PENGANTAR FILSAFAT

Daftar Isi Daftar Isi ………………………………………………………………………………. 1 BAB I : Pendahuluan ………………………………………………………………………………. 2 BAB II : Pembahasan ………………………………………………………………………………. 5 BAB III : Penutup ………………………………………………………………………………. 23 Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………. 24 BAB I PENDAHULUAN PENGANTAR FILSAFAT Sebelum membicarakan filsafat ada baiknya kita membicarakan sedikit pengantar tentang cara mendefinisikan suatu perkara. Ini penting karena masih banyak diantara kita salah kaprah dalam menerima arus informasi global. Cara pendefinisian dibagi menjadi dua. Pertama adalah pendefinisian Verbal (lafzhi) dan yang kedua adalah pendefinisian Arti Nyata (Maknawi). Pendefinisan verbal (lafzhi) adalah cara mendefinisikan dengan maksud menjelaskan pengertian dari kosa kata yang digunakan atau menjelaskan pengertian dari istilah yang digunakan (linguistik). Sedangkan pendefinisian Arti Nyata (maknawi) adalah cara mendefinisikan dengan mengungkapkan makna sebenarnya (hakekat) dari ke ‘apa’ an sesuatu. Ketika seseorang bertanya, apakah yang dimaksud dengan ‘merpati’ . Sering kita temui bahwa maksud dari sipenanya dapat berbeda-beda. Adakalanya maksud sipenanya adalah tentang pengertian dari kata (kosa kata) tersebut, yakni merpati itu ‘apa’ dari arti bahasa atau istilah (terminologis). Dan jawaban tentang ke ‘apa’ an merpati ini dapat dijawab dengan bermacam-macam istilah dan definisi per-bidang orang yang ditanyakan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan ‘arti’ yang banyak tentang ke ‘apa’ an merpati dari sisi terminologi. Menurut istilah ahli hewan, merpati adalah sejenis burung yang masuk kedalam katagori unggas, dan akan berbeda lagi definisi ke ‘apa’an merpati ini jika masuk kedalam kamus departemen perhubungan, maka yang disebut dengan merpati adalah sebuah pesawat terbang yang dikelola oleh sebuah maskapai penerbangan yang masuk kedalam katagori pesawat yang berplat merah (Perusahaan pemerintah). Dalam menjawab pertanyaan semacam itu (tentang kosakata) ada kemungkinan semua jawaban yang di kemukakan adalah benar. Dan disini dibutuhkan kejeli-an dan ketelitian kita untuk mengetahui secara jelas tentang arti dan penggunaan dari kosa kata yang dipakai. Jika kita akan mengdefinisikan suatu hal atau akan menjelaskan ke ‘apa’ an suatu istilah yang memiliki definisi lebih dari satu, maka kita harus mengatakan bahwa ‘ke apaan’ ini menurut istilah ahli fulan ini artinya ‘ini’ dan menurut istilah ahli fulan itu artinya adalah ‘itu’ . Menjelaskan ke’apa’an sesuatu dengan cara memaparkan pendapat-pendapat dari beberapa ahli-ahli yang berbeda bidang inilah yang disebut dengan pendefinisian verbal. Tetapi sering juga kita menanyakan ‘ke apa-an’ sesuatu BUKAN bermaksud untuk mempertanyakan arti dari kosa kata yang digunakan melainkan tentang Hakekat (Arti Nyata) dan makna sebenarnya dari susuatu itu. Misalnya ketika kita bertanya, apakah yang disebut dengan ‘Nabi’ , tentu yang kita tanyakan bukanlah tentang arti dari kata nabi diletakkan untuk apa? Karena kita semua sudah tahu bahwa kata nabi diletakkan dan diperuntukkan untuk manusia dengan syarat dan ketentuan yang khusus, bukan kepada yang lainnya semisal kepada tumbuh-tumbuhan atau hewan. Pertanyaan tentang ‘ hakikat dan substansi’ dari nabi tadi misalnya, jawaban subtansi terhadap ini hanya satu, tidak boleh lebih dan tidak mungkin semua jawaban tentang pertanyaan ini adalah benar. Jawaban untuk menjawab pertanyaan semacam inilah yang disebut dengan pendefinisian Arti Nyata (Maknawi/Hakiki) Untuk menelaah suatu perkara, maka kedua cara pendefinisian ini haruslah digunakan secara berurutan dan hirarkis. Jika tidak demikian maka akan terjadi bias makna (paralogisme) antara maksud dan tujuan sipenanya dengan hakekat yang sebenarnya. Dalam hal ini mencari arti dari kosa kata yang akan digunakan (pendefinisian Verbal) haruslah lebih didahulukan, setelah jelas dan teliti dalam penggunaan kosa kata tersebut barulah kita bisa mencari tahu makna hakikinya ( Arti Nyatanya) . Urutan tentang tata cara pendefinisian ini sungguh penting dan strategis dalam mencari dan menggali substansi dari suatu perkara, cara berurutan seperti ini bisa menghindari perselisihan yang tidak perlu. Karena jika tidak demikian maka bisa dibayangkan betapa rumitnya dan repotnya kita mencari tahu tentang arti sebuah ‘kata’ . Jika saja masing-masing pihak mendefinisikan arti ‘kata’ dengan bermacam-macam istilah dan bahasa yang sesuai dengan bidangnya, maka besar kemungkinan orang yang terakhir menemui ‘kata’ tersebut akan lebih banyak berselisih ketimbang mengerti. Misal, suatu hari orang yang menciptakan istilah ‘keseluruhan’ yang berarti adalah semua dan bukan sebagian ataupun terbagi-bagi. Makna yang sebenarnya tentang ‘keseluruhan’ ini bisa menjadi bias kalau setiap orang mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan keahliannya dimasa berikutnya, apalagi jika sudah di terjemahkan kedalam bahasa asing yang beraneka ragam, bisa jadi arti ‘keseluruhan’ akan menjadi sebagian ( yang pertama hilang kata ‘bukan’ -nya) . Jika peneliti berikutnya mengabaikan pentingnya urutan cara pendefinisian, bisa jadi dia tidak akan memperhatikan lagi istilah ‘ keseluruhan’ sebagai acuan dari persoalan yang dihadapi dan langsung menggunakan istilah ’sebagian’ sebagai kata ganti ‘keseluruhan’ . Sehingga orang terakhir yang bukan peneliti dan ahli ketika menemui istilah ‘keseluruhan’ langsung saja beranggapan bahwa ‘keseluruhan’ sama dengan ’sebagian’. Begitu pula dengan kata ‘filsafat’ , banyak terjadi kekeliruan umum tentangnya diantara para filsuf barat dan para pengikutnya di Timur. Kita bisa mulai bahasan ini dengan kekeliruan awal dan ‘keluwesan’ yang tidak perlu yang di ajukan oleh para filsuf belakangan ini. Keluwesan yang tidak perlu ini berawal dari cara pendefinisian kata ‘filsafat’ itu sendiri. BAB II PEMBAHASAN 1. FILSAFAT CHINA Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia-lah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa semua dikuasai oleh suatu nasib buta (“Moira”), dan ketika kebudayaan India masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya. Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar: 1. Jaman Klasik (600-200 S.M.) Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (“jalan”), “te” (“keutamaan” atau “seni hidup”), “yen” (“perikemanusiaan”), “i” (“keadilan”), “t’ien” (“surga”) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah: Konfusianisme Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda. Taoisme Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”). Yin-Yang “Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu. Moisme Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka jelek. MingChia Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”. FaChia Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali. Tentang keenam sekolah klasik tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3) okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6) ahli-ahli politik. 2. Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.) Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. 3. Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900) Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing. 4. Jaman Modern (setelah 1900) Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung. Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini. 2. Filsafat Islam Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas dalam firman Allah SWT.: وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون ( البقرة: 30) Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam ِِِuntuk membuktikannya: قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم.... Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan. Sekilas Filsafat Islam Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya . Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut. Ke-filosof-an Ibn Taimiyyah Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu: A. Kondisi Politik Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…". B. Kondisi Masyarakat Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir. C. Kondisi Pemikiran Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat", masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama. Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya. Ketegasan Dibalik Ketakutan Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof sebagai "Ahli Bid'ah", disini ia secara langsung menukil pernyataan Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf filosof, pen.) yang berbunyi: "Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan pemecahannya ada beberapa macam: a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan ini jelas-jelas tidak mungkin; b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun juga tidak mungkin; c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal dan naql; d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan." Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan, kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya. Pedoman seperti ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka rasa tidak cocok mereka buang. Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim. Ibn Taimiyyah tentang metode Kaum Filosof dalam menguraikan nash Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya ia membagi metode-metode kaum filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam dua kelompok: D Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan: 1. Kaum Pengkhayal Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan kecuali dengan cara ini. Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd. 2. Kaum Perubah dan Pentakwil Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah. E Metode Pembodohan Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat. Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq. Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian jisim dan alam Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan. Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof: 1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya. 2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya. Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya: إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia” Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini: “Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.” Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan: 1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan. 2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan. Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, iapun mempelajari mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq hanyalah berisi khayalan dan angan-angan. Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam. Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq: “Mantiq adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya” Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat dari keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.” Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya. Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif), semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka selanjutnya ia mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme mantiq dan analogi mantiq. 3. Filsafat India (hindu) Filsafat India(hindu) berkembang dan menjadi satu dengan agama sehingga pemikiran filsafatnya bersifat religius dan tujuan akhir adalah mencari keselamatan akhirat. Filsafat India dibagi menjadi beberapa zaman,yakni: • Zaman Weda (1500-600 S),zaman ini diisi oleh peradaban bangsa arya. Pada saat itu baru muncul benih pemikiran filsafat, yang berupa mantera-mantera, pujian keagamaan yang terdapat dalam sastra Brahmana dan Upanishad.. Dikatakan zaman weda karena sumber benih pemikiran filsafat berasal dari kitab-kitab weda (Rig Weda, Saa Weda, Yajur Weda dan Atharwra Weda).benih pemikiran filsafat tersebut dalam mantera “di atas samudera mengapung telor dunnia, kemudian pecah menjadi Wismakarman sebagai anak pertama dari alam semesta.”dunia tersusun menjadi tiga bagian tersebut mempunyai dewa sendiri-sendiri. “jiwa manusia tidak dapat mati”.mereka yang asuk surga adalah orang-orang yang soleh dan hidup baik”. Terkait penjelasan diatas,dalam sadtara Brahman disebutkan bahwa ketika bangsa Arya telah menetap di lebah GAngga, benih pemikiran filsafat berupa “KOrban”.korban ini dianggap penting dalam kehidupan manusia yang dipersembahkan kepada iman. Misalnya, korban di adakan agar matahari tetap bersinar sehingga dengan adanya korban ini-kehidupan masyrakat bersifar ritualistic.pada tahun &00 S benih pemikiran filsafat pembahasannya lebih endalam lagi, yakni bersuber pada sastar Upanishad.keadaan yang demikian ini muncul tatkala kaum ksatria meberontak kepada kaum Brahman.pemberontakan ini terjadi karena ajaran Upanishad banyak diselewengkan.kedalaman pemikiran filsafat terbukti dari anggapan dahulu (Zaman Brahman), dewa Brahman hanya dianggap sebagai asas pertaa alam semesta.tetapi sekarang (zaman Upanishad) dewa Brahman dianggap sebagai dewa yang transden dan Immanen.juga, dewa Brahman dianggap berada dalam alam semesta dan diri manusia, yang terjelma berupa undur Api. • Zaman Wira Carita (600 SM-200 M),zaman ini diisi oleh perkembangan system pemikiran filsafat tersebut muncul berupa Upanishad. Ide pemikiran filasdafa tersebut berupa tulisan-tulisan tentang hubungan antara manusia dan dewa. Sebagai latar belakang zaman ini adanya krisis politik,kemerosotan moral atau kepercayaan terhadap para dewa, akibat dari kau penjajah (pendatang).kemudian banyak orang mencari ketenangan dan muncllah para ahli pikir untuk menuangkan pikirannya sehingga terjadilah pertentangan antar pemikiran. Timbullah aliran yang bertuhan (Baghawadgita), aliran yang tidak bertuhan (Jainisme dan Buddhisme), juga aliran yang Spekulatif (Saddarcana). Jainisme timbul sebagai reaksi zaman Brahan. Pelopornya adalah wadhamana (abad ke 6 SM).sedangkan Buddhisme (yang dicerahi) sebagai sebutan untuk tokoh rohani yang menjelma pada seseorang.jelmaan terakhir Buddhisme adalah Sidharta, yang lahir tahun 567 S di kapiwastu. Dan terakhir Baghawadgita adalah sebuah kitab yang ditulis pada abad ke 3 SM,pusat penyebarannya di gangga barat.isi kitabnya adalah uraian ajaran kresna pada arjuna tentang Bhakti (penyerahan diri). • Zaman Sastra Sutra ( 200 SM-1400 M),zaman diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra) dengan ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh seperti Sankara (788-820) ia pengajar aliran Adwaita sebagai pokok ajaranya adalah “ Brahmana adalah nyata. Jiwa perorangan adalah Brahman.Brahman tidak rangkap. Dunia adalah tidaknyata. Jiwa tidak berbeda dengan Brahman, Ramanuja (2027-1137) dengan niat ia mencoba mempersatukan Wisnu dengan wedanta sumber ajarannya wisista waita (kitab Upanishad),menurutnya terdapat tiga kenyataan tertinggi :Tuhan (Iswara), jiwa(cit) dan benda (Acit.hanya tuhanlah sebagai kenyataan yang bebas, dan tokoh terakhir adalah Madhwa,pokok ajarannya “ada” merupakan kenyataan yang jamak.segala sesuatu di dunia ini beraneka ragam.terdapa lima perbedaan menurut Adhwa yakni antara tuhan dan jiwa;antara jiwa (yang satu) dan jiwa (yang lain); antara tuhan dan benda; antara jiwa dan benda;antara benda (yang satu) dan benda yang lain.zaman ini juga disebut zaman skolastik.kitab yang muncul pertama kali adalah kitab wedangga,yang uraiannya berbentuk prosa-disusun secara singkat agar mudah dihafal atau diamalkanj uga timbul sutar-sutra yang bertentangan dengan weda dan sutra tersebut dijadikan sumber pemikiran filsafat BUDISME Walupun di tanah kita, lebih-lebih dalam percakapan sehari-hari ,ajaran BUDA itu disebut agama, yang saya jelaskan disini bukanlah agamanya,elainkan sifat filsafatnya.memang dala budisme terutama kemudian banyaklah gejala-gejala yang mengharuskan kita menyebut aliran itu agama akan tetapi pada permulaan budisme ini-saya berpendapat bahwa merupakan usaha mencari kebebasan dari ikatan dunia ini.dasar filsafatnya pun tidak lain daripada unsur yang terdapat pada Samkhaya. BAB III PENUTUP Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah: "Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini. Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat dalam segalanya. Daftar Pustaka Achmadi,Asmoro Drs, Filsafat Umum;cetakan kedua,( PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta,1997) Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 1996) Poedjawiyatna,I.R Prof, Pembibing ke Arah AlamFilsafat,(Rineka Cipta,Jakarta,2002) Poedjawiyatna, IR., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta : PT Pembangunan, 1983) Wiharto, Mulyo, Filsafat Ilmu dan Logika, Diktat Kuliah Filsafat dan Logika di Universitas Indonusa Esa Unggul (Jakarta :2004) www.id.wikipedia.org/wiki/Lao_Tzu www.id.wikipedia.org/Taoisme

Related Posts:

  • A. Pengaruh Perhatian Orang Tua dan minat Belajar dengan Prestasi Belajar1. Tinjauan terhadap masalah pengaruh perhatian orang tua Sebelum batasan tentang perhatian dan orang tua dikemukakan, maka perlu kiranya dibicarakan … Read More
  • PENGETAHUANNotoatmodjo ( 2003 ) mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obj… Read More
  • PANDUAN PENGEMBANGAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) I.             &… Read More
  • KompensasiKepuasan individu atas kompensasi yang diterimanya didasarkan pada teori keadilan (equity). Menurut teori keadilan, dalam buku karangan Gibson, Ivance… Read More
  • Autisme adalah Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungans… Read More