NAJIS

Seluruh ulama sepakat terhadap najisnya khamr, kecuali yang diceritakan dari Dawud, bahwa dia berkata sucinya khamr namun hukumnya haram.
Para ulama juga sepakat bahwa jika khamr telah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya suci. Namun apabila (perubahan) khamr menjadi cuka disebabkan dengan memasukkan sesuatu pada khamr tersebut maka cuka tersebut tetap najis menurut Madhab Syafi’i dan Hambali. Madzhab Maliki mengatakan merubah khamr menjadi cuka hukumnya adalah makruh, dan jika telah menjadi cuka maka hukumnya suci dan halal. Sedangkan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa merubah khamr menjadi cuka hukumnya adalah boleh, dan jika telah menjadi cuka hukumnya suci dan halal.
Fasal: Anjing adalah najis menurut Madhab Syafi’i dan Hambali, dan perabot yang terkena jilatannya dibasuh sebanyak tujuh kali (yang salah satunya dicampur dengan debu) karena disebabkan kenajisannya. Madzhab Hanafi juga menyatakan najis namun cara pembahsuhan sesuatu yang terkena anjing sama dengan najis-najis yang lain, yaitu jika seseorang telah berprasangka hilangnya najis tersebut meskipun hanya dengan satu kali basuhan maka itu dianggap sudah cukup, jika tidak demikian maka wajib membasuh najis tersebut sampai menyangka telah hilang meskipun sampai dua puluh kali basuhan. Sedangkan menurut Madzhab Maliki anjing adalah suci yang tidak dapat membuat najis terhadap apa saja yang dijilat, namun tempat yang dijilat tetap dibasuh karena melakukan seperti anjuran Nabi.
Jika anjing memasukkan tangan atau kakinya pada sebuah tempat (yang salah satunya dalam kondisi basah) maka wajib membasuh tempat tersebut dengan tujuh kali basuhan seperti halnya dengan dijilat (menurut Tiga Madzhab). Pendapat ini berbeda dengan pandangan Madzhab Maliki, karena wajibnya membasuh hanya disebabkan jilatan anjing saja.
Fasal: Babi memiliki hukum yang sama seperti anjing, yaitu apa saja yang terkena najisnya maka harus dibasuh dengan tujuh kali basuhan menurut pendapat yang ashah pada Madzhab Syafi’i. Imam Nawawi mengatakan pendapat yang rajich (unggul) dengan mengacu pada dalil adalah cukupnya membasuh pada (najis) babi hanya dengan sekali basuhan saja dengan tanpa debu, dan demikianlah kebanyakan para ulama berpendapat. Pendapat yang rajich inilah pendapat yang mukhtar (dipilih) karena secara asal tidak adanya kewajiban (membasuh sampai tujuh kali) sampai adanya sebuah ketentuan dari syara’ (Al Quran dan Hadits). Sedangkan menurut Madzhab Maliki bahwa babi adalah suci selama dalam keadaan hidup dan tidak ada dalil yang jelas bagi kami yang menerangkan tentang kenajisannya. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa (najis) babi dibasuh seperti halnya najis-najis yang lain.
Fasal: Membasuh perabot, pakaian, dan badan dari semua najis yang selain anjing dan babi tidak memiliki ketentuan hitungan menurut Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Sedangkan menurut Madzhab Hambali ada beberapa riwayat, dan yang paling masyhur diantara riwayat-riwayat yang lain adalah wajibnya jumlah hitungan pada pembasuhan segala jenis najis pada selain tanah, yaitu perabot (wadah) dibasuh sebanyak tujuh kali, dalam riwayat yang lain tiga kali. Dan dalam Madzhab tersebut juga terdapat riwayat yang menyatakan tidak adanya hitungan pada selain najis anjing dan babi.
Cukup dengan memercikkan air pada kecing anak keci laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan yang selain ASI, dan membasuh air kencing bayi perempuan menurut Madzhab Syafi’i dan Hanafi. Madhab Maliki berpendapat bahwa harus membasuh air kencing bayi laki-laki dan perempuan karena keduanya memiliki jukum yang sama. Sedngkan Madzhab Hambali bahwa air kencing bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi makanan (selain ASI) hukumnya adalah suci.
Fasal: Setiap kulit bangkai dapat menjadi suci dengan cara disamak kecuali kulit babi menurut Madzhab Hanafi. Sedangkan menurut riwayat yang dhahir (jelas) dari dua riwayat pada Madzhab Maliki, bahwa kulit bangkai tidak dapat berubah menjadi suci namun dapat digunakan untuk sesuatu yang bersifat kering dan hanya untuk air diantara sekian macam benda-benda yang cair. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa Setiap kulit bangkai dapat berubah menjadi suci dengan cara disamak kecuali kulit anjing, babi, dan (hewan) apa saja yang keluar dari keduanya atau salah satunya. Sedangkan pada Madzhab Hambali terdapat dua riwayat yang paling masyhur dari dua riwayat tersebut adalah tidak dapat suci dan tidak diperbolehkan memanfaatkannya pada sesuatu seperti halnya daging bangkai. Dan diceritakan dari Zuhri, bahwa setiap kulit bangkai dapat dimanfaatkan dengan tanpa harus disamak.
Fasal: Sembelihan hewan yang tidak boleh dimakan tidak dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut Madzhab Syafi’i dan Hambali, seandainya hewa tersebut disembelih maka hukumnya adalah bangkai. Menurut Madzhab Maliki yang demikian itu dapat dimanfaatkan kecuali babi, dan menurutnya jika hewan buas atau anjing disembelih maka kulitnya adalah suci dan boleh untuk diperjualbelikan dan wudlu pada kulit tersebut meskipun tidak disamak (terlebih dahulu), begitu pula menurut Madzhab Hanafi, (Madzhab ini menambahkan) dan sesunggunnya seluruh bagian dari kulit dan dagingnya adalah suci, namun hukum dagingnya haram, sedangkan menurut Madzhab Maliki adalah makruh.
Fasal: Rambut bangkai selain manusia adalah najis menurut Madzhab Syafi’i, begitu pula bulu halus dan bulu kasarnya. Madzhab Maliki berpendapat bahwa semuanya suci secara mutlak karena semuanya tidak ikut mengalami kematian, baik dari hewan yang boleh dimakan dagingnya, seperti hewan ternak dan kuda peliharaan, atau tidak boleh dimakan dagingnya, seperti kuda liar dan anjing, bahkan menurutnya rambut (bulu) anjing dan babi adalah suci ketika masih hidup atau sudah mati. Dan yang shahih menurut Madzhab Hambali adalah sucinya rambut, bulu kasar, dan bulu halus, begitu pula menurut Madzhab Hanafi, bahkan Madzhab ini menambahkan sucinya tanduk, gigi, bulu ekor, dan tulang karena semuanya tidak bernyawa. Diceritakan dari Hasan dan Awza’i bahwa semua (yang dikategorikan) rambut adalah najis namun dapat menjadi suci dengan cara dicuci (dibasuh).
Para imam berbeda pendapat tentang diperbolehkannya memanfaatkan rambut (bulu) babi yang digunakan untuk menyulam. Madzhab Hanafi dan Maliki memberikan kemurahan dalam hal ini (yakni hukumnya boleh). Sedangkan Madzhab Syafi’i melarangnya. Dan Madzhab Hambali memakruhkannya, bahkan Madzhab ini berpendapat menyulam dengan menggunakan serabut lebih disuka (dari pada menggunakan bulu babi).
Fasal: Hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking jika mati pada sesuatu yang cair maka tidak dapat menajiskan dan merusak sesuatu tersebut menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, karena hewan tersebut pada hakikatnya adalah suci. Sedangkan yang rajich dari Madzhab Syafi’i adalah hewan tersebut tidak dapat menajiskan sesuatu yang cair namun status hewan tersebut najis disebabkan mati, begitu pula menurut Madzhab Hambali.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa belatung yang ada pada makanan jika mati di dalam makanan tersebut maka tidak dapat menajiskan makanan tersebut dan boleh memakannya bersamaan dengan memakan makanan tersebut.
Dan hewan yang hidup di air, seperti katak, jika mati di dalam air yang sedikit maka dapat menajiskan air tersebut menurut Tiga Madzhab selain Madzhab Hanafi.
Fasal: Belalang dan ikan adalah suci menurut kesepakatan Empat Madzhab. Tentang najisnya manusia yang disebabkan oleh kematian menurut Madzhab Syafi’i ada pendapat, yang paling shahih adalah tidak najis, demikian pula menurut Madzhab Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi hukumnya najis, namun dapat suci dengan cara dimandikan.
Orang yang berhadats besar (junub), orang yang haidl, dan orang musyrik jika menyelamkan tangannya pada air yang sedikit maka air tersebut tetap suci menurut kesepakatan para Madzhab.
Fasal: Air sisa minum anjing dan babi adalah najis menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, dan air sisa minum hewan yang selainnya adalah suci. Namun menurut pendapat yang ashah pada Madzhab Hambali adalah sisa air minum hewan buas adalah najis. Sedangkan menurut Madzhab Maliki air sisa minum hewan adalah suci secara mutlak.
Tiga Madzhab sepakat bahwa air sisa minum keledai dan kuda adalah suci tidak mensucikan. Diceritakan dari Imam Hanafi bahwa air tersebut diragukan kesuciannya. Faedahnya adalah jika ada orang yang tidak menemukan air selain air tersebut maka dia melakukan wudlu dengan sekaligus bertayammum. Sedangkan yang shahih dari Madzhab Hambali adalah najis.
Empat Madzhab sepakat atas kesucian (air sisa minum) kucing dan hewan yang sejenis (sama bentuk). Dan diceritakan dari Madzhab Hanafi bahwa makruh (menggunakan) air sisa minum kucing. Dan juga diceritakan dari Awza’i dan Tsauri bahwa air sisa minum hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan yang selain manusia adalah najis.
Fasal: Pendapat yang ashah pada Madzhab Syafi’i adalah semua benda yang najis memiliki kedudukan yang sama, baik (najis tersebut) sedikit maupun banyak, dalam segi menghilangkannya, tidak dapat dihukumi ma’fu (dimaafkan) kecuali najis yang sulit untuk dihindari secara umum, seperti darah jerawat, darah bisul, darah cacar, darah nyamuk, tahi lalat, darah bekas tempat bekam, dan tanah liat jalan. Ini juga pendapat Madzhab Maliki namun menurutnya (semua itu dengan syarat) sedikitnya darah yang dima’fu. Dan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa darah kutu dan kutu busuk adalah suci. Dan Madzhab ini menyatakan bahwa semua najis yang kira-kira ada satu dirham (adalah najis), dan yang kurang dari satu Dirham Baghli (lingkaran pada bagian dalam dzira’ keledai) adalah ma’fu.
Fasal: Sesuatu yang basah yang keluar dari perut besar adalah najis menurut kesepakatan ulama. Diceritakan dari Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hal itu adalah suci.
Air kencing dan kotoran (telek; jawa) adalah najis secara mutlak menurut Madzhab Syafi’i. Madzhab Maliki dan Hambali menyatakan bahwa keduanya dihukumi suci bila kleuar dari hewan yang dagingnya boleh dimakan. Sedangkan Madzhab Hanafi meyatakan bahwa kotoran burung yang dagingnya boleh dimakan seperti burung dara dan burung gereja adalah suci, begitu pula Qaul Qadimnya Imam Syafi’i, untuk selainnya dihukumi najis. Diceritakan dari an-Nakha’i bahwa air kencing semua hewan yang suci hukumnya adalah suci.
Fasal: Sperma manusia hukumnya najis menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, namun Madzhab Maliki mengatakan bahwa najisnya dapat dihilangkan dengan cara dibasuh, baik ketika basah maupun kering, sedangkan menurut Madzhab Hanafi dibasuh ketika basah dan digosok-gosok (dikerik/dikerok; jawa) ketika kering. Adapun yang ashah (paling shahih) dalam Madzhab Syafi’i bahwa sperma adalah suci secara mutlak kecuali dari anjing atau babi. Sedangkan yang ashah dari Madzhab Hambali adalah sperma dihukumi suci jika dari manusia (bukan dari makhluk yang lain).
Fasal: Ulama (Empat Madzhab) berbeda pendapat dalam menghukumi sumur yang terdapat bangkai tikus yang digunakan untuk berwudlu. Madzhab Hanafi berpendapat jika sumur tersebut adalah sumur yang rusak (airnya berbau busuk) maka harus mengulangi shalat selama tiga hari, dan jika tidak (rusak) maka cukup satu hari saja. Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hambali mengatakan, jika air tersebut sedikit maka harus mengulang shalatnya sesuai dengan perkirannya sejak kapan tikus tersebut mati, jika air tersebut banyak dan tidak brubah maka tidak perlu mengulangi shalat, namun apabila air (yang banyak) tersebut berubah maka mengulangi shalat sejak terjadi perubahan. Dan menurut Madzhab Maliki, jika sumur (yang terkena bangkai tikus) itu tertentu (tidak merata) dan air tidak berubah sifat-sifatnya maka air tersebut tetap suci dan tidak perlu mengulangi shalat, namun apabila air tersebut tidak tertentu (merata) maka terdapat dua riwayat. Sedangkan Ibnul Qasim pengikut Madzhab tersebut mengatakan bahwa (hal demikian itu) hukumnya najis secara mutlak.
Fasal: Jika ada keserupaan antara air yang suci dan najis meskipun air itu milik sendiri, atau sebagian suci dan sebagian yang lain najis, apakah orang tersebut boleh berijtihad (menentukan keyakinan) dan meneliti air itu? Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa orang tersebut harus meneliti terlebih dahulu lalu berwudlu dengan menggunakan air yang suci menurut keyakinannya. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi jika jumlah air yang suci lebih banyak dari air yang najis maka boleh meneliti. Dan menurut Madzhab Hambali tidak diperbolehkan meneliti, bahkan membuang atau mencampurnya menjadi satu lalu bertayammum. Adapun menurut Madzhab Maliki terdapat perbedaan, diceritakan dari Madzhab tersebut diperbolehkannya meneliti.
Jika seseorang memiliki dua baju yang suci dan najis dan tidak dapat membedakan antara keduanya maka dia boleh melakukan shalat dengan baju manapun menurut Madzhab Maliki dan Hambali. Hal ini berbeda dengan Madzhab Hanafi dan Syafi’i yang mengharuskan meneliti terlebih dahulu pada kedua baju tersebut.