Perjalanan Hidup Pramoedya

Pramoedya Ananta toer, anak sulung bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Ayahnya yang lahir pada 5 Januari 1896 berasal dari kalangan yang dekat dengan agama Islam, seperti misalnya jelas dari nama orang tuanya, Imam Badjoeri dan Sabariyah. Ayah Mastoer menjadi naib di sebuah desa di Kediri: mula-mula di Plosoklaten, Pare, kemudian di Ngadiluwih.
Sedangkan ibunya adalah anak penghulu Rembang yang lahir pada tahun 1907 dari selirnya, setelah melahirkan anak, selirnya itu diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Anak selir itu bernama, Oemi Saidah, diasuh dalam keluarga Haji Ibrahim dan Hazizah. Saidah lulus HIS pada 1922, namun tidak mendapat izin melanjutkan studi ke Van Deventersscholl (sekolah kerajinan untuk gadis) di Semarang seperti yang diharapkannya, sebab sudah bertunangan dengan guru Toer yang tidak bersedia menunda perkawinan pak Toer yang umurnya baru 15 tahun.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, jawa tengah 6 Februari 1925 . Pram begitu mencintai ibunya, menurut Pram ibunya dianggap sebagai “wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus, dikemudian hari menjadi ukuran Pram dalam menilai setiap wanita’ dan yang tidak kalah penting Pram juga mencintai neneknya, ibu kandung ibunya. Maka tidak heran jika banyak sekali dalam novel-novel Pram menampilkan tokoh perempuan.
Walaupun ayahnya menolak untuk menyekolahkan Pram, tetapi Pram masih sempat belajar kejuruan radio di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi dan lain-lain. Namun pada hari ujian akhir terdengar kabar yang mengejutkan, pesawat terbang jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour, dengan demikian Perang Dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik .
Pada 2 Maret 1942 tentara Jepang yang mendarat di pantai utara Jawa telah mencapai Blora. Tentara Belanda melarikan diri tanpa perlawanan. Pada awalnya tentara Jepang disambut dengan meriah oleh penduduk setempat. Karena pemerintahan Belanda tiba-tiba menghilang, terjadi semacam anarki, took-toko Cina dirampas dan serdadu Jepang ikut mencuri barang-barang penduduk, dan melampiaskan hawa nafsunya. Namun dalam waktu beberapa hari tentara Jepang mengembalikan ketertiban umum dengan keras .
Pada awal penjajahan Jepang, Pak Toer dan keluarganya ditimpa musibah Ibu Oemi Saidah yang lama mengidap penyakit TBC sejak beberapa bulan semakin parah dan meninggal pada 3 Juni 1942.Satu hari kemudian disusul oleh anak bungsunya, Soesanti, yang baru berumur tujuh bulan. Pada saat peristiwa tersebut Pram tidak berada di Blora. Kematian ibunya bagi Pram merupakan kehilangan yang paling menyedihkan .
Pengalaman dengan orang disekitarnya pada waktu ibunya meninggal dan hal-hal yang terjadi sesudahnya menjadikan Pram kehilangan kepercayaan pada sesama manusia, dan Pram merasa tidak betah lagi di Blora. Pada saat ziarah ke kuburan ibunya, Pram pamit kepada almarhumah ibunya dan Pram berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik.

B. Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis

Atas nasehat ayahnya, bersama adiknya, Pram berangkat ke Jakarta. Pram tinggal bersama pamannya. Pamannya juga yang mendaftarkan Pram ke sekolah taman Siswa, khusus Taman Dewasa (SLP) yang diakui oleh pemerintah Jepang. Pram cepat menyesuaikan bahasa Indonesianya, yang pada awalnya kejawa-jawaan, dengan logat Melayu .
Berkat ijazah mengetiknya, Pram diterima di kantor berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Di tempat kerja pandangan Pram semakin luas. Pram sempat membaca berbagai macam informasi yang masuk redaksi. Keuntungan terbesar Pram adalah kesempatan memanfaat buku rujukan yang ada di ruang redaksi. Ensiklopedia belanda yang terkenal dengan nama Winkler Prins membuka matanya terhadap dunia ilmu pengetahuan .
Namun, hasil yang Pram Ananta Toer peroleh tidak memuaskannya. Karena tidak mempunyai ijazah sekolah menengah, Pram tidak dapat kenaikan pangkat. Pekerjaan di kantor semakin membosankan dan Pram mulai sadar bahwa pekerjaan baru sebagai stenograf sebab Pram merasa menempuh karier sebagai hamba, bukan sebagai manusia bebas. Apalagi saat Pram diminta untuk mengerjakan sebagai stenograf buku baru Mohammad Yamin, mengenai Gajah Mada, Pram semakin memberontak karena merasa diperlakukan sebagai kuli. Sehingga Pram beberapa kali minta berhenti, namun tidak pernah dikabulkan. Pram lalu meninggalkan tugas tanpa seizin Jepang, dan hal tersebut dianggap sebagai dosa yang hanya bisa ditebus dengan jiwa, Pram kemudian melarikan diri lewat Blora , kemudian di Kediri tepatnya di desa Ngadiluwih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tetapi hal tesebut tidak serta merta diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Pram kemudian pergi ke Ngadiluwih, di sana Pram mendengar kabar tentang kemerdekaan Indonesia. Lewat Kediri dan Surabaya Pram pulang ke Blora; di sana Pram menyaksikan pertunjukan drama tentang penjajahan Jepang yang berakhir dengan proklamasi 17 Agustus. Namun, Pram tidak lama tinggal di Blora, tergesa-tergesa Pram berangkat ke Jakarta, di mana Pram menyaksikan Jakarta dalam keadaan kacau; tentara Jepang praktis masih berkuasa; tentara Sekutu mulai tiba di Indonesia untuk mempertahankan ketertiban umum dan melucuti senjata tentara Jepang. Tetapi pemuda Indonesia yang curiga dan tidak sabar lagi mulai ‘bersiap’ untuk mempertahankan tata tertib dalam kampung masing-masing .
Pram juga ikut menggambungkan diri dengan pertahanan kampung. Ikut menyerbu tangsi marine Jepang, sampai akhirnya terkepung oleh tentara Australia. Pada Oktober 1945, Pram menggambungkan diri dengan BKR (Badan keamanan Rakjat) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Banteng Taruna yang kemudian menjadi inti divisi Siliwangi, sebagai prajurit II. Dalam waktu cepat meningkat jadi sersan mayor .
Pada 1 januari 1947 Pram berhenti dengan resmi dari tentara. Pram pada masih tinggal di Cikampek, menuggu gaji yang sudah 7 bulan tidak dibayar. Tetapi gaji tersebut tidak pernah dibayarkan. Dengan tanpa uang Pram menuju ke Jakarta dalam keadaan kelaparan, dan naik kereta api tanpa membeli karcis. Pada bulan yang sama .
Pada waktu upacara di Lapangan Merdeka, Pram hadiri bersama tunangannya seorang gadis yang Pram lihat pada tahun 1946 di Cikampek. Pram melamar gadis tersebut ketika masih berada di dalam penjara, meskipun dengan ‘bersyarat’, namun lamaran itu diterima. Setelah pembebasannya, Pram mengunjungi rumah gadis tersebut kemudian tinggal di sana. Pernikahan dilangsungkan karena Pram merasa sanggup membina masa depan, sebab namanya mulai terkenal, cerita pendeknya makin laris, lagi pula Pram juga memenangkan hadiah pertama pada novel Perburuan, yang besarnya seribu rupiah, dalam sayembara Balai Pustaka. Perkawinannya dilangsungkan pada 13 Januari 1950. Namun akhirnya mereka bercerai, setelah sekian lama membina rumah tangga .
Pada pekan buku Gunung Agung, September 1954, Pram berkenalan dengan Maimunah, anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkenal Mohammad Husni Thamrin. Dengan cepat Pram berhubungan akrab. Kemudian Pram menikah dengan Maimunah, wanita yang membawa kebahagiaan dan harapan baru dalam hidup Pram. Maimunah ternyata berani menempuh hidup yang sangat bergejolak dengan Pram, Maimunah tabah membela dan memperjuangkan suami dan keluarganya, juga dalam kemalangan dan kesusahan yang paling berat yang menimpa Pram, dan sampai sekarang ibu Maimunah setia mendampingi Pram .
Pengalaman pertama dari segi perkembangan kepengarannya dihayati oleh Pram sebagai sesuatu yang penting dan juga positif. Pada masa suram tersebut ada undangan dari Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk memberi ceramah pada Simposium untu HUT ke-5, yang diadakan pada 5 Desember 1954. Undangan itu disampaikan kepada Pram oleh ketua senat Bagi Pram sebagai orang tidak mengenyam pendidikan, tugas itu merupakan ujian berat, namun Pram mendapat bantuan moril karena ibu Maimunah pada kesempatan itu mendampinginya. Tampilnya cukup berhasil dan memperkuat rasa percaya diri Pram .
Kehidupan Pram dengan pernikahan yang kedua ini membaik. Setelah bulan mereka mendapat rumah yang lumayan, anak pertama hasil pernikahan keduapun lahir, disusul dengan anak yang kedua, dan yang penting juga kontak social, terutama dengan dunia kepengarangan makin berkembang. Orang yang paling sering mengunjunginya ialah A.S. Dharta, penulis marxis, yang aktif dalam Lekra sejak didirikan (1950). Pram mulai membuka mata bagi pentingnya politik, juga dalam dunia seni.
Peristiwa yang amat menentukan bagi Pram berlangsung pada Juli 1956. Pram mendapat kunjungan wakil kedutaan Cina yang membawa undangan menghadiri peringatan hari wafat kedua puluh Lu Hsun, pengarang revolusi Cina yang terkenal. Dengan persetujuan dr. Prijono, menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, Pram menerima baik undangan itu. Perjalanan di Cina pada Oktober 1956 menimbulkan kesadaran baru bagi jiwanya .
Karena perjalanan tersebut orang mulai menuduhnya memihak komunis, bahkan telah menjadi komunis. Semangat baru yang diperoleh berkat pengalaman di Cina mendorongnya menjadi aktif di Indonesia, ketika berita mengenai konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin mulai tersiar, Pram menulis karangan yang mendukung politik presiden, dalam Bintang Merah 24 Febuari 1957, yaitu organ resmi PKI. Kemudian bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pram mengorganisasikan kelompok seniman, lalu pada Maret 1957, mereka bertiga memimpin delegasi besar menghadap presiden, menyatakan dukungan bagi konsepsi tersebut .
Sejak itu, Pram mulai terkenal aktif di bidang politik. Pram diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Petera (Pengarahan Tenaga Rakyat). Dalam kapasitas itu Pram melakukan peninjauan kerja bakti di Banten; kerja bakti itu bertujuan ‘memperbaiki jalan yang melintang dari utara sampai selatan Karesidenan Banten, sepanjang 65 km’.
Sebelumnya, Pram sudah aktif di bidang lain; Pram ikut mendirikan Panitia Nasional untuk konfrensi pengarang asia afrika, dengan sokongan sebagai instansi pemerintah. Pada 7 September 1958, delegasi yang dipimpin oleh Pram berangkat ke Tasjkent, tempat konfrensi diadakan; nampaknya Pram memainkan peran yang cukup penting dalam penyusunan resolusi dan rencana kerjanya. Seusai konfrensi itu, Pram mengunjungi berbagai tempat di Uni Sovyet dan Cina, kemudian pulang lewat ibu kota Myanmar, Rangoon, di mana Pram bentrok dengan staf Kedutaan R.I. yang menurut Pram tidak bersedia membantu dan melayaninya dengan baik.
Sekembalinya di Indonesia Pram untuk pertama kalinya dilibatkan secara resmi dalam Lekra: dalam kongres nasional Lekra yang di adakan di Solo antara 22 dan 28 Januari 1959, Pram terpilih sebagai anggota pimpinan pleno. Sejak itu namanya tidak lepas lagi dari organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI. Hal itu terutama tampak dalam pembentukan Fron Nasional di mana PKI dengan resmi diikutsertakan dan dalam tekanan makin kuat pada konsep Nasakom. Kongres Solo membawa juga pergeseran fundamental dalam garis policy Lekra. Pada kongres itu pimpinan PKI, Nyoto, dalam cermahnya dengan judul ‘Revolusi adalah Kembang Api’ mengemukakan bahwa politik harus menjadi pedoman di segala bidang kehidupan, termasuk kebudayaan. Pada tahun berikutnya, Lekra mengambil alih semboyan ‘Politik adalah Panglima’. Nyoto sebagai dasar keyakinan budayanya, dan Pram menjadi penyambung lidah ideologi kebudayaan, antara lain lewat kegiatannya sebagai redaktur Lentera, lampiran kebudayaan harian Bintang Timur .
Tetapi sebelum sempat memainkan peran terkemuka di bidang kebudayaan, khususnya lesusastraan revolusioner, Pram masih harus mengalami penderitaan yang pernah Pram sebut sebagai siksaan terberat dalam hidupnya, yaitu penahanan dalam penjara selama sembilan bulan disebabkan oleh terbitnya bukunya Hoa Kiau di Indonesia. Buku yang keluar pada Maret 1960 itu merupakan suntingan kembali sembilan surat terbuka yang di terbitkan Pram dalam Berita Minggu pada masa November 1959-an Februari 1960. surat-surat itu ditulis’ sejak terjadinya gegeran Hoakiau di Indonesia .
Sejak 1956, makin banyak terdengar suara anti Cina di Indonesia; latar belakang sikap itu bermacam-macam: ada anasir rasialis yang secara laten selalu hadir, ada aspek ekonomi, sebab orang Cina makin mengasai kehidupan ekonomi. Khususnya setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berkaitan dengan itu ada juga perasaan agama, khususnya di kalangan pedagang muslim yang merasa terancam oleh persaingan Cina. Menteri Perdagangan Indonesia pada 14 Mei 1959 mengumumkan keputusan bahwa izin berdagang bagi pedagang kecil asing yang bekerja di luar kota-kota besar mulai 31 Desember 1959 tidak akan diperpanjang lagi. Keputusan tersebut menimbulkan situasi yang cukup tegang; di Indonesia sendiri terjadi bentrokan antara kaum kiri, khususnya PKI yang membela Cina dengan partai Islam dan golongan lain yang disokong tentara. Pimpinan angkatan darat dalam situasi ini ini melihat kemungkinan memecahkan kekuasaan ekonomi orang Cina, PKI dapat dihantam. Presiden Soekarno menghadapi situasi bagai buah simalakama: memusuhi RRC dan mengecewakan komunis dalam negeri yang begitu loyal mendukung politik Manipol-nya, atau menghapuskan keputusan Menteri perdagangan yang berarti konflik dengan tentara dan masyarakat Islam. Soekarno tidak dapat tidak memilih alternative pertama, pada tanggal 16 November dikeluarkan peraturan presiden no. 10 yang mewajibkan semua pedagang dan usahawan kecil Cina di daerah pedesaan menutup usahanya per 1 Januari 1960. Lagi pula di Pulau Jawa Barat tentara cukup keras memaksa implementasi peraturan itu: orang Cina tidak hanya dipaksa menutup tokonya, melainkan juga dilarang tinggal di daerah itu dan bahkan dengan terpaksa mulai di boyong ke kota-kota .
Pram dalam Hoa Kiau di Indonesia memihak orang Cina tanpa syarat. Namun, bukunya bukan pertama-tama polemik politik. Pram menganggap cukup mengambil pendirian demi tujuan atau ideology politik; Pram mendalami sejarah masalah orang Cina di Indonesia dengan memanfaatkan banyak sumber ilmiah dan lain-lain. Dengan panjang lebar Pram menguraikan aspek-aspek positif kehadiran mereka di Indonesia sejak berabad-abad dan sumbangan sangat berarti diberikannya pada ekonomi dan kehidupan social dan budaya. Pram tidak lupa menekankan peran banyak orang Cina sebagai kawan rakyat Indonesia dalam perlawanan menentang penjajah asing. Pram mengakui bahwa ada juga aspek negatif; di antara orang Cina dulu dan sekarang di Indonesia. Memang ada orang Cina dengan mentalitas kolonial dan imprealis, tetapi ‘kejahatan ada pada setiap bangsa, menurut pertimbangan kesejarahan Pram, aspek positif kehadiran Cina di Indonesia jauh melebihi aspek negatifnya. Yang paling penting: peraturan dan tindakan pemerintah membahayakan persahabatan rakyat Indonesia dengan rakyat Cina.
Dalam uraiannya Pram menyatakan aspek kepartaian atau politik praktis tidak menonjol. Alasan terpenting Pram dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, demi perikemanusiaan, kedua, demi keadilan orang Cina yang sudah lama berada di Indonesia berhak tetap tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Ketiga, sumbangan ekonomi sangat positif yang diberikan orang Cina sebagai perantara dengan menyediakan modal dan kemahiran yang esensial di tingkat pedesaan. Terutama, kesolideran yang mutlak perlu antara rakyat Indonesia dan Cina dalam perjuangan melawan imprealisme dan kolonialisme.
Yang pasti ikut menentukan pendirian pro-Cina Pram dan mendorongnya membela orang Cina ialah simpati dan kekaguman Pram terhadap rakyat cina yang dirasakan Pram sejak kunjungannya di Peking pada 1956 dan yang diperkuat lagi pada kunjungan kedua, pada Oktober 1958. Pram kemudian bersama kawannya dari Cina, menerjemahkan buku Salah Asuhan, dan penerbitan buku tersebut mengakibatkan karya Pram dilarang, pada April 1960. Pram sendiri ketika itu masih sempat ke luar negeri, namun sekembalinya Pram dari luar negeri, Pram segera dipanggil oleh Peperti (Penguasa perang tertinggi), diinterogasi oleh Kolonel Sudharmono (yang kemudian menjadi wakil presiden). Pram kemudian disekap selama dua bulan di rumah tahanan militer di Jakarta, pemeriksaan berikutnya Pram dituduh menjual Negara pada RRT. Setelah pemeriksaan oleh Sudharmono, Pram dipindahkan ke penjara Cipinang. Pram ditempatkan dalam sel yang tidak manusiawi, di tengah-tengah orang yang melakukan tindakan kejahatan dan orang gila, sehingga Pram praktis hidup terisolasi dari sesama manusia. Sewaktu di Cipinang baru datang surat panahanan dari jenderal Nasution; keluarga Pram tidak pernah diberitahu. Namun, isterinya yang mengandung tua akhirnya berhasil menemukannya, dan setelah isterinya melahirkan, isterinya memberitahu penahanan Pram pada masyarakat. Tetapi selama di penjara Pram tidak menerima tanda simpati dari siapapun juga .
Setelah dibebaskan dari penjara Cipinang Pram cepat mengambil alih kedudukan terkemuka di panggung sastra Indonesia. Mulai 16 Maret 1962 pramoedya bersama S. Rukiah menjadi redaktur rubrik kebudayaan Bintang timur yang berjudul Lentera. Rubrik yang pada awalnya hanya setengah halaman itu kemudian diperluas menjadi satu halaman, bagian terbesar pada edisi hari Minggu terbit disunting oleh Pram. Lentera menjadi media utama tulisan Pram yang pada periode 1962-1965 menjadi media Pram untuk mengemukakan ide-idenya tentang pengajaran sastra Indonesia yang menurut pendapat Pram harus dirubah total.
Minatnya untuk pengajaran sastra juga dibangkitkan sejak 1962 Pram memberi kuliah sastra Indonesia pada fakultas sastra Universitas Res Publica. Tentang masalah bahasa Indonesia, Pram menulis esai panjang yang berjudul ‘Bahasa Indonesia sebagai bahasa revolusi Indonesia’ yang terdiri atas atas II bagian dalam Lentera antara Sepetember 1963 dan April 1964. Rangkaian karangan panjang lain berjudul ‘Bagaimana kisah dikibarkannya humanisme universal’, yang terutama meneliti asal usul sastra angkatan 45 .
Pram juga menulis tentang sejarah awal gerakan nasional Indonesia. Salah satu tokoh sejarah gerakan nasional yang diambil oleh Pram adalah Raden Mas Tirto Adhisoerjo sebagai pelopor jurnalistik Indonesia. Tulisan Pram selama kurang dari empat tahun sangat menakjubkan atas daya kerja dan cipta, demikian pula motivasinya dan energi autodidaknya. Terutama bahwa kebanyakan tulisannya berdasarkan pada penelitian data yang sukar didapat. Hal ini disebabkan karena Pram pernah menjadi dosen Universitas res Publica, dan aktivitasnya pada Akademi Bahasa & Sastra Multatuli yang ikut didirikan Pram pada 1963 .
Selama periode itu, tulisan Pram makin polemis dan provokatif dari segi gaya dan isinya. Perjalanan pertama ke Peking membawa perubahan mendalam dalam gaya dan pikiran Pram. Manifestasi pertama Pram di tulisannya yang berjudul ‘Ke arah sastra revolusioner’ yang terbit sesudah Pram kembali dari Peking. Di dalam tulisannya dikatakan bahwa perlu ada perintisan jalan baru ke arah sastra ‘revolusioner’. Konsekuensinya revolusi ‘adalah pembasmian tanpa batas.’ Sekarang harus ada front antara tenaga-tenaga revolusioner dan yang anti pada tenaga revolusioner, sehingga perjuangan makin sengit .
Ide bahwa waktunya telah datang untuk konfrontasi total menjadi makin jelas dalam karya kritis Pram yang kemudian; ide itu pasti diperkuat lagi oleh pengalaman Pram selama dalam penjara pada 1960. Kompromi sudah tidak mugkin lagi, sekarang sudak waktunya memukul dan menyerang terus menerus. Ide-ide dan tulisan Pram semakin dipengaruhi dengan ideology Lekra dan garis besar PKI. Walaupun disangsikan sejauh mana Pram dilihami oleh ajaran komunisme yang resmi. Karya Marx tidak pernah dibaca Pram, dengan pimpinan PKI Pram jarang bertemu, kalaupun bertemu Pram bentrok dengan mereka tentang masalah politik. Soekarno pun tidak begitu simpati dengan Pram.
Sebenarnya hanya ada satu risalah panjang yang membicarkan masalah ideology dalam satra secara eksplisit dan teori, yaitu prasaran yang disajikan di depan Seminar Sastra, Universitas Indonesia, 26 Januari 1963. Tetapi dalam karya yang sangat panjang ini pun ideology dan teori terbatas pada ringkasan beberapa ide Maxim Gorki, yang sejak lama menjadi idola dan pelopor besar bagi Pram. Tulisan utama Pram adalah: realisme sosialis berdasarkan humanisme sosialis atau humanisme proletaar, yang bertentangan dengan yang di Indonesia disebut humanisme universal, yang sebenarnya humanisme borjuis. Yang terakhir dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mentralkan aspirasi patriotic dan melancungkan cita-cita revolusi. Realisme borjuasi itu akhirnya memanfaatkan realitas untuk memenekan idealisme, yang menjauhkan seniman muda dari realitas social, dan membawa mereka ke pesimisme dan negativisme. Sebaliknya realisme sosialis adalah optimis dan menentang dengan militan kapitalisme dan imprealisme serta memperjuangkan rakyat. Dan memberantas penderitaan dan penindasaan.
Berdasarkan teori tersebut kemudian Pramoedya memberi survai sejarah sastra Indonesia, yang sangat bertentangan dengan sejarah yang ‘mapan’ pada masa ini. Kriteria utama sejarah sastra baginya ialah sejauh mana karya-karya sastra membayangkan penderitaan rakyat dan perjuangan menentang penindasan.
Manikebu diumumkan pada September 1963 dalam majalah Sastra sebagai manifesto sekelompok budayawan, yang bertentangan dengan pemahaman Lekra. Konfrontasi itu di perhebat lagi sekitar Konfrensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI), yang diselenggarakan di Jakarta pada awal maret 1964 dan yang didukung oleh berbagai badan dan organisasi non-komunis dengan bantuan angkatan darat. Setiap minggu Lentera melancarkan serangan seru tidak hanya pada ideology kontrarevolusioner para ‘manikebuis’, melainkan sering juga pada aspek kehidupan pribadi mereka. Karena PKI dan Lekra juga makin berkuasa dalam politik, usaha penentang Manikebu ternyata efektif. Presiden Soekarno secara resmi melarang Manikebu pada 8 Mei 1964, izin terbit majalah Sastra sebagai corong Manikebu dicabut.
Dalam pertentangan ideologi yang semakin tajam itu Pram memainkan peran dominan. Dengan penanya sebagai senjata yang ampuh dengan suaranya yang lantang, Pram terus menerus giat ‘membabat’ dan ‘menghantam’ musuh yang tidak kunjung menyerah.
Pada 9 Mei 1965, Pram menulis karangan dalam Lentera dengan judul ‘Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total’. Sejarah memang ada ironinya. Judul tersebut ternyata dalam arti yang terbalik dengan yang dimaksudkan oleh Pram. Pada 30 September 1965, Gestapu sesungguhnya membawa pembabatan total terhadap PKI, Lekra dan penganut-penganutnya, bukan hanya pembabatan vocal, melainkan juga pembabatan fisik. Peristiwa itu juga dengan sendirinya membawa kehancuran bagi Pram.
Pram mulai bekerja pada ‘The Voice Of Free Indonesia’ sebagai redaktur bagi penerbitan Indonesia; beberapa bulan kemudian Pram mendapat tugas memimpin bagian tersebut, sebab pemimpin umum redaksi koran The Voice Of Free Indonesia tersebut ditangkap oleh NICA karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Pada saat itu Pram juga berkenalan dengan H.B. Jasin, redaktur majalah Pantja Raja, yang menerbitkan dua cerpen Pram, masing-masing berjudul Kemana?dan Si Pandir. Tetapi kebebasan tidak berlangsung lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai melakukan agresi militer pertama. Pram mendapat order dari atasannya untuk mencetak dan menyebarkan pamphlet-pamflet dan majalah perlawanan. Tetapi dua hari kemudian Pram tertangkap oleh marinir Belanda.
Ini pertama kali Pram berkenalan dengan kehidupan penjara, pengalamannya bermacam-macam. Karena Pram menolak kerja paksa, Pram dijatuhi siksaan yang sangat kejam, dan adakalanya rejim penjara amat bengis. Tetapi ada juga segi positifnya, antara lain Pram bisa berkenalan dengan Profesor Mr. G.J. Resink, guru besar hukum tata negara pada fakultas hukum yang menjadi bagian Universitas Indonesia. Di samping ahli hukum, Resink juga sejarawan yang terkemuka serta penyair dan esais dalam bahasa Belanda. Perkenalan yang membuahkan persahabatan seumur hidup: jilid pertama Tetralogi, Bumi Manusia, dipersembahkan kepada ‘Han’, yaitu Resink.
Selama dalam penjara, Pram tidak hanya sempat menulis dan belajar bahasa Inggris, Pram belajar juga ekonomi, sosiologi, sejarah filsafat, dan kursus kepustakaan dan perhitungan dagang. Namun, meski kreativitas Pram berkembang terus selama dalam penjara, sudah tentu dua setengah tahun sebagai tahanan itu bukan merupakan masa berbahagia dalam riwayat hidupnya.
Akhirnya Desember 1949, Pram dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Namun, pengalaman awal yang sangat menggembirakan. Peristiwa yang amat emosional dan membanggakan, yang dihadirinya sendiri, adalah penurunan triwarna Belanda dan penaikan dwiwarna Indonesia di depan Istana merdeka.
Nampaknya dengan demikian secara tragis berakhir masa jaya Pram sebagai tokoh terkemuka di dunia kesastraan Indonesia. Pada awalnya Pram diringkus di penjara Salemba, lalu disekap dalam penjara di Tangerang, selama empat bulan Pram dikembalikan lagi ke Salemba, sampai Juli 1969. Pada bulan itu Pram dipindahkan ke penjara Karangtengah di Nusa Kambangan, tempat penjahat berat dipenjarakan sejak zaman colonial. Di Nusa Kambangan Pram hanya sebentar, atau bisa dikatakan hanya transit. Pada tanggal 16 Agustus Pram bersama ribuan sesama tapol (tahanan politik) diboyong ke Pulau Buru.
Di Buru Pram terpaksa tinggal lebih dari sepuluh tahun. Kehidupan yang pahit dan pengalaman sebagai tapol, terpisah dari keluarga dan terasing dari dunia sastra Indonesia, Pram ceritakan dalam Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Saat terpenting selama sepuluh tahun ketika Pram pada akhirnya bisa menerima mesin tulis dan mendapat izin untuk menulis (1973) , tulisannya saat itu tidak mempunyai arti besar bagi pengarang sendiri, melainkan juga sastra Indonesia dan dunia, sebab selama tahun-tahun berikutnya Pram sempat menyelesaikan naskah empat jilid Karya Buru, Arus Balik, dan beberapa karya lain. Hal itu dimungkinkan oleh solidaritas rekan-rekan Pram yang membebaskan Pram dari tugas kerja lain, sehingga Pram dapat membaktikan diri sepenuhnya pada tulisannya.
Baru pada akhir 1979 Pram dilepaskan, Pram berangkat dengan rombongan terakhir. Sejarah terulang lagi, sebab tiga puluh tahun sebelumnya Pram juga termasuk kelompok tahanan terakhir yang dibebaskan dari penjara Belanda. Akhirnya Pram dibebaskan di Semarang dan Pram diizinkan pulang keluarganya di Jakarta yang sejak 14 tahun.
Sejak itu Pram ‘bebas’ dari penjara, tetapi kebebasan yang Pram dapatkan, hanya kebebasan semu. Ruang geraknya sebagai warga Indonesia sangat terbatas. Seperti kebebasan berbicara, menulis juga terus menerus di brendel. Jadi selama 16 tahun terakhir ini Pram praktis tahanan kota. Hidup sosialnya sebagai anggota masyarakat Indonesia tidak dapat dilangsungkan lagi, apalagi dikembangkan, Pram tidak dapat aktif ikut di dunia sastra.
Namun, tidak berarti riwayat hidup Pram telah berakhir. Secara paradoksal dapat dikatakan bahwa kehadiran Pram di Indonesia masih tetap terasa, bahkan ada kalanya menonjol. Dalam tahun berikutnya dunia sastra kaget denga terbitnya dua buku, Bumi Manusia dan Anak semua Bangsa, buah tangan dari pulau Buru. Roman sejarah tersebut langsung meraih sukses besar, dalam waktu singkat sejumlah cetakan ulang diperlukan, kritik menanggapi buku itu cukup antusias, walaupun ada juga yang keras menolaknya. Di luar negeri Pram yang sebagai tapol menjadi lambang demi hak asasi manusia sekarang menjadi terkenal juga sebagai satrawan berkaliber internasional. Bukunya juga terbit dalam bahasa Malaysia, demikian pula dalam bahasa asing, pertama-pertama Nederland, kemudian bahasa Inggris, dan entah berapa bahasa dunia lain. Namun, di Indonesia pada Mei 1981 kedua buku itu di larang peredarannya oleh Jaksa Agung, dan nasib yang sama menimpa dua jilid berikut dari tetralogi Karya Buru, masing-masing berjudul Jejak langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988).
Peran publik dalam kehidupan sastra ternyata tidak mungkin bagi Pram, ketika pada 1981 Pram memberikan ceramah di fakultas sastra UI atas undangan Senat Mahasiswa, tentang ‘Sikap dan peranan kaum intelektual di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia’. Pram diusir dengan tertulis oleh Dekan. Diinterogasi oleh Satgas Intel selama seminggu, anggota Senat yang dianggap bertanggung jawab dipecat dan dipenjarakan. Namun, Pram makin mendapat pengakuan dan penghargaan internasional. Karya Buru diterjemahkan ke dalam bahasa asing, Barat maupun Timur. Pram diangkat sebagai anggota kehormatan Pusat PEN di berbagai negeri, Australia, Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan pada 1988 Pram menerima ‘Freedom to Write Award’ dari organisasi PEN di Amerika Serikat. Pram juga di calonkan untuk Hadiah Nobel Sastra.
Masih ada beberapa buah tangan Pram lain yang terbit, kebanyakan riset histories yang dilakukan sebelum 1965: antologi ‘sastra pra-Indonesia’, dengan judul Tempo Doeloe (1982): biografi Tirtho Adhi Soerjo Sang Pemula dengan antologi tulisan pelopor jurnalistik Indonesia (1985), yang juga sejarawan internasional diakui sebagai sumbangan penting pada penulisan sejarah masa awal gerakan Indonesia.
Dalam dasawarsa ini pun masih terbit dua buku yang meriwayatkan pengalaman dan observasi Pram selama di Buru pertama-tama diterbitkan dalam terjemahan Belanda, jilid pertama kemudian terbit dalam bahasa Indonesia Nyanyian Sunyi Seorang Bisu pada kesempatan hari ulang tahun Pramoedya yang ke-70 pada 6 Februari 1995, tetapi segera dilarang. Buku ini merupakan semacam kolase, sebagian bersifat factual mengenai nasib Pram sendiri dan sesama tahanan di Buru, sebagian lagi perenungan dan observasi yang bermacam-macam. Bagian kedua, yang versi aslinya belum diterbitkan, mengenai sejumlah surat Pram ditujukan buat anak-anaknya, tetapi tidak pernah dikirimkan.
Sekali lagi Pram menjadi pusat hebohnya sastra besar di Indonesia yang terjadi pada tahun 1995, ketika Pram dianugerahi ‘ Roman Magsaysay Award for Jurnalism, Literature, and Creative Communication Arts’ di Manila. Pengurus yang bersangkutan memberikan kehormatan yang disertai hadiah UU$ 50.000, kepada Pram berdasarkan jasanya sebagai pengarang.
Penganugerahan hadiah Magsaysay menimbulkan prahara protes di Indonesia di antara sejumlah sastrawan dan budayawan, di antaranya Rendra, H.B. Jasin dan lain-lain. Menunjukkan pernyataan bersama kepada yayasan Hadiah Ramon Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak membatalkan putusan itu.
Di anggap sangat ironis bahwa hadiah yang memakai nama, Magsaysay, yang seumur hidup memperjuangkan demokrasi dan hak asai manusia, sekarang diberikan kepada penulis yang selama periode ikut memimpin Lekra terbukti anti demokratis dan ikut menindas hak. Ketika ternyata pengurus yayasan tidak menerima protes tersebut.
Di Indonesia terjadi dua front, satu pro dan satu kontra Pram. Tiga budayawan terkemuka yang tidak mau menandatangi pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman, kedua yang terakhir dulu juga penandatangan Manikebu, yang menjadi terror dan penindasan oleh Lekra.
Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak menandatangi pernyataan protes adalah Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri dan lain-lain.
Heboh sastra terbaru ini membuktikan, kontroversi lama tetap ada, Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan minta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Pram tetap penuh amarah terhadap kelakuan yang telah Pram derita selama 20 tahun lebih. Lawannya tidak kurang mendalam rasa dendamnya atas teror pihak Lekra yang mereka derita, dengan Pram sebagai pemukanya yang paling vocal. Dan di tengah-tengah ada pihak ketiga, dengan Goenawan Mohammad sebagai wakil terkemuka, yang berseru kepada kedua kubu agar mereka menepikan rasa curiga.
Demikianlah Pram tetap berada dalam situasi paradoksal. Pada satu pihak Pram terpaksa hidup sebagai paria yang sudah tiga puluh tahun lebih kehilangan hak asasinya sebagai manusia dan warga Negara Indonesia, tanpa pernah diadili dalam proses hukum yang pantas, dan dipaksa bungkam, tanpa diberi kesempatan membela diri di muka umum. Pada pihak lain Pram tetap hadir, di Indonesia maupun dunia Internasional, sebagai tokoh raksasa, yang tingkah lakunya di masa lampau kontroversial, tetapi yang keunggulannya sebagai sastrawan diakui oleh seluruh dunia.