.
c) ingin mengetahui alasan mengapa ritual seks bisa tumbuh subur di tengah-tengah
masyarakat santri.
d) ingin mengetahui latar belakang munculnya ritual seks yang bertentangan dengan
norma kesusilaan masyarakat Jawa.
e) untuk mencari hubungan antara munculnya ritual seks dengan kejadian krisis PKI
pada tahun 1960an, dan penyebab lainnya yang mengetengahkan perhatian
masyarakat pada mitos Pangeran Samodro.

1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini bisa dijadikan sebagai tambahan informasi bagi
pengamat yang ingin mengetahui hubungan antara kembangnya mitos dan sejarah
sosial masyarakat di Jawa. Penelitian ini juga mengandung manfaat pribadi, yaitu
memperdalam pengertian penulis terhadap makna berbagai mitos yang berkembang di
Jawa Tengah, dan untuk menelusuri titik-titik bersejarah yang bisa memicu
kembangnya mitos-mitos.

1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dan diskriptif analitik. Kedua metode tersebut
berusaha mencari data sebanyak-banyaknya yang ditemukan di lapangan, kemudian
ditinjau dari beberapa teori yang berdiri mengenai hubungan antara mitos dan sejarah.
Penelitian ini juga memanfaatkan kajian sejarah Jawa Tengah yang diterbit dalam
beberapa buku yang disebutkan dalam catatan kaki serta daftar pustaka. 
BAB II.
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Mitos
Mitos adalah sarana masyarakat kuno untuk menemukan kebenaran dalam
kehidupannya. Mitos diiringi pelaksanaan upacara religius yang menempatkan
manusia di dalam waktu dan ajang sakral. 3 Maka dalam upacara religius, manusia
memulihkan kembali dimensi sakral dari keadaannya yang profan, dan memberikan
aneka pelajaran tentang tingkah laku para dewa-dewi yang semestinya melandani
sikap manusia.
Mitos dianggap benar karena itu mujarab dan berpengaruh bagi masyarakat, bukan
karena mitos tersebut memberikan fakta-fakta. Kebenaran mitos terwujud jika si
pelaku melaksanakan ritual-ritual tertentu. Hanya dengan upacara si pelaku bisa
menarik makna dari berbagai mitos yang berkembang. Seandainya mitos tidak bisa
lagi memberikan penjelasan yang mendalam tentang kehidupan manusia, mitos itu
akan gagal dan lenyap. Akan tetapi, bila mitos terus mendesak manusia untuk
mengubah pikiran dan tingkah lakunya, maka mitos itu dianggap benar. Antara lain,
fungsi mitos adalah memperpanjang harapan manusia yang mengalami kekerasan,
ketertindasan dan ketakutan. Mitos adalah pemandu yang dapat memberikan saran
untuk bagaimana manusia seharusnya bertindak.
3 Karen Armstrong, ‘A Short History of Myth’, Canon Gate Book, 2005. 4-7
Dalam zaman modern kini, khususnya dalam pemikiran modern dunia Barat,
penemuan kebenaran lebih diandalkan oleh pengetahuan profan yaitu logis dan
rasionalisme. Mitos telah diapinggirkan sebagai ‘dongeng’ serta dianggap sesuatu
yang tidak benar dan tidak berarti. Pengetahuan rasionalis, menurut pemikiran
modern, adalah jalan satu-satunya untuk menemukan kebenaran. Akan tetapi, mitos
menggunakan pengukuran kebenaran yang berbeda dan tidak pantas dibandingkan
dengan pembuktian yang digunakan ilmiah sains. Mitos lebih tertarik pada penafsiran
makna sesuatu peristiwa yang terjadi, bukan pada pertanyaan mengapa, bagaimana
atau apakah peristiwa benar-benar itu terjadi. Dengan dimikian, pengetahuan ilmiah
yang dilintasi logis tak pantas dinomorsatukan karena mitos sama pentingnya dengan
pendekatan rasionalis.
Menurut Marcea Eliade, manusia modern sama sekali tidak dapat menghapuskan
seluruh masa lampaunya karena dia hasil produksi dari masa lampau.4 Bagi Eliade,
manusia modern menerima berbagai warisan kuno, termasuk ‘warisan spiritual’, yang
terus hidup dalam pikiran manusia dan muncul dan berkembang dalam berbagai
bentuk pada masyarakat modern sekarang. Salah satu bentuk pikiran arkais adalah
mitos.
4 P.S. Hary Susanto, “Mitos Dalam Pemikiran Mircea Eliade”, Penerbit Kanisius,
1987, 99 - 100.

2.2. Mitos dan kebatinan dalam Konteks Sejarah Indonesia
Di Indonesia, mitos masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, baik
masyarakat di pedesaan maupun di daerah perkotaan. Oleh karena itu, sub-bab ini
memaparkan kajian bagaimana mitos mewarnai pandangan hidup orang Jawa
terhadap kenyataan mereka, supaya pelaksanaan upacara di Kumukus bisa
dihubungkan dengan kepercayaan terhadap mitos umumnya.
Mitos diabadikan dalam berbagai kesenian Jawa, khususnya lakon wayang yang
masih digemari sebagain besar masyarakat di pedesaan. Mitos-mitos mengambil
inspirasinya dari kitab Mahabharata dan Ramanaya, dimana kehidupan manusia
dilihat sebagai pertarungan atau pertempuran antara kekacauan (keedanan) dan
keselarasan. Dalam syair epik Mahabharata, keedanan digambarkan kubu Kurawa
yang melambangkan penyimpangan kesatria dari segala ajaran dewa-dewi.
Sebaliknya, kubu Pandawa menggambarkan sifat-sifat halus yang semestinya diacui
manusia yang sesungguhnya merupakan titisan dewa-dewi. Hanya dengan kekalahan
Kurawa dalam pertempuran dhasyat di medan Kurukshetra keselarasan jagat besar
bisa dipulihkan dari keedanan. Daya tarik mitos Mahabharata yang diceritakan dalam
bentuk lakon wayang bisa ditemukan dalam adegan-adegannya yang mencerminkan
atau membayangkan hidup manusia yang nyata. Andai kata, wayang dengan terang
mempertunjukan soal-soal eksistensi manusia, akan tetapi membiarkan penontonuntuk memilih sendiri apa yang mereka harus lakukan.5 Menurut Franz Magnis-
Suseno, wayang memberikan ajaran tanpa mengajari si penonton. Baginya, alasan
kenapa mitos Mahabharata jauh lebih tersohor di Indonesia adalah karena segala
tokoh-tokoh dalam epik itu, baik dari kubu Pandawa maupun di kubu Kurawa, terjepit
dalam soal-soal moral yang justru tiada jawaban yang benar atau salah.6 Menurut
Magnis-Suseno, wayang hanya membuka kemungkinan-kemungkinan tindakan
manusiawi, namun berat tanggung-jawab harus dipikul si pelaku. Karena
Mahabharata tidak membagi semuanya dalam yang buruk dan yang baik, maka
misteri eksistensi manusia digarisbawahkan.
Mengingatkan kekuatan mitos Mahabharata, tak ayal epik itu dalam bentuk lakon
wayang dipergunakan dalam berbagai ritual Jawa, termasuk ritual selematan dan
ruwatan. Pengetahuannya dan penggunaanya merupakan tujuan dari ngelmu kejawen
yang telah tumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun.
Upacara-upacara tersebut dilaksanakan untuk mengadakan keselarasan antara
makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah
sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan
supranatural dan penuh dengan hal-hal yang sangat misterius; sedangkan
mikrokosmos adalah sikap dan pandangan terhadap dunia nyata. Tujuan manusia
adalah menyatukan kedua dunia tersebut sehingga keselarasan terwujud.7 Menurut
kajian Neils Mulder, jika jagat gedeh (makrokosmos) dan jagat kecil (mikrokosmos)
5 Franz Magnis-Suseno, “Wayang dan Panggilan Manusia”. P.T. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. 1991. 4-5.
6 Magnis-Suseno, ibid. 18-19
7 Niels Mulder, “Mysticism in Java, Ideology in Indonesia”, The Pepin Press,
Singapore, 1998. 29-31.teratur sehingga keselarasan tercapai, maka manusia masuk dengan zaman mas,
dimana ratu adil memulihkan kemakmuran kepada masyarakat yang mengalami
kesengsaraan. Sebaliknya, jika pemimpin hanya terpukau pada kekuasaan dan
kepentingannya diri sendiri dan tidak peduli pada kesejahterahan masyarakat, giliran
sejarah cakra manggilingan akan putar ke kala yang penuh keedanan. Hanyalah ratu
adil yang diberikan wahyu bisa menyelamatkan masyarakat dari penderitaan.

2.3 Ketertindasan, munculnya mitos dan berkembangnya gerakan kebatinan
Seperti yang ditinjau di sub-bab 2.2, mitos mewarnai pandangan hidup sebagain besar
orang Jawa. Harus juga disebutkan bahwa mitos yang berkembang di Jawa tidak
muncul dalam kekosongan (vacuum). Ada pelbagai hal yang memicu serta
melanggengkan mitos. Salah satunya adalah ketertindasan.
Telah dikaji hubungan erat antara mitos ratu adil dan gelombang-gelombang gerakan
anti-kolonialisme. Di Jawa Barat, misalnya, mitos ratu adil sangat diyakini
masyarakat yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Mitos ratu adil dipergunakan
masyarakat untuk meraih semangat pemberontak yang berjuang mengguling
pemerintah Belanda. Kartodirdjo dalam kajiannya mengenai latar belakang
Pemberontakan Banten dan gerakan millenarian pada tahun 1888 mengusulkan
bahwa mitos ratu adil sangat berpengaruh bagi masyarakat dan mitos tersebut
berkembang dari masyarakat yang telah mengalami ketertindasan dan ketidakadilan.8
8 Sartono Kartodirjdo, “The Peasant’s Revolt in Banten in 1888: Its Conditions,
Course and Sequel -- A Case Study of Social Movements in Indonesia.” SGravenhage-
Martinus Nijhoff, 1966. Hal 141-48
Menurut pengajian Kartodirdjo akan sejarah anti-kolonialisme, sedikitnya 13 gerakan
millenarian yang telah berkembang di Jawa selama penjajahan Belanda.
Ratu adil merupakan pemimpin masyarakat sehingga tercapai kedamaian dan
kesejahteraan. Dia adalah tokoh yang hidup yang diberikan wahyu dan direstui para
dewa-dewi untuk memimpin masyarakat.
Di Jawa Tengah, mitos-mitos dan kepercayaan mistis juga berpengaruh dan
dimanfaatkan waktu Perang Kemerdekaan pada tahun 1948. Saat itu, para penghuni
pedesaan membentuk Pasukan Gerilya Desa, atau Pager Desa. Sebagaian besar Pager
Desa di Kabupaten Sragen dan Boyolali bertapa dan bersemedi di makam Prabu
Brawijaya di Gunung Lawu. Menurut keyakinan yang berkembang saat itu, Prabu
Brawijaya (alias Sunan Lawu) bisa memberikan keamanan, kemakmuran serta
kesakten bagi siapapun yang berani memperkuat kepercayaannya.9 Sampai sekarang
masih banyak peziarah yang berdatangan ke makam Sunan Lawu untuk mewujudkan
keinginan mereka.
Usai Kemerdekaan, gerakan kebatinan berkembang di seluruh Jawa. Menurut
Koentjaraningrat, kembangnya gerakan kebatinan di Jawa Tengah dipicu oleh
perubahan besar-besaran yang melanda masyarakat, khususnya Perang Dunia Kedua,
Penjajahan Jepang, Perang Kemerdekaan, dan keadaan yang tidak mengenal
ketentuan dasawarsa-dasawarsa pasca-Kemerdekaan.10 Dia membantah kesimpulan
antropolog Niels Mulder yang mengusulkan bahwa kembangnya gerakan kebatinan
9 Soejatno, “Revolution and Sosial Tension in Surakarta 1945-1950”, Indonesia, April
1977. Cornell University. diterjemahkan oleh Benedict Anderson. Hal. 103
10 Koentjaraningrat, “Javanese Culture”, Oxford University Press, 1985. Hal. 402.
diakibatkan kalangan Islam/santri yang menekan kaum abangan untuk menaati ajaranajaran
Islam yang dianggap lebih murnih.
Bagi Koentjaraningrat, gerakan kebatinan adalah jawaban dari berbagai kalangan di
masyarakat Jawa yang memerlukan kehidupan spiritual yang lebih mendalam. Lamakelamaan
para penganut gerakan kebatinan membentuk kelompok-kelompok kecil
kemudian membangun paguyuban nasional di Semarang pada tahun 1956. Pada
tahun 1964, ada sedikitnya 360 aliran kecil yang terdaftar di Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat (Pakem) dalam Department Agama. Jawa Tengah,
khususnya Solo, merupakan pusat gerakan kebatinan, dimana 177 dari 217 aliran
kecil terdapat. Namum, setelah G30S pada tahun 1965, banyak aliran kecil yang
dibubarkan karena mereka dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia.11
Menurut Kartodirjo, ada perbedaan besar-besaran antara gerakan kebatinan dan
gerakan millenarian, meskipun keduanya dilintasi kepercayaan mistis. Dibandingkan
dengan aliran-aliran kebatinan yang juga diwarnai keyakinan mistis, gerakan
millenarian atau gerakan ratu adil mempunyai tujuan yang profan. Andai kata, para
pengikut gerakan millenarian tidak peduli dengan soal-soal akhirat, melainkan
masalah-masalah duniawi yang sedang melanda masyarakat.
Landasan teori yang dikemukakan di atas bertujuan untuk lebih mengetahui hubungan
antara mitos dan sejarah -- dua hal yang dalam berbagai bentuk bertumpangtindih di
Indonesia. Telah dikemukakan bahwa mitos, jika begitu kuat sehingga memengaruhi
11 Koentjaraningrat, ibid. 401 tindakan masyarakat, bisa mengubah arah sejarah dengan mewarnai pandangan hidup
masyarakat terhadap hidup nyata.
Dengan landasan teori yang disajikan, khususnya tentang hubungan antara
ketertindasan dan kembangnya mitos, diharapkan bahwa fenomena munculnya mitos
Pangeran Samodro bisa dijelaskan.
Harus diakui bahwa tidak semua kegiatan di Gunung Kumukus bisa dijelaskan
dengan pendekatann sosio-kultural. Adapula pengaruh ekonomik dan politik lain
yang lama-kelamaan bermain dan tersembunyi dalam hal-hal religious magis. Tujuan
para peziarah di Kumukus bersimpang-siur sehingga sukar untuk menerapkan satu
teori saja secara umum. Diharapkan bahwa pertanyaan seperti yang dikemukakan di
sub-bab 1.2 bisa dijawab dengan pendekan sosio-kultural dan analisis politik serta
ekonomik.
2.4 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai Gunung Kumukus amat terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh
M.G. Endang Sumiarni dan rekan-rekannya dari Pusat Penelitian Kependudukan di
UGM pada tahun 1999 merupakan penelitian yang terlengkap tentang demographi
penduduk Kebupaten Sragen serta diskirpisi cara-cara ritual ngalap berkah di Gunung
Kumukus. Meskipun demikian, penelitian itu tidak bermaksud untuk
mengungkapkan latar belakang munculnya mitos Pangeran Samodro. Penelitian
tersebut juga tidak menyebutkan hubungan antara perubahan mitos dan pemicupemicu
sosial, ekonomi serta politik yang menibulkan berbagai penafsiran mitos.Seperti yang akan di kemukakan di bab-bab berikutnya, penelitian ini lebih tertarik
pada faktor-faktor politik dan ekonomik yang mendorong penciptaan kemudian
kembangnya mitos Pangeran Samodro.
Penelitian ini juga tertarik pada campur tangan pemerintah mengenai penafsiran
mitos, karena hal ini merupakan usaha penguasa untuk menonjolkan gagasan negara,
khususnya ideologi Orde Baru, kepada masyarakat yang dianggap ‘kelompok
mbalelo.’12
Selain peneletian M.G. Endang Sumiarni, ada pula beberapa laporan dari media cetak
serta tayangan televisi yang memberitakan Gunung Kumukus. Akan tetapi hampir
semuanya tidak mampu memberikan penjelasan yang mendalam mengenai
kembangnya mitos tersebut.
Belum ada penelitian yang berusaha menelusuri benang merah antara kembangnya
mitos Pangeran Samodro dan munculnya teror terhadap masyarakat waktu
pembasmian simpatisan PKI.
Untuk memahami sejarah sosial politik dan perubahan struktural yang terjadi pada
tahun 1965-66, penelitian ini menggunakan berbagai referensi tentang dampaknya
Peristiwa G30S di pedesaan. Karya oleh sejarahwan Hermawan Sulistyo sangat
berfaedah untuk menggambarkan ketegangan antara kubu santri dan kubu abangan
12 Label “kelompok mbalelo” digunakan mantan President Soharto untuk masyarakat
di daerah Kabupaten Sragen dan Boyololi di Jawa Tengah yang menolak penggurusan
warga saat proyek waduk dan pembangkitan listrik Kedung Ombo dilakukan. Lihat
“Land Disputes in Indonesia, Some Perspectives”, Anton Lucas, Indonesia, SEAP.
Cornell University. April 1990. Hal. 87 yang mempunyai kebudayaan yang berlawananan dan memengaruhi keterlibatan
mereka dalam golongan masing-masing. Meskipun penelitian tersebut diletakan di
Kediri dan Jombang di Jawa Timur, maka kondisi-kondisi disana tak jauh berbeda
dengan keadaan masyarakat di Jawa Tengah. Buku-buku lainnya tentang dampak
G30S bisa dilihat dalam catatan kaki berikut. Penelitian yang dilakukan wartawan
yang bernama Stanley pada paruh pertama 1990-an sangat bermanfaat untuk naskah
ini, karena buku itu yang berjudul “Seputar Kedung Ombo” memaparkan berbagai
mitos di Kabupaten Sragen dan Boyolali dan kembangnya kembali mitos saat
penduduk di wilayah tersebut mengalami tekanan dari penguasa Order Baru.13
13 Stanley, “Seputar Kedung Ombo”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta, 1994.

III. PEMBAHASAN
3.1 Bagaimana ritual seks muncul di tengah kalangan Islam
Ada dua tanggapan terhadap ritual ngalap berkah di Gunung Kumukus. Di sisi
pemerintah dan masyarakat setempat, peziarah tidak semestinya melakukan seks
untuk mengabulkan keinginan mereka; di sisi peziarah yang berdatangan dari tempattempat
jauh seperti Indramayu dan Banyuwangi, ritual seks itu harus dilakukan.
Meskipun pemerintah tidak sepakat dengan pelaksanaan ritual seks yang dianggap
menyimpang kesusilaan umum, maka para pejabat tidak melarangnya. Sebaliknya,
mereka menutup mata mengingatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang dipanen
Dinas Pariwisata setiap tahun dari ribuan peziarah di Kumukus.
Harus disebutkan bahwa tidak semua pengunjung di Gunung Kumukus bertujuan
untuk ngalap berkah. Ada yang iseng-iseng melihat apa yang terjadi di sana, ada juga
laki-laki hidung belang yang lebih tertarik pada pelacur yang bergaul dengan peziarah
di bawah pohon-pohon dan sudut-sudut gelap di sekitar makam itu. Bagi peziarah
yang bertujuan untuk melaksanakan ritual ngalap berkah dengan syarat bersetubuhan
dengan pasangan yang bukan suami atau istrinya, mitos Pangeran Samodro begitu
kuat. Meskipun pemerintah mengeluarkan brosur yang bertujuan untuk mengabari
peziarah akan membawa pasangan dan melakukan ritual seks itu tidak pokok, versi
mitos yang jauh lebih tersohor adalah hubungan seks harus dilakukan.
Menurut hasil pemantauan peneliti ini pada malam Jumat Pon yang terletak pada
tanggal 16 Nopember, 2006, sebagian besar peziarah berdatangan dengan pasangan.
Ada pula beberapa perempuan yang datang sendirian yang telah mengadakan janji
dengan pasangannya untuk ketemu di Gunung Kumukus. Sebagain besar perempuan
berjilbab dan menutup rapat dengan busana muslimah. Salah satu peziarah
perempuan, yang tidak bersedia menyebut namanya, menempuh perjalanan selama 7
jam dengan mobil sewaan dari Jawa Barat untuk ketemu kedua kalinya dengan
dhemenane-nya. Menurut dia, temannya yang pernah berziarah ke Gunung Kumukus
memberitahu akan tentang keberhasilannya setelah dia berziarah di makam Pangeran
Samodro.
Pertanyaan yang mencolok peneliti ini saat mengunjungi Gunung Kumukus adalah
berikut: bagaimana ritual yang memperbolehkan seks bebas tumbuh subur di tengah
masyarakat Jawa yang sekarang mengalami Islamisasi? Apakah penyimpangan demi
mitos tak dianggap sebagai penyimpangan moral?
Penduduk di sekitar Gunung Kumukus sangat permisif terhadap perilaku peziarah
yang ingin bersetubuhan untuk memunuhi syarat ngalap berkah. Tak jauh dari
tempat-temapat suci terdapat bilik-bilik berdinding tipis yang disewakan kepada
pengunjung yang membutuhkannya.
Ritual yang menyiaratkan hubungan seks berdasar dari sebuah kalimat yang konon
dibicarakan Pangeran Samodro sebulum dia menghambuskan nafas terakhirnya.
Kalimat tersebut dalam bahasa Jawa adalah:  “Sing sopo duwe panjongko marang samubarang kan dikarepke bisane kelakon iku
kudu sarono pawitan temen, mantep, ati kan suci, ojo slewang-slewang, kudu
mindeng marang kan katuju, cedhakno dhemene kaya dene yen arep nakani marang
panggonane dhemenane.”14
Atau dalam Bahasa Indonesia:
“Barang siapa yang berhasrat atau punya tujuan untuk hal yang dihendaki maka untuk
mencapainya harus dengan kesungguhan, mantap, dengan hati yang suci, jangan
serong kanan/kiri, harus konsentrasi pada yang dikenhendaki, dekatkan keinginan,
seakan-akan seperti menuju ke tempat kesayangannya.”
Bagi ziarahwan yang berdatangan ke Gunung Kumukus, ungkapan demikianlah
menjadi alasan utama kenapa mereka melakukan ritual hubungan seks di kawasan
makam sang pangeran. Banyak peziarah berpendapat bahwa kata ‘dhemenan’ dalam
bahasa Jawa berarti ‘kekasih’, ‘istri simpanan’ atau ‘wanita/pria idaman lain’.
Apalagi, diyakini bahwa ritual hubungan seks lebih mujarab kalau dilakukan
sebanyak 7 kali berturut-turut setiap selapan sesuai dengan hari yang tepat seperti
Jumat Kliwon serta Jumat Pon. Sampai sekarang, versi mitos ini yang paling tersohor
dan diyakini kebanyakan ziarahwan yang berdatangan di Kabupaten Sragen, sehingga
citra Gunung Kumukus identik dengan pariwisata seks.
Pemerintah daerah membantah tafsiran mitos yang menyiaratkan ritual seks, akan
tetapi mereka tidak melalukan apa-apa untuk menghentikannya. Menurut brosur
14 Dinas Pariwisata Sragen, ibid.
Dinas Pariwisata Sragen, syarat ritual seks yang diyakini banyak orang hanyalah salah
tafsiran. Menurut pemerintah, kata “dhemenan” sebenarnya adalah “keingingan yang
diidamidamkan” atau “cita-cita yang inging segera wujud”.
Dengan penjelasan seperti ini, menurut versi yang diresmikan Kebupaten Sragen, inti
ziarah di Gunung Kumukus adalah berikut:
“Apabila punya kemauan, cita-cita ingin dicapai atau rintangan yang menghalangi
jalan untuk mencapai cita-cita...harus dilakakukan dengan hati yang suci dan yang
penuh cinta dan kesayangan. Dengan dimikianlah terbukah jalan kemudahan untuk
mecapai cita-cita dan tujuan tersebut dengan mudah.”
Mengapa tafsiran pemerintah yang tidak menyiaratkan ritual seks tidak diyakini
sebagian besar peziarah? Ada kemungkinan bahwa usaha pemerintah untuk
menyosialisasikan cara ngalap berkah lain yang tidak menyiaratkan persetubuhan
hanya dilalukan setengah hati. Ada juga kemungkinan bahwa para peziarah didorong
oleh keyakinan sinkretis yang memeluk agama Islam sambil memeluk unsur-unsur
pra-Islam.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan di Universitas Gadjah
Mada mengusulkan bahwa praktek ritual seks dilintasi kepercayaan pra-Islam yaitu
Syiwa-Hindu yang tidak keberatan mengenai hubungan ritual seks antara lingam dan
yoni. Hubungan dua kelamin ini merupkan lambang kesuburan bumi kerajaan.
Simbol-simbol seksualitas dianggap sebagai tumbal atau jimat yang bisa menjamin
berhasilnya panen dan kemakmuran kerajaan.15 Dalam agama Hindu, misalnya,
terdapat aliran Bhairawa yang mengutamakan ritual seks.
Selain pelaksanaan ritual seks di Kumukus, ada beberapa ritual yang menujukan
peninggalan dari kepercayaan agama Syiwa-Hindu. Salah satunya adalah ritual
penyembahyangan kuda Pangeran Samodro yang juga dimakamkan sekitar 20 meter
dari makam sang pangeran. Dalam tanggal-tanggal yang tepat seperti Jumat Pon atau
Jumat Kliwon, terlihat peziarah yang bersujud sambil menangis di depan makam kuda
Pangeran Samodro. Mengapa kudapun dikeramatkan di Gunung Kumukus adalah
pertanyaan yang mencolok, dan menujukan kepercayaan yang sinkretis. Dalam
kepercayaan Syiwa-Budha, kuda adalah hewan keramat, seperti yang digambarkan
mitos Uchaisrawa dimana kuda dipergunakan dalam Pengadukan Samodra.
Apa yang menimbulkan ritual seks di Kumukus adalah kemungkinan bahwa masih
ada sia-sia kepercayaan Hindu dalam pikiran pengunjung meskipun itu tidak disadari
para peziarah. Ajaran-ajaran luhur masih bisa berpengaruh meskipun para peziarah
sepintas lalu kelihatan beragama Islam.
Ritual ngalap berkah dan hubugan seks berikutnya lama-kelamaan menimbulkan
kecenderungan toleransi terhadap pelacuran. Lokalisasi yang berkembang seiring
dengan popularitasnya Pangeran Samodro membuahkan aroma mesum yang sangat
menyengat bagi pendatang. Bisa dikatakan bahwa adanya ritual seks di Kumukus
mengayomi pelacuran yang dengan terbuka dilakukan di kawasan tersebut, sehingga
15 M.G. Endang Sumiarni, Arief Wardhana, Ana Nadhya Abrar, “Sex dan Ritual di
Gunung Kemukus”, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Madah,
1999. 13-15
para ziarahwan kesulitan untuk memisahkan pengunjung yang bertujuan untuk
melakukan ritual sakral dan pengunjung yang bertujuan untuk kenikmatan sesaat yang
profan. Salah satu peziarah dari Solo, misalnya, mengakui bahwa dia keliruh memilih
pasangannya di Kumukus karena selelah mereka berhubungan seks terkuak
perempuan itu adalah ‘wanita yang nakal.’

3.2 Pangeran dengan Banyak Versi
Menelusuri asal-usul sebuah mitos memang susah dilakukan, apalagi kalau mitos
tersebut tidak meninggal jejak-jejak dalam pustaka dan hanya diceritakan secara lisan.
Meskipun demikian, penelitian ini berusuha untuk menelusuri sejarah kembangnya
mitos Pangeran Somodro dengan mengunakan wawancara dengan beberapa nara
sumber penting di kawasan Gunung Kumukus dan membandingkan sejarah lisan itu
dengan apa yang tercatat dalam beberapa buku dan kajian mengenai sejarah Jawa
Tengah.
Kajian ini menemukan beberapa versi mitos Pangeran Samodro yang diyakini
masyarakat. Versi-versi ini dapat dipilah sebagai berikut: a) versi penduduk asli, b)
versi pemintah, c) versi peziarah. Penelitian ini menemukan bahwa versi-versi
tersebut berkembang dengan waktu yang berbeda dan mengandung nilai-nilai yang
jauh berbeda dan saling bertentangan. Identitas Pangeran Samodro dan jati dirinya
yang semestinya ditelandani masyarakat berubah-ubah menurut zaman ke zaman dan
mitos ini disesuaikan dengan gagasan-gagasan tertentu. Dengan demikian, dalam
wacana tentang siapa saja Pangeran Samodro tersingkap sejarah sosial masyarakat.
Siapa sebenarnya Pangeran Samodro? Menurut versi yang diterangkan Pemerintah
Sragen, Pangeran Samodro adalah tokoh penting yang mendukung berdirinya
Kerajaan Demak. Dia beragama Islam, dan dididik oleh Sunan Kalijaga. Namun,
versi yang diyakini masyarakat asli adalah dia pelarian dari Kerajaan Majapahit dan
dalam hal ini dia tetap teguh pada agama Syiwa-Hindu. Dalam versi masyarakat
setempat, Pangeran Samodro melarikan diri dari serbuan balatentara Kerajaan Demak
dan dia melambangkan kesengsaraan serta ketertindasan masyarakat yang mengalami
perubahan besar-besaran setelah Kerajaan Majapahit runtuh.16 Dalam tafsiran mitos
ini yang saling menyanggah tersingkap gagasan-gagasan yang membayangkan
kenyataan historis. Dalam versi pemerintah misalnya, Pangeran Samodro memihak
pada penguasa. Namum, versi penduduk asli menunjukan bahwa sang pangeran
menghindari penaklukan penguasa.
Pangeran Samodro ternyata tokoh dalam sebuah mitos yang asal-usulnya sulit
diuraikan. Dia dianggap sebagai titisan dari kaum bangsawan namun penilitian ini
tidak menemukan namanya dalam silsilah resmi Kerajaan Majapahit ataupun
Kerajaan Demak. Buku-buku dan naskah-naskah kuno seperti ‘Babad Tanah Jawi’
16 Tema ini mirip beberapa kisah lainnya di Jawa Tengah, dimana terdapat mitosmitos
yang entah mengapa menggunakan runtuhnya Kerajaan Majapahit sebagai titik
tolak kembangnya mitos. Misalnya, runtuhnya Majapahit dianggap sebagai tonggak
mitos Ki Ajar Daka dan Ki Ajar Windusana yang tumbuh subur di lereng Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu. Kedua tokoh tersebut adalah pelarian dari serbuan
Kerajaan Demak yang membawah wayang sakti ke pedesaan di lereng gunung
tersebut. Setiap tanggal 15 Sapar dan Lebaran hari kedua masyarakat di Kedakan dan
Windusabrang mempertunjukan wayang-wayang sakral yang kunon peninggalan dari
Kerajaan Majapahit.
ternyata tidak memberitakan nama Pangeran Samodro. Bila Pangeran Samodro
benar-benar begitu penting dalam sejarah zaman Majapahit dan Demak seperti yang
diyakini peziarah dan pemerintah daerah, maka nama pangeran itu akan muncul
dalam silsilah kedua kerajaan. Saat soal ini dipertanyakan kepada juru kunci di
Gunung Kumukus, penjelasan mereka adalah karena dia diusir dari istana atas
perselingkuhannya dengan selir ayahandanya dan dia telah dianggap buronan, maka
nama Pangeran Samodro sejak lama dihapuskan dalam silsilah resmi kerajaan.
Cerita tentang Pangeran Samodro semestinya tidak dikaji sebagai peristiwa nyata
yang mempunyai kronologis sejarah yang masuk akal. Bahkan, mitos bisa
mengambil inspirasi dari sejarah. Akan tetapi mustahil membuktikan kebenaran
sebuah mitos dengan cara logis. Apalagi, mempertanyakan kenyataan atau kebenaran
Pangeran Samodro tak begitu penting bagi peziarah. Malah Pangeran Samodro itu
dianggap nyata karena dia diyakini masyarakat dan kekuatannya terrasa dengan
segala keinginan peziarah yang telah dia kabulkan. Seperti mitos-mitos lainnya,
pengukuran kebernaran terdapat dari derajat kepercaayan seseorang -- kalau percaya
memang itu benar.

3.3 Tahun 1960-an: G30S dan titik tolak munculnya mitos Pangeran Samodro
Dengan alasan-alasan yang sukar diketahui, mitos Pangeran Samodro meluas ke
berbagai sudut pulau Jawa setelah Peristiwa G30S dan pembantaian simpatisan PKI
pada tahun 1965-66. Menurut beberapa informan, para pengunjung ziarahwan
semakin ramai menjelang dan setelah krisis itu. Apa sebabnya? Apakah ada
hubungan antara G30S dan kembangnya mitos Pangeran Samodro?
Bagi masyarakat di kawasan Gunung Kumukus, Pangeran Samodro dianggap sebagai
cikal-bikal Desa Kebumen. Hal ini adalah salah-satu alasan mengapa makamnya
dikeratmakan. Keyakininan ini tidak jauh berbeda dengan kepercayaan masyarakat
lain di Jawa yang mempunyai situs-situs suci. Menurut Koentjaraningrat, Agami Jawi
atau Kejawen kental dengan kepercayaan kepada tokoh-tokoh yang dikeramatkan,
baik kepada walisongo, cikal-bikal desa, maupun kepada dukun yang pandai di
pedesaan meskipun dia tidak begitu terkenal di luar wilayahnya. Lama-kelamaan
makam mereka dijadikan pepunden dan tempat-tempat yang dianggap suci. Di
seluruh Jawa terdapat makam-makam penjahat, penari dan pelacur yang dianggap
mempunyai kesaktian dan dikunjungi masyarakat yang ingin menyampaikan
keinginan mereka.17 Menurut Koenjaraningrat, masyarakat Jawa percaya bahwa
arwah leluhur menempat di pasareyan leluhur, dimana arwah ini bisa di panggil untuk
mengatasi soal-soal batin dan duniawi. Makam-makam keremat ini adalah tempat
17 Koentjaraningrat, ibid., p. 331-332
dimana masyarakat bisa berkomunikasi secara simbolis dengan arwah-arwah
leluhurnya.18
Sebelum makam Pangeran Samodro menjadi begitu terkenal di Jawa, memang tempat
keramat itu mempunyai identitas yang lokal, seperti pasareyan leluhur yang bisa
membantu masyarakat sekitar. Menurut Pak Syamsuri, juru kunci tertua di Kumukus,
makam Pangeran Samodro dulu hanya diketahui sedikit orang yang tinggal di
pedesaan itu. Lama-kelamaan, kabar mengenai kesaktian makam Pangeran Samodro
menyebar sehingga tempat itu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai sudut Jawa.
Setelah mitos Pangeran Samodro ‘mendunia’, identitas daerah itu berubah dan
tumbuh subur beberapa versi mitos.
Pada tahap awalnya, sosok Pangeran Samodro lebih sesuai dengan kepercayaan
Kejawen. Menurut versi asli mitos yang diyakini masyarakat di kawasan Gunung
Kumukus, Pangeran Samodro tidak menyerah kepada Islam waktu berdirinya
Kerajaan Mataram. Bahkan, Pangeran Samodro adalah putra tertua istri Prabu
Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Pangeran Samodro jatu cinta kepada Dewi
Ontrowulan, salah seorang selir ayahnya. Waktu perselingkungan itu diketahui Prabu
Brawijaya, kedua pasang itu diusir dari istana. Pada suatu hari, Pangeran Samodro
jatuh sakit dan kemudian wafat. Dewi Ontrowulan, saat mendapatkan kabar buruk
tentang wafat kekasihnya, juga meninggal dunia akibat kesedihannya yang sangat
mengganggu jiwanya. Jeneza Dewi Ontrowulan juga di makamkan oleh masyarakat
di dekat tempat kekasihnya. Menurut salah satu nara sumber, Pangeran Samodro
18 Koentjaraningrat, ibid., p. 341
dimitoskan karena dia membela Gunung Kumukus dari serbuan Kerajaan Demak dan
agama Islam, dan dia mengabadi kebudayaan Jawa abangan.19
Versi penduduk yang menganggap Pangeran Samodro sebagai pelarian dari serbuan
Demak menggambarkan seorang yang tertindas dan menghindari gagasan penguasa.
Bagi masyarakat setempat, Pangeran Samodro dianggap sebagai pamong atau
pelindung yang bisa membela mereka dari berbagai ancaman. Waktu seorang
penduduk berusia atas 50an ditanya apakah mereka mengalami atau menyaksikan
pembasmian simpatisan PKI di daerah Gunung Kumukus, dia menjawab bahwa
Gunung Kumukus bebas dari horor itu karena “dilindungi Eyang Samodro.”
Penelitian mengenai kembangnya mitos Pangeran Samodro tidak lengkap kalau tidak
ditinjau dari sisi sejarah politik masyarakat asli yang menghuni di kawasan Gunung
Kumukus di Kebupaten Sragen.
Bukan rahasia lagi bahwa Gunung Kumukus adalah bekas basis Partai Komunis
Indonesia (PKI), dan sebagian besar masyarakat disana terlibat dalam golongan
tersebut, baik secara aktif maupun simpatisan yang pasif. Para petani dan buruh di
pabrik gula, PKI dan ideologinya sangat menjanjikan. Pada tahun 1965-66,
masyarakat di Kebupaten Sragen, sebagaimana tempat-tempat lainnya di Jawa
Tengah, mengalami horor yang sampai kini masih tersembunyi dalam sejarah yang
telah bertahun-tahun dibungkam dan karena itu masih sulit diungkapkan. Label
“kampung hitam” melekat pada daerah Gunung Kumukus dan ada beberapa warga
19 Wawancara dengan Mbah Syamsuri, juru kunci tertua di G. Kumukus, 30
November 2006.yang dibunuh massal oleh aparat keamanan setelah G30S dan dikubur di kaki gunung
itu.
Menjelang Peristiwa G30S pada tahun 1965, Kabupaten Sragen, serupa tempattempat
miskin lainnya di Jawa Tengah yang tergantung pada hasil dari ladang tebu,
mengalami ketegangan antara kubu santri yang kemudian terlibat dalam ronda-ronda
NU dan kubu abangan, yang cenderung terlibat dalam gerakan PKI. Telah dibuktikan
bahwa ketegangan antar kubu bermunculan di beberapa kalangan sebelum G30S
memicu pembasmian simpatisan PKI.20 Ketegangan yang disertai kekerasan yang
horizontal antar masyarakat dipicu berbagai faktor, terutama adalah campur tangan
Angkatan Darat, krisis ekonomi, kemiskinan dan ideologi revolusioner yang melanda
dan mendesak masyarakat.
Menurut kajian Hermawan Sulistyo, ekonomi di Indonesia pada paruh pertama 1960-
an merosot dengan cepat. Inflasi melonjak dari dua digit menjadi tiga digit, sehingga
pada tahun 1965 mencapai 650 persen.21 Keadaan ekonomi ini yang sangat buruk
mendesak pemerintah untuk mengadakan kebijakan yang tidak disukai banyak
kalangan, yaitu ‘senering’, atau pemotongan nilai mata uang sehingga Rp 1,000
menjadi Rp 1. Merosotnya perekonomian makro menimbulkan tekanan yang sangat
berat bagi petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana perkebunan tebu
diandalkan sebagai produk ekspor utama pemerintah. Pada 1960-65 tingkat inflasi
begitu tinggi sehingga petani tebu sendiri bahkan tidak mampu membeli gula yang
mereka memproduksinya, dan biaya hidup meningkat 3 atau 4 kalinya di atas upah
20 Hermawan Sulistyo, “Palu Arit di Ladang Tebuh”, Kepustakaan Populer Gramedia,
2000. 121-122
21 Sulistyo, Ibid. 42-43.
standar. Keadaan yang sangat buruk ini mendesak para patani untuk mempraktekkan
reformasi hak milik tanah di seluruh Jawa Timor dan Jawa Tengah. Akan tetapi,
program ini gagal sehingga bentrokan yang terjadi bukanlah bentrokan marksis akan
tetapi bentrokan horizontal antar tingkat kelas yang sejajar.
Mbah Syamsuri, juru kunci tertua di Gunung Kumukus, mengatakan bahwa mitos
Pangeran Samodro menjadi populer setelah G30S, waktu dampak krisis ekonomi
meluas dan menjadi krisis dan bentrokan budaya antara kubu abangan yang
cenderung mengikuti PKI dan kubu santri yang terlibat dalam ronda-ronda NU.
Menurut dia, Gunung Kumukus tidak lepas dari horor itu. Mbah Syamsuri melihat
dengan mata kepalanya sendiri pembasmian 9 warga oleh aparat keamanan. Mayatmayat
tersangka anggota PKI itu dikubur massal di sebuah lubang di dekat Gunung
Kumukus.
Kalau mitos Pangeran Samodro ditinjau kembali dengan kacamata sejarah PKI, maka
kita melihat bahwa Pangeran Samodro adalah pelarian dari balatentara Islam dari
Kerajaan Demak dan dia membela daerah Kumukus dari serbuan prajurit Islam.
Tahun 1960-an Gunung Kumukus diserbu lagi oleh prajurit Islam, yaitu para ronda
pemuda NU yang terlibat dalam pembasmian masyarakat non-santri yang dituduh
sebagai anggota PKI. Sangat menarik bahwa tema bentrokan kebudayaan antara
santri dan abangan kembali menghantui Gunung Kumukus. Garis lintang sejajar ini
antara mitos dan sejarah mungkin salah satu alasan mengapa Pangeran Samodro
kembali diketengahkan dalam perhatian penduduk.

3.4 Tahun 80an: Waduk Kedung Ombo dan Munculnya versi resmi dari Orde
Baru
Pada desawarsa-desawarsa setelah G30S mitos Pangeran Somodro makin menyebar
dari mulut ke mulut sehingga pemukim di Jawa Barat atau Jawa Timur
mengetahuinya. Tahun demi tahun peziarah di Gunung Kumukus berdatangan dalam
rangka meraih berkah dan kekayaan dengan melakukan hubungan intim dengan
pasangannya di tempat makam Pangeran Samodro. Kedatangan ribuan peziarah di
Kumukus setiap Jumat Pon dan Juman Kliwon merupakan bisnis yang sangat
menguntungkan bagi warga sekitar tempat keramat itu. Pada tahun 1983, bisnis
peziarah di Kumukus diambil ahli Dinas Pariwisata dan sampai kini Gunung
Kumukus dipromosikan sebagai “tempat pariwisata”.
Pengambilan ahli Gunung Kumukus oleh pemerintah pada tahun 1983 merupakan
titik yang bersejarah, karena sebelumnya wilayah di Gunung Kumukus sengaja
diabaikan pemerintah karena hubungannya dengan PKI.22 Selain pengambilan bisnis
peziarah, masuknya pemerintah di tempat yang dikerematkan penduduk asli juga
termasuk perhitungan politik. Tempat makam Pangeran Samodro adalah tempat
gabungan banyak orang, dan gabungan ramai itu setiap selapan justru
memprihatinkan pemerintah karena daerah itu terkenal sebagai ex-basis PKI.
22 Mislanya, jalan Purwodadi-Solo tahun 1960-an adalah jalur PKI dan banyak desa
disampingnya adalah simpatisan gerakan terlarang itu. Oleh karena itu,
pengembangan dan perbaikan jalan itu tidak dilakukan selama Order Baru. Hanya
setelah reformasi pengaspalan jalan Purwodadi-Solo dilakukan pemerintah. Menurut
beberapa penyetir dari Solo yang diwawancari peneliti ini, pada tahun ahkir paruh
1970-an jalan tersebut dihendarikan para penyetir karena banyak perampok dan
penjahat yang menggangu perjananan mereka.
Masuknya pemerintah mengakibatkan penafsiran dan penghalusan mitos penduduk
yang dianggap terlibat dalam organisasi yang terlarang. Tafsiran resmi ini lebih
sesuai dengan gagasan-gagasan Order Baru yang mengandung nilai-nilai Pancasila
dan berusaha untuk membersikan daerah itu dari unsur-unsur terlarang, termasuk
tafsiran oleh penduduk asli sebelumnya yang dianggap simpatisan PKI.
Menurut versi mitos yang diresmikan Pemerintah Daerah Sragen, Pangeran Samodro
adalah pahlawan yang patut dicontoh. Menurut pemerintah, nilai-nilai yang
diteladani dari Pangeran Samodro adalah: a) Ketaqwaan kepada Tuhan Maha Esa; b)
menghargai orang tua sebagai perantara lahir manusia ke dunia; c) selalu taat dan
setia kepada negara; d) tidak takut menghadapi kesukaran, penderitaan dalam
menunaikan tugas; e) seorang tokoh pendamai serta pemersatu bangsa dan selalu
bertanggung jawab. 23 Dengan tafsiran ini, pemerintah mengusulkan bahwa makam
bangsawan yang berjasa atas kepentingan negara patut dikunjungi ziarawan. Dengan
penafsiran pemerintah ini mengenai apa yang nilai-nilai yang ditelandani Pangeran
Samodro, gagasan Pancalisa tercium.
Pemberian tafsiran resmi juga seiring dengan konfrontasi antara masyarakat di
Kumukus dan aparat Order Baru. Pada tahun 1983, persis dengan tahun pengambilan
ahli Gunung Kumukus oleh Dinas Pariwisata, President Suharto mengumumkan
rencana Jakarta untuk membangun proyek raksasa Waduk Kedung Ombo yang akan
menenggalamkan 35 desa di Kabupaten Boyolali dan Sragen yang terletak di daerah
genangan air. Proyek ini dibiayai Bank Dunia dengan dana sebesar USD 156 juta dan
bertujuan untuk mengirigasikan 87,000 ladang yang seluas 59,000 hektar persegi.
23 “Obyek Wisata Ziarah - Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus”, brosur
yang dimuat dan diedarkan Dinas Pariwisata, Sragen.Namun, untuk mengadakan proyek ini, sekitar 5,000 kepala keluarga yang menetap di
daerah genangan waduk harus ditransmigrasikan ke Pulau Bengkulu. Presiden
Suharto menggunakan kekuasaan militernya untuk memaksa penduduk untuk
menerima ganti rugi sebesar Rp 250 per meter persegi.
Tempat makam Pangeran Samodro juga kena genangan air waduk ini, sehingga
sampai kini Gunung Kumukus ini terletak di tengah waduk. Peziarah yang
berdatangan saat musim hujan harus menyeberang air dengan menggunakan perahu,
dan bukit itu serupa sebuah pulau di tengah laut.
Penggusuran tanah dimulai tahun 1984 dan meskipun ada penghuni yang menyetujui
ganti runti, sebagian besar yang menolak program pemerintah. Bagi “kaum mbalelo”
ini, program transmigrasi adalah pilihan yang lebih buruk. Malah, mereka menuntut
pemerintah untuk memberikan tanah di tepi waduk yang senilai dan seluas tanah yang
pernah mereka miliki sebelumnya. Menurut mereka, tanah merupakan identitas
masyarakat dan kepindahan mereka bakal menyebabkan terputusnya hubungan
kekerabatan yang berada dalam suatu ikatan tradisional yang selama ini dipegang
mereka secara kuat.
Bentrokan penguasa Order Baru dan penduduk di daerah Gunung Kumukus
memuncak tahun 1989, menjelang penggenengan waduk. Ratusan tentara ditugaskan
untuk membentuk pos-pos keamanan di tempat genangan air dan mereka bersenjata
lengkap. Mereka juga menakut-nakuti penghuni yang tidak berkenan pindah
sebagaimana mereka diperintah Presiden Suharto. Label PKI juga kembali
menghantui masyarakat yang menolak keinginan Orde Baru di daerah Gunung
Kumukus. Dalam salah satu rapat, Presiden Suharto mengatakan bahwa “sebagai
orang Jawa Tengah yang pernah menjadi Komandan Divisi dan Komandan Resimen
di Solo, saya tahu persis daerah tersebut dulu adalah basis PKI.”24 Apalagi, penduduk
yang menolak program pemerintah dipersilakan melaporkan kepada koramil dan KTP
mereka langsung dicap “Organisasi Terlarang” atau “Ex-Tapol”. Mereka dituduh
anti-pembangunan dan anti-Pancasila, meskipun mereka hanya menuntut dan
mempertahankan hak-haknya. Menurut evaluasi yang dilakukan Bank Dunia pada
tahun 2000 mengenai Waduk Kedung Ombo, Bank Dunia mengakui bahwa mereka
mengabaikan geo-politics dan sejarah PKI di daerah genangan air waduk. Oleh
karena itu, Bank Dunia tidak menyangka bahwa hal itu dijadikan alasan pemerintah
Orde Baru untuk membebaskan daerah itu dari penduduknya tanpa perlawanan
masyarakat.25
Penggusuran yang dilakukan pemerintah demi pembangunan Waduk Kedung Ombo
adalah penggusuran terbesar dalam sejarah modern Indonesia.26 Tentu saja penduduk
yang kena proyek ini mengalami gangguan tatanan tradisional, dan hal ini
mengakibatkan kembali suburnya berbagai mitologi, termasuk mitos ‘Eyang
Samodro.’ Untuk menenangkan hati terhadap desakan pemerintah dan trauma dari
kehilangan arah akibat penggusuran dan kehilangan tanah, para penduduk di sekitar
Kumukus mengadukan permintaan mereka kepada Eyang Samodro dengan
melaksanakan ritual-ritual tertentu.
24 Stanley, “Seputar Kedung Ombo”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta, 1994. 147.
25 “Recent Experiences with Involuntary Resettlement -- Indonesia, Kedung Ombo”,
Operations Evaluation Department, World Bank. Serial No. SOC155. The World
Commission on Dams, 2000. 1-2
26 Lucas, 81.
Menurut kajian Stanley mulai tahun 1990, mitos Pangeran Samodro menjadi populer
lagi bagi penduduk desa-desa yang kena genangan waduk. Bagi mereka, Pangeran
Samodro adalah pelindung masyarakat dari berbagai ancaman, termasuk tekanan
psikologis serta fisik dari pemerintah. Tokoh Pangeran Somodro adalah sosok yang
melambangkan kesengsaraan penduduk atas kewenangwenangan penguasa.
Mengingatkan kekuasaan mitos, tak ayal pemerintah mengambil ahli makam
Pengeran Samodro dan melanggengkan tafsiran baru yang lebih sesuai dengan
gagasan-gagasan Pancasila.

3.4 Tahun 1990 dan kembangnya tafsiran yang lebih Islami
Pada tengah tahun 1990-an mitos Pangeran Samodro kembali menjadi terkenal, dan
memuncak menjelang Krismon dan kemunduran Presiden Suharto yang disertai
kekerasan dan kerusuhan di berbagai tempat Jawa.
Apa yang mencolok dalam mitos Pangeran Samodro adalah janjinya yang lebih
terfokus pada pemenuhan harapan-harapan duniawi. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan tempat-tampat lain seperti Gunung Kawi di Jawa Timur yang diyakini bisa
mengabulkan keinginan para peziarah. Sebagian besar peziarah di Kumukus
menempuh perjalanan yang berjam-jam dan melakukan ritual seks yang mengandung
risiko terhadap kesehatan demi sebuah mitos yang menjanjikan rezeki dan kekayaan.
Bisa dikatakan bahwa keinginan materialis justru memengaruhi peziarah yang
memburu rezeki. Menurut Pak Hasto, salah satu juru kunci di Gunung Kumukus,
peziarah di makam Pangeran Samodro memuncak menjelang mendesaknya krismon
pada tahun 1997. Pak Hasto, yang bekerja sebagai perantara di makam itu, harus
bertanya apa yang diinginkan para peziarah dan sebagain besar jawaban mereka
berkaitan dengan sukses dalam pekerjaanya di kantor atau di perusahaan. Pak Hasto
juga mengatakan bahwa menjelang undian Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB) tahun 1990an, peziarah di Kumukus sangat ramai berburuh angka yang
menjajikan. Banyak sekali peziarah yang berburuh angka menjelang malam undian
sehingga malam yang paling ramai di Kumukus adalah malam itu (malam Rabu).
Setelah SDSB dibatalkan peziarah kembali berdatangan malam Jumat.Meningkatnya jumlah peziarah saat krismon menunjukan bahwa keprihatinan
terhadap perubahan besar-besaran mendorong sebagain masyarakat untuk mencari
harapan dengan mitos. Mitos kerap muncul seiring dengan krisis, karena yang
dimitoskan tak jauh dari keingingan, ketakutan, serta kepusingan masyarakat dalam
kurun waktu tertentu. Mitos tumbuh subur dalam waktu kekacauan dinama hilangnya
kendali rasionalitas masyarakat, dan dimana masyarakat ingin memulihkan diri ke
waktu yang lepas dari teror dan ketertindasan. Seperti desawarsa-desawarsa
sebelumnya, mitos Pangeran Samodro menjawab keprihatinan peziarah terhadap
keadaan ekonomi dan politik menjelang mundurnya Presiden Suharto.
Sebagaimana yang terjadi sebelumnya, mitos Pangeran Samodro berubah lagi pada
tahun 1990-an. Sesuai dengan bangkitnya partai-partai Islam dan gerakan-gerakan
yang mendorong masyarakat untuk menaati ajaran-ajaran Islam, sosok Pangeran
Samodro berubah. Penyesuaian mitos Pangeran Samodro adalah berikut:
Menurut versi yang dilanggengkan pemerintah daerah sekarang, Pangeran Samodro
tidak ikut melarikan diri sebagaimana bangsawan-bangsawan lainnya dari Kerajaan
Majapahit. Malah, dia memeluk agama Islam dan dia dididik oleh Sunan Kalijaga
sehingga dia mencapai pengetahuan Islam yang sangat dalam. Lama-kelamaan dia
menjadi utusan Raden Patah yang kemudian memerintah Pangeran Samodro untuk
mencari dan menemui saudara-saudaranya yang telah melarikan diri untuk
memberitahui bahwa mereka harus mengakui Kerajaan Demak dan tidak lagi
memusuhinya. Dengan tugas itu yang sangat berat, Pangeran Samodro harus
menempuh perjalanan bertahun-tahun yang menyedihkan serta melelahkan. Kerabat
yang dia temui dan sadarkan untuk memeluk agama Islam antara lain adalah RadenGugur (Sunan Lawu Ke-2, atau anak putra Prabu Bawijaya). Setelah Pangeran
Samodro berhasil melakukan tugasnya, dia wafat dalam perjalanannya ke Demak, dan
dia dimakamkan dengan kekasih sekaligus ibunya, Dewi Ontrowulan, di Gunung
Kumukus.27
Meskipun versi ini tidak masuk akal dan kebenarannya tidak bisa dibuktikan, maka
versi ini mempunyai inti yang menarik dan sangat berbeda dibandingkan dengan
versi-versi sebelumnya. Versi ini yang lebih Islami sengaja dilakukan supaya
menghindari kritik dari kalangan Islam yang semakin kuat. Ada kemungkinan besar
bahwa hal ini dilakukan setelah Front Pembela Islam mengancam menggerebek
lokalisasi dan makam Pangeran Samodro karena keduanya dianggap musrik. Namun,
pemerintah daerah tidak mampu menutup lokalisasi di Kumukus karena selain makam
keramat warung-warung lampu gelap adalah daya tarik tempat itu.
Versi baru ini jauh berbeda dengan versi yang diyakini penduduk yang memeluk
kepercayaan yang lebih cenderung pada pandangan hidup Kejawawen. Apalagi, versi
yang lebih Islami membuahkan banyak kontradiksi. Satunya adalah bagaimana ritual
seks dan pelacuran bisa ditoleransi di tengah tempat makam Pangeran Samodro yang
dikeramatkan karena pengetahuannya tentang Islam?
Mengingat bisnis ziarah yang sangat menguntungkan di Gunung Kumukus, tak ayal
kontradiksi itu tidak begitu penting bagi penduduk dan pejabat yang mengelola
27 M.G. Endang Sumiarni, Arief Wardhana, Ana Nadhya Abrar, “Sex dan Ritual di
Gunung Kemukus”, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Madah,
1999. 31-32. Versi Pemda Sragen dimuat pertama kali dalam brosur dinas pariwisata
di Keb. Sragen. Brosur ini masih beredar dan bisa dibeli di loket karcis masuk di
Gunung Kumukus.
tempat itu. Menurut laporan keuangan Kabupaten Sragen, pendapatan asli daerah
(PAD) dari penjualan karcis retribusi Gunung Kumukus pada Jumat Kliwon tahun
2004 menghasilkan Rp 160 juta, dan pada hari biasa Rp 39 juta.28 Jumlah ini
merupakan PAD yang terbesar di Kabupaten Sragen, dibandingkan dengan hasil
penjualan karcis retribusi lainnya. Dalam jumlah PAD ini belum terhitung
keuntungan dari bisnis-bisnis swasta yang berkembang di Kumukus, seperti warungwarung,
jasa ojek, penjualan karcis parkir, retribusi penitipan sepatu, penjualan sekar,
prostitusi dll. Gunung Kumukus sangat berorientasi pada pemungutan uang dari
pengunjung sehingga kesan sakral tempat itu hilang dalam sausana yang lebih serupa
pasar.
28 “Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun Anggaran 2005 atas Laporan Keuangan
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2004”. Badan Pemeriksaan Keuangan, Auditorat
Utama Keuangan Negara IV, Perwakilan III BPK-RI di Jakarta, 2005.

BAB IV: PENUTUPAN
4.1 Kesimpulan
Apakah ada hubungan antara G30S dan mitos Pangeran Samodro? Judul naskah ini
berdasar dari pernyataan Pak Syamsuri, juru kunci tertua di Gunung Kumukus.
Beliau mengatakan bahwa mitos di sana berkembang setelah peristiwa dhasyat itu
yang kemudian disertai pembantaian massal di seluruh Jawa dan Bali. Pernyataan
Pak Syamsuri itu menarik perhatian peneliti ini karena banyak teori yang telah berdiri
mengenai kembangnya mitos dalam keadaan krisis.
Dalam wacana mengenai mitos Pangeran Samodro tersingkap sejarah sosial
masyarakat di Kebupaten Sragen yang penuh kesengsaraan dan tekanan dari
penguasa. Mulai dari tahun 1960-an, daerah itu mengalami dampak krisis ekonomi
dan politik yang lama-kelamaan membuahkan konfrontasai yang menyangkut
identitas budaya. Kubu santri dan kubu abangan saling menuduh musuhnya sebagai
kaum yang bermoral lebih rendah. Pada tahun 1965 politik dan gagasan-gagasan
yang sangat radikal memicu konflik antar golongan yang amat berdarah.
Gunung Kumukus dalam mitos adalah tempat perebutan kekuasaan antara balatentara
Islam dari Kerajaan Demak dan pelarian Syiwa-Budha dari Kerajaan Majapahit.
Perebutan kekuasaan ini menjadi titik tolak kembangnya banyak mitos lokal yang
mengeramatkan tokoh-tokoh lokal. Yang menarik, dalam perebutan kekuasaan bisa
kita melihat pertandingan antara gagasan lama dan gagasan baru, dan kedua gagasan
itu selalu saling bertentangan. Jika kita meneliti tentang sejarah modern tempat
Gunung Kumukus, tema perebutan kekuasaan antara nilai-nilai abangan dan nilainilai
kaum santri juga terlihat. Penyesuaian mitos Gunung Kumukus menurut
gagasan Pancasila dan Orde Baru juga merupakan perebutan lambang-lambang
religious magis dari penduduk asli yang dianggap ‘pemberontak’. Penghalusan mitos
Pangeran Samodro pada tahun 1980-an adalah ‘pembersihan’ gagasan-gagasan lama
dan cara pemerintah untuk mengontrol rakyatnya sendiri. Kemudian, kembangnya
Islam yang lebih taat juga memicu penafsiran mitos yang lebih Islami pada tahun
1990-an dan 2000-an.
Di satu sisi, bisa ditemukan lambang-lambang yang menggambarkan wawasan
masyarakat terhadap ideologi penguasa. Di sisi lain, dalam tafsiran pemerintah juga
terlihat lambang-lambang ideologi negara yang menonjol. Penguasa ternyata
memanfaatkan mitos dan ritualnya untuk mewujudkan sesuatu yang ideal menurut
gagasan Order Baru. Seperti yang dikemukakan dalam penilitian ini, perbedaan
tafsian mitos antara pemerintah (pusat) dan penduduk asli (pinggir) merupakan
wacana mengenai sejarah dan politik yang patut dikaji. Kontradiksi-kontradiksi yang
muncul dalam segala versi mitos dan pandangan terhadap jati diri Pangeran Samodro
bisa menggambarkan pertandingan antara masyarakat yang tersinggir dan penguasa.
Mitos bisa ditark ke makna politis, dan hal ini terjadi di Kumukus.
Telah dikemukakan bahwa Pangeran Samodro dianggap sebagai tokoh yang
beragama Syiwa-Budha dan hal ini bertantangan dengan versi pemerintah sekarang
yang lebih Islami. Cerita tentang hubungan Pangeran Samodro dan Sunan Kalijaga
yang dilanggengkan pemerintah bisa dianggap sebagai usaha pemerintah untukmenghaluskan tempat ziarah tersebut yang mempunyai citra mesum yang telah
melekat. Mengingat fenomena kenaikan bisnis ziarah di Indonesia, khususnya di
makam-makam sembilan walisongo, tak heran jika tafsiran ini direkayasa pemerintah
supaya menarik sebagian bisnis itu.
Meskipun demikian, tampak daya tarik makam Pangeran Samodro tidak terdapat dari
citra Islamnya, melainkan dari mitosnya yang bernuansa seks bebas. Segala tafsiran
mitos yang saling bertentangan tidak menambah keraguan peziarah yang berburuh
rezeki di makam Pangeran Samodro dan melakukan ritual seks. Setiap Jumat Pon dan
Jumat Kliwon terdapat ribuan peziarah yang mengantre ke puncak Kumukus.
Menurut pengamatan penelitih ini, terlihat banyak pasangan dan peziarah yang
menangis tersedu-sedu sambil menyaburkran dan mengumpulkan sekar-sekar di atas
batu nisan makam. Penghalusan Gunung Kumukus, khususnya ritualnya yang
menurut banyak kalangan menyimpang kesusilaan umum, memang tidak begitu
berhasil karena sampai sekarang ritual seks masih dianggap sebagai sesuatu yang
pokok untuk mewujudkan keinginan peziarah.
Pada tahun 2000-an, meluasnya pengaruh televisi dan massa media, khususnya korankoran
yang terpukau pada SDM (seks, darah, mistis) juga memengaruhi kedatangan
peziarah ke Gunung Kumukus. Saat di wawancara, salah satu pejabat di Dinas
Pariwisata bangga menyebutkan berbagai tayangan televisi dimana Gunung Kumukus
pernah diberitakan. Tayangan televisi ini juga melaporkan citra Kumukus yang
menjadi terkenal, yaitu citra mesum yang bertahun-tahun telah melekat. Bagi
pemerintah, pengunjung yang berburu santapan rohani dan pengunjung yang
membutuhkan santapan berahi tidak jauh berbeda -- dua-duanya adalah pembeli
karcis retribusi dan konsumen di gunung sakral itu.

4.2 Saran
Penelitian ini mempergunakan mitos sebagai salah satu alat untuk menguraikan
sejarah sosial dan politik masyarakat. Pemaknaan mitos Pangeran Samodro dari
waktu ke waktu menunjukan bahwa ada gagasan-gagasan tertentu yang bermain
dibelakang penafsiran mitos. Saat berziarah ke Kumukus menjadi populer dan bisnis
dari peziarah meningkat, masuklah kepentingan ekonomi yang sampai kini
dipertahankan penduduk dan pemerintah.
Harus diakui bahwa penelitian ini hanya merupakan puncak gunung es. Banyak hal
yang semestinya diungkap mengenai mitos dan sejarah Gunung Kumukus, dan skripsi
ini hanyalah tahap awal penelitian tentang sejarah sosial masyarakat di sana.
Meskipun penelitian ini tidak menemukan bukti lainnya yang bisa memperkuat tesis
mengenai hubungan G30S dan munculnya mitos Pangeran Samodro, namun tidak
mustahil menemukan sumber-sumber lain yang bisa menguak benang merah antara
mitos dan sejarah. Menelusi sejarah sosial masyarakat di daerah Gunung Kumukus,
khususnya tentang tahun 1960-an, membutuhkan waktu dan kesabaran karena
kelangkaan keterangan pada dasawarsa itu. Ada kemungkinan besar bahwa informasi
yang pokok mengenai kasus-kasus PKI di Sragen pada tahun 1960-an bisa ditemukan
di Arsip Nasional, Kantor Pengadilan di Solo atau di Auditor Militer. Mungkin
Gunung Kumukus pernah diberitakan pada awal tahun 1970-an dalam majalahmajalah,
akan tetapi peneliti ini tidak menemukannya. Jika ada sejarahwan yang
berniat menindaklanjuti penelitian tentang hubungan antara mitos Pangeran Samodro
dan sejarah di daerah Kabupaten Sragen, maka sebaiknya dia mencari penduduk asli
yang mempunyai ingatan yang masih utuh dan bisa menceritakan masa lampau secara
jelas. Peneliti juga sebaiknya fasih bahasa Jawa selain bahasa Indonesia, karena
kebanyakan informan hanya bisa berbicara dalam bahasa Jawa.
Akhirnya, masih banyak kisah bersejarah yang bisa ditemukan di tempat-tempat
keramat seperti di Gunung Kumukus. Kisah-kisah bersejarah ini terbayang dalam
berbagai mitos yang berkembang, dimana masyarakat terpinggir menanti pengabulan
harapan dan cita-cita mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Anton Lucas, “Land Disputes in Indonesia, Some Perspectives”, Indonesia, SEAP.
Cornell University. April 1990.
Franz Magnis-Suseno, “Wayang dan Panggilan Manusia”. P.T. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Hermawan Sulistyo, “Palu Arit di Ladang Tebuh”, Kepustakaan Populer Gramedia,
2000.
Karen Armstrong, ‘A Short History of Myth’, Canon Gate Book, 2005
Koentjaraningrat, “Javanese Culture”, Oxford University Press, 1985.
M.G. Endang Sumiarni, Arief Wardhana, Ana Nadhya Abrar, “Sex dan Ritual di
Gunung Kumukus”, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Madah,
1999. 31-32.
Niels Mulder, “Mysticism in Java, Ideology in Indonesia”, The Pepin Press,
Singapore, 1998.
P.S. Hary Susanto, “Mitos Dalam Pemikiran Mircea Eliade”, Penerbit Kanisius, 1987.
Purwadi, M. Hum, “Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal”,
Pustaka Pelajar, 2005.
Sartono Kartodirjdo, “The Peasant’s Revolt in Banten in 1888: Its Conditions, Course
and Sequel -- A Case Study of Social Movements in Indonesia.” S-Gravenhage-
Martinus Nijhoff, 1966.
Slamet Muljana, “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jaw dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara”, LKIS, 2005.
Soejatno, “Revolution and Sosial Tension in Surakarta 1945-1950”, Indonesia, April
1977. Cornell University. diterjemahkan oleh Benedict Anderson.
Stanley, “Seputar Kedung Ombo”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Jakarta, 1994.
“Recent Experiences with Involuntary Resettlement -- Indonesia, Kedung Ombo”,
Operations Evaluation Department, World Bank. Serial No. SOC155. The World
Commission on Dams, 2000.
“Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun Anggaran 2005 atas Laporan Keuangan
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2004”. Badan Pemeriksaan Keuangan, Auditorat
Utama Keuangan Negara IV, Perwakilan III BPK-RI di Jakarta, 2005.