KELOMPOK : 4
MAKALAH
FIQIH SIYASAH
Dosen Pembimbing
: Marhamah Saleh.Lc.MA
Disusun Oleh : 1.
Dora Sahertian
2. Heni Nuraini
3. Syafiq Agung
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum.
Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin
puji syukur kehadirat Allah SWT.karena hanya atas izin-Nyalah kami dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih siyasah. Kami
juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah yang telah membimbing kami,
kepada teman-teman serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Tak ada sesuatu hal pun yang sempurna di dunia
in kecuali Allah SWT, Maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah yang telah kami susun ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin....
Wassalam
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar...........................................................................................i
Daftar
Isi....................................................................................................ii
Pendahuluan...............................................................................................1
Mawardi....................................................................................................2
Ghazali.......................................................................................................6
Ibnu
Taimiyah.............................................................................................8
Jamal Al-Din
Al-Afghani............................................................................10
M.Abduh..................................................................................................11
Rasyid
Ridha.............................................................................................12
Al-Ikhwan
Al-Muslimin.............................................................................15
Maududi...................................................................................................16
Kesimpulan...............................................................................................18
Daftar
Pustaka............................................................................................19
PENDAHULUAN
Di kalangan umat
islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara islam dan
ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia
dan Tuhan, sebaliknya islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap
dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara.
Aliran
kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak
ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad SAW
hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan
tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan
dan mengepalai satu negara.
Aliran
ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam islam terdapat sistem ketatanegaraan. Dengan makalah ini pembaca
diajak untuk melakukan kajian ulang tentang hubungan antara islam dan tata
negara atau politik.
Pemikiran
Politik Islam Pada Zaman Klasik, Pertengahan dan Kontemporer
Mawardi
Nama
lengkap ilmuwan islam ini adalah Abu Hasan Ali Bin Habib al-Mawardi al-Bashri,
yang hidup antara tahun 364 H atau 975 M dan 450 H atau 1059 M. Dia seorang
pemikir islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi
yang besar pengaruhya dalam pemerintahan Abbasyiah. Setelah berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain sebagai hakim, akhirnya dia kembali dan menetap di
Baghdad, dan mendapat kedudukan yang terhormat pada pemerintahan Khalifah
Qadir.
Situasi politik
di dunia islam pada masa Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai
pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada masa Farabi, dan bahkan lebih
parah. Semula Baghdad merupakan pusat peradaban islam dan poros negara islam.
Tetapi kemudian lambat laun kedudukan khalifah mulai melemah. Pada waktu itu
khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan
formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana
pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima yang
berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah.
Asal Mula
Tumbuhnya Negara
Sebagaimana
Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia
itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi memasukkan unsur agama dalam
teorinya. Menurut Mawardi adalah Allah yang menciptakan kita supaya tidak
sanggup memenuhi kebutuhan kita orang-seorang. Mawardi juga berpendapat bahwa
perbedaan bakat, pembawaan dan kemampuan antara manusialah yang merupakan
pendorong bagi mereka untuk saling membantu. Kelemahan manusia, yang tidak
memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri, semua itu
mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan mendirikan negara.
Dengan perkataan lain sebab lahirnya negara adalah hajat umat manusia untuk
mencukupi kebutuhan mereka bersama. Menurut Mawardi, dari segi politik negara
itu memerlukan enam sendi utama :
(1) Agama yang dihayati
(2) Penguasa yang berwibawa
(3) Keadilan yang menyeluruh
(4) Keamanan yang merata
(5) Kesuburan tanah yang berkesinambungan
(6) Harapan kelangsungan hidup
Sistem
Pemerintahan
Situasi politik
pada zamannya Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan
kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi,
misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa khalifah
harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh atau
pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan harus berbangsa Arab,
dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta
jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Imamah
(Kepemimpinan)
Yang dimaksud
Mawardi dengan imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara.
Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti
(khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik.
Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain
pihak pemimpin politik.
Cara Pemilihan
atau Seleksi Imam
Menurut Mawardi,
untuk pemilihan atau seleksi diperlukan dua hal. Pertama, Ahl al-Ikhtiar
atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat.Pertama, Ahl al-Ikhtiar
atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi
tiga syarat : (1) Memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan; (3)
Memiliki wawasan yang luas dan kearifan. Kedua, Ahl al-Imamah, atau
mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat :
(1) Sikap adil dengan segala persyaratannya; (2) Ilmu pengetahuan yang memadai
untuk ijtihad; (3) Sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) Utuh
anggota-anggota tubuhnya; (5) Wawasan yang memadai; (6) Keberanian yang
memadai; dan (7) Keturunan Quraisy.
Kemudian terdapat
dua cara pengangkatan imam. Pertama, dengan cara pemilihan oleh Ahl
al-‘Aqdi wa al-Halli. Kedua, penunjukan atau wasiat oleh imam
sebelumnya. Terdapat perbedaan pendapat antara para ulam tentang jumlah peserta
dalam pemilihan yaitu :
(1) Sekelompok ulama berpendirian bahwa
pemilihan hanya sah kalau dilakukan oleh “Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli”..
(2) Kelompok ulama kedua berpendirian bahwa
pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan oleh lima orang, dan seorang
diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat orang yang lain.
(3) Kelompok ulama ketiga (ulama kufah)
berpendirian bahwa pemilihan itu sah kalau dilakukan oleh tiga orang, apabila
seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan orang lain.
(4) Kelompok ulama keempat berpendirian bahwa
pemilihan imam sah dilakukan oleh seorang.
Kehati-hatian
Mawardi
Dari uraian
tentang banyaknya cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun
penunjukan Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan
preferensi atau pilihannya. Sikap hati-hati Mawardi itu dapat juga diartikan bahwa
baik dari sumber-sumber awal islam maupun fakta-fakta sejarah dia memang tidak
menemukan suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara.
Pembebasan
Imam dari Jabatannya
Dari enam pemikir
politik islam yang ditampilkan untuk mewakili Zaman Klasik dan Pertengahan
kiranya hanya Mawardi yang dengan jelas mengemukakan sebagai khalifah atau
kepala negara kalau ternyata sudah menyimpang dari keadilan, kehilangan panca
indera atau organ-organ tubuh yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak
karena telah dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan.
Macam Wazir
Menurut Mawardi
terdapat dua macam wazir : wazir tafwidh dan wazir tanfidz. Wazir tafwidh
adalah pembantu utama kepala negara dengan kewenangan atau kuasa. Persyaratan
untuk jabatan wazir tafwidh sama dengan persyaratan untuk jabatan imam
dikurangi syarat keturunan Quraisy, dan cukup berkebangsaan arab saja, ditambah
kemampuan untuk mewakili imam dalam mengelola urusan-urusan perang dan
perpajakan. Perbedaan antara imam atau kepala negara dan wazir tafwidh adalah :
(1) Wazir harus selalu melaporkan kepada imam
tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambilnya dan pelaksanaannya
(2) Imam berhak meneliti kebijaksanaan dan
pekerjaan wazir
Dalam pada itu
terdapat tiga hal yang berhak dilakukan oleh imam, dan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh wazir tafwidh : (1) Hanya imam yang berhak menunjuk putra
mahkota atau calon pengganti; (2) Hanya imam yang berhak meminta kepada
rakyatnya untuk dibebaskan dari imamah; (3) Imam berhak memecat pejabat yang
diangkat oleh wazir tafwidh.
Teori
Kontrak Sosial
Suatu hal yang
sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah hubungan antara Ahl
al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiar dan imam atau kepala negara itu
merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas
dasar sukarela. Terdapat empat pemikir politik barat yang mengemukakan teori
kontrak sosial. Yang pertama adalah Hubert Languet, Ilmuwan perancis, yang
hidup antara tahun 1519 dan tahun 1581 M; yang kedua Thomas Hobbes, Ilmuwan
Inggris yang hidup antara tahun 1588 dan tahun 1679 M; yang ketiga John Locke,
juga Ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1632 dan tahun 1704 M; dan yang
keempat adalah Jean Jaques Rousseu, ilmuwan Perancis yang hidup antara tahun
1712 dan tahun 1778 M.1
1. H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata
Negara edisi kelima (Jakarta : penerbit Universitas Indonesia, (UI-Press) 1993)
Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali
atau Imam Ghazali, seorang teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orijinal,
ahli tasawuf terkenal dan yang mendapat julukan Hujjah al-Islam. Karya tulisnya
yang terbesar Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) yang
terdiri dari enam jilid. Ghazali dilahirkan di kota Thus, yang termasuk wilayah
Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat juga di Thus pada tahun 505 H
atau 1111 M.
Pada zaman
Ghazali kekuasaan khalifah hampir semata-mata terbatas pada bidang spiritual,
sedang kekuasaan politik yang sebenarnya berada pada penguasa-penguasa lokal
apakah mereka itu bergelar sultan, raja atau amir. Pada waktu yang sama
berkembang berbagai mazhab atau aliran, baik dalam bidang akidah seperti
Asy’ariyah dan Mu’tazilah serta Syi’ah, maupun dalam bidang hukum seperti
Maliki, Hanafi, Syar’i, Hambali dan sebagainya. Pada zaman Ghazali di Afrika
Utara sebelah barat telah berdiri dua kerajaan : Murabithin yang dibangun oleh
Abdullah bin Yasin dan Yusuf bin Tasyfin, dan yang wilayahnya meliputi
Aljazair, Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia; dan Muwahidin yang dibangun
oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Maghrib
Arab, Afrika Barat dan Andalusia.
Asal Mula
Timbulnya Negara
Tentang asal
timbulnya negara, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan politik sebelumnya, Ghazali juga
berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian,
yang disebabkan oleh dua faktor : pertama, kebutuhan akan keturunan demi
kelangsungan hidup umat manusia; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan
bahan makanan, pakaian dan pendidikan anak.
Kebutuhan Akan
Sejumlah Industri atau Profesi
Menurut Ghazali,
untuk pengadaan kebutuhan hidup manusia tersebut diperlukan pembagian tugas
(division of labour) antara para anggota masyarakat, dan sejumlah industri atau
profesi inti bagi tegaknya negara : pertanian untuk pengadaan makanan;
pemintalan untuk pengadaan pakaian; pembangunan untuk pengadaan tempat
tinggal; dan politik untuk penyusunan dan pengelolaan negara. Profesi politik,
menurut Ghazali, meliputi empat subprofesi :
(a) Subprofesi pengukuran tanah
(b) Subprofesi ketentaraan
(c) Subprofesi kehakiman
(d) Subprofesi ilmu hukum
Teori tentang
Pimpinan Negara
Menurut Ghazali,
tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan material dan duniawi. Bagi Ghazali dunia adalah ladang untuk
menentukan perbekalan bagi kehidupan di akhirat nanti. Menurut Ghazali
kewajiban mengangkat seorang kepala negara atau pemimpin negara tidak berdasarkan
rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Oleh karenanya Ghazali meminjam
suatu ungkapan bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu
fondasi sedangkan sultan adalah penjaganya.
Sumber
Kekuasaan dan Kewenangan Kepala Negara
Menurut Ghazali,
Allah telah memilih dari antara cucu-cucu Adam dua kelompok pilihan : pertama,
para nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang
benar dan yang akan membawa kebahagiaan dunia serta akhirat; dan kedua, para
raja dengan tugas menjaga agar hamba-hamba Tuhan tidak saling bermusuhan dan
saling melanggar hak yang lain. Menurut Ghazali terdapat sepuluh syarat yang
harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala negara,
sultan atau raja : (1) dewasa atau aqil baligh; (2) otak yang sehat; (3)
merdeka dan bukan budak; (4) laki-laki; (5) keturunan Quraisy; (6) pendengaran
dan penglihatan yang sehat; (7) kekuasaan yang nyata; (8) hidayah; (9) ilmu
pengetahuan; (10) wara’ (tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela).2
2. Ibid Halaman, 70-78
Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu
Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin
Mohammad bin Taimiyah. Dialahir di Haran dekat Damaskus, Suria, pada tahun 661
H atau 1263 M. Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia islam mengalami puncak
disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral.
Pemikiran
Politik yang Bersendikan Agama
Karya tulis Ibnu
Taimiyah dalam bidang politik adalah buku yang berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyah
fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik yang Berdasarkan Syari’ah bagi Perbaikan
Penggembala dan Gembala). Buku Al-Siyasah al-Syar’iyah terdiri dari dua bagian
utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak,
khususnya tentang penunjukan dan pengangkatan para pejabat negara. Bagian kedua
membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana hak Tuhan & hak sesama
manusia.
Penyampaian
Amanat Kepada yang Berhak
Suatu hal yang
cukup menarik perhatian bahwa dalam bukunya itu Ibnu Taimiyah sedikit sekali
berbicara tentang kepala negara, dan sama sekali tidak menyinggung tentang cara
dan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dalam hal pemerintahan bagi Ibnu
Taimiyah, perkataan amanat dalam surat Al-Nisaa itu mempunyai dua arti :
Pertama, yang diartikan amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang
merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, perkataan
amanat pada ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh
kepala negara.
Pelaksanaan
Hukum
Tampaknya yang
dimaksudkan pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyah itu terutama pelaksanaan hukum
pidana, yang terdiri dari dua macam. Yang pertama hukum pidana yang merupakan
hak Allah, dan yang kedua hukum pidana yang merupakan hak manusia. Hukum yang
merupakan hak Allah adalah hukuman bagi penyamun, pencuri, pelaku zina, dan
sebagainya. Sedangkan hukum pidana yang merupakan hak manusia, seperti
pembunuhan dan penganiayaan.
Musyawarah dan
Pemerintahan
Ibnu Taimiyah
mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya peranan musyawarah dan
tentang perlunya ada pemerintahan. Menurutnya, sebagaimana yang diperintahkan
Allah dalam Al-Quran : 159 surat Ali-Imran, seorang kepala negara tidak boleh
meninggalkan musyawarah. Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala
negara itu diperlukan tidak hanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak
milik rakyat, tetapi juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum
Allah.3
3.Ibid Halaman, 79-8
Sayid Jamal
Al-Din Al-Afghani
Afghani dilahirkan
dalam tahun 1838. Dia dilahirkan di As’adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul,
Afghanistan, dari satu keluarga penganut Mazhab Hanafi dan keturunan Husein bin
Ali bin Abi Thalib. Tetapi ada yang mengatakan bahwa dia lahir di
As’adabad dekat Hamadan, Persia; dengan maksud untuk menyelamatkan diri dari
kesewenangan penguasa Persia dia mengaku sebagai rakyat Afghanistan. Di Kabul
dia mempelajari segala cabang ilmu keislaman, di samping filsafat dan ilmu
eksakta. Kemudian dia pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun
sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. Sekembalinya di Afghanistan dia
memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhammad Khan, Afghani diangkat sebagai
menteri. Dan kiranya waktu itulah awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan
internasional anti kolonialisme / imperialisme Barat dan despotisme Timur.
Pada tahun 1871
dia tiba di Istambul. Di Istambul dia diangkat menjadi anggota Majelis
Pendidikan, dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia serta masjid Ahmadiyah.
Popularitas Afghani mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan
mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah
mahasiswa dan cendekiawan di Dar al-Funun tentang nilai seni, yang
menurut Hasan Fahmi merupakan pandangan yang revolusioner dan berbahaya. Selain
itu Hasan Fahmi juga menuduh Afghani dalam ceramahnya dia mengatakan bahwa
nubuwah (kenabian) termasuk kategori seni. Pada tahun 1883 Afghani menerbitkan
majalah berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wustqa bersama Muhammad Abduh.
Pada tahun 1886, atas undngan Syah Nasirudin dia pergi ke Teheran, dan di
percaya menduduki satu jabatan penting dalam pemerintahan. Kehadiran
Afghani di London kali terakhir tidak lama. Di London dia menerima undangan
tertulis dari Sultan Abdul Hamid untuk datang dan tinggal menetap di Istambul
sebagai tamu sultan. Dia wafat di Istambul pada bulan Maret tahun 1897, karena
kanker yang berawal dari dagunya.4
4. Ibid Halaman,117-120
Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan
dari keluarga petani pada tahun 1849 di Mesir Hilir. Setelah belajar membaca
dan menghafal Al-Quran di kampungnya, pada tahun 1826 dia di masukkan ke
sekolah agama di Thantha, tetapi tampaknya kurang menarik. Karena itu ia keluar
dari sekolah dan baru mau kembali belajar atas bujukan adik kakeknya. Pada
tahun 1865 dia kembali ke Thantha, tetapi tahun berikutnya dia meninggalkan
Thantha dan belajar di Al-Azhar, Kairo. Dalam tahun 1872, pada usia 23 tahun
Abduh berkenalan dengan Afghani. Kemudian Abduh menjadi pengikut Afghani yang
setia. Pengaruh Afghanilah yang mendorong Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik,
yang terus dipraktekannya. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian
pemerintahan di Mesir, Abduh diangkat untuk memimpin majalah resmi Al-Waqa’i
al-Misriyah, yang dibawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal.
Dari Mesir semula dia pergi ke Beirut, Libanon, kemudian pada tahun 1884
menggabungkan diri dengan Afghani di paris. Bersama Afghani dia membentuk
organisasi Al-Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan majalah yang senama dengan
organisasi itu. Buku tulis Afghani berisi sanggahan terhadap paham atheisme,
dari bahasa persia ke bahasa arab.
Pada
tahun 1889 Abduh diangkat menjadi hakim pada Pengadilan untuk Pribumi, dan dua
tahun kemudian diangkat sebagai penasihat pada Mahkamah Banding. Pada tahun1899
Abduh diangkat sebagai mufti negara, dan jabatan ini didudukinya sampai dia
wafat pada tahun 1905.5
5. Ibid, halaman ,120-121
Muhammad
Rasyid Ridha
Ridha dilahirkan
dalam tahun 1865 di kota Tripoli yang terletak disebelah utara Beirut, Libanon,
dan yang sebelum Perang Dunia I masuk wilayah Suria. Ia keturunan Husein bin
Ali bin Abu Thalib. Memang sejak membaca tajuk-tajuk karangan dalam Al-Urwah
al-Wutsqa telah terjadi perubahan dalam orientasi keagamaan Ridha.
Ridha bertemu
pertama kali dengan Abduh pada akhir tahun 1882 disebut terakhir di Beirut.
Pembacaan Al-Urwah al-Wutsqa dan pergaulannya dengan Abduh selama tinggal di
Beirut telah mendorong Ridha untuk meyakini kebenaran gerakan Salafiyah yang
dipelopori oleh Afghani an Abduh. Pada tahun yang sama Ridha berhasil
meyakinkan Abduh tentang amat perlunya diterbitkan satu majalah Al-Manar di
bawah asuhan Abduh-Ridha. Sepeninggal Abduh, Ridha meneruskan penerbitan
majalah Al-Manar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar.
Muhammad Rasyid Ridha wafat pada tahun1935.
Salafiyah adalah
satu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kajayaannya, umat islam harus kembali kepada ajaran islam yang masih murni
seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama islam disebut salaf Afghani
terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
1. Keyakinan
bahwa kebangunan dan kejayaan kembali islam hanya terwujud kalau umat islam
kembali kepada ajaran islam yang masih murni.
2. Perlawanan terhadap kolonialisme dan
dominasi barat, baik politik, ekonomi maupin kebudayaan.
3. Pengakuan terhadap keunggulan barat
dalam bidang ilmu dan teknologi.
Jami’ah
Islamiyah. Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran islam, serta
pengembalian keutuhan umat islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan
politik yang mempersatukan seluruh umat islam yang dalam bahasa arab disebut
Jami’ah Islamiyah. Gerakan itu dalam istilah asing disebut Pan-Islamisme.
Ikatan tersebut, bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat islam
dalam perjuangan :
1. Menentang tiap sistem pemerintahan (di negeri
sendiri) yang despotik atau sewenang-wenang.
2. Menentang kolonialisme dan dominasi
barat.
Reformasi dan
pembaharuan politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa reformasi atau
pembaharuan dalam bidang politik adalah pelaksanaan ajaran islam tentang
musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat).
Menurut Afghani, cara yang terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan
tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat.
Sedangkan menurut Abduh melalui evolusi dan usaha-usaha bertahap.
Kekuasaan
keagamaan. Menurut Abduh islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dengan
arti : (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok
orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat dari
agama atau Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa
dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang
untuk memaksakan pengertian, pendapat dan penafsirannya tentang agama atas
orang lain.
Lembaga Khalifah.
Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, Ridha adalah pendukung dinasti
Utsmaniyah yang setia dan mempergunakan majalah yang dipimpinnya, Al-Manar,
untuk melawan kritik dan kecaman. Dalam rangka melestarikan lembaga khalifah,
dia menulis serangkaian artikel di majalah Al-Manar yang dihimpun menjadi satu
buku yang diberi judul : Al-Khilafahau al-Imamah al-Uzhma (Kekhalifahan atau
Kepemimpinan Agung). Kumpulan artikel dibagi dalam dua bagian. Dalam bagian
pertama Ridha hanya “mengutip” kembali apa yang telah ditulis oleh banyak
pemikir politik islam sampai pada zaman pertengahan. Dalam bagian kedua, Ridha
mengetengahkan gagasannya untuk menghidupkan kembali lembaga kekhalifahan yang
pada garis besarnya adalah :
(a) Tempat kedudukan khalifah baru
(b) Cara mempersiapkan calon-calon khalifah
(c) Muktamar Akbar Islam6
6. Ibid halaman ,121-136
Al-Ikhwan
Al-Muslimin
Al-Ikhwan
al-Muslimin, secara harfiah ke dalam bahasa indonesia berarti Saudara-saudara
Sesama Muslim, adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismailiyah,
sebelah timur laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang
karismatik, Syeikh Hasan al-Banna.
Hasan al-Banna,
yang hidup antara tahun 1906 dan 1949 M lahir di Mahmudiyah, kota kecil yang
terletak di sebelah timur laut Kairo. Dari tiga serangkai tokoh Salafiyah,
Afghani-Abduh-Ridha, yang terakhir itulah yang paling besar pengaruhnya pada
Al-Banna muda, terutama keyakinan Ridha bahwa islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan segala sistem yang dibutuhkan bagi kehidupan umat
islam.
Sayyid Quthb,
yang dilahirkan pada tahun 1906 dan wafat pada tahun 1966 memulai kariernya
sebagai guru sekolah, sama seperti hasan al-Banna. Kemudian dia diangkat
menjadi penilik pada Kementerian Pendidikan. Dengan latar-belakang dua tokoh
utama Al-Ikhwan al-Muslimin maka dapat dimengerti bahwa terdapat banyak
kemiripan atau bahkan persamaan pandangan serta paham keagamaan serta politik
antara Rasyid Ridha, Al-Banna, Sayyid Quthb pada khususnya, Al-Ikhwan al-
Berikut ini akan diutarakan pokok-pokok pikiran Al-Ikhwan al-Muslimin tentang
“sistem politik” islam yang dapat disimpulkan dari dua buku karya dua tokoh
organisasi tersebut : (1) Al-Adalah al Ijtima’iyah fi al-Islam (Keadilan Sosial
dalam Islam) oleh Sayyid Quthb, dan (2) Al-Ikhwan al-Muslimin : Du’at la Qudhat
(Al-Ikhwan al-Muslim, Mengajak Bukan Menghakimi) oleh Dr.Hasan Ismail
al-Hudhaibi. Dalam buku Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam tersebut Sayyid
Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran seperti berikut :
1.
Pemerintahan Supra Nasional
2.
Persamaan Hak Antara Para
Pemeluk Berbagai Agama
3.
Tiga
Asas Politik Pemerintahan Islam.7
7. Ibid Halaman ,145-150
Maududi
Nama lengkap
pemikir besar islam kontemporer dari anak benua India itu adalah Abu al-A’la
al-Maududi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India
Tengah, dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit di
New York, Amerika Serikat. Dia merupakan salah seorang propagandis terkemuka
dari gerakan Khilafah, dan kemudian dipercaya memimpin penerbitan organ panitia
pusat gerakan itu, bernama Al-Jam’iyah dari tahun 1924 sampai dengan tahun
1928. Dia mulai menulis sejumlah artikel yang pada tahun 1927 diterbitkan dalam
satu buku dengan judul Perang dalam Islam.
Pada tahun 1941
Maududi, bersama-sama dengan tujuh puluh lima pengikutnya, mendirikan satu
organisasi yang diberi nama Jamiah Islamiyah. Sebagaimana Al-Ikhwan al-Muslimin
organisasi itu pada permulaannya lebih merupakan gerakan ideologi dari pada
gerakan politik.
Pokok-pokok
Pikiran Maududi tentang Kenegaraan
Dari sekian
banyak karya tulis Maududi, selain buku pertamanya yang berjudul Perang dalam
Islam, juga terdapat enam risalah adalah :
1.
Teori politik islam
2.
Metode revolusi islam
3.
Hukum islam dan cara
pelaksanaannya
4.
Kodifikasi konstitusi islam
5.
Hak-hak golongan dzimmi dalam
negara islam
6.
Prinsip-prinsip dasar bagi
negara islam
Terdapat tiga
dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang
kenegaraan menurut islam :
1. Islam adalah suatu agama yang
paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia,
ternasuk kehidupan politik.
2. Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah
pada Allah, dam umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah sebagai
khalifah Allah di bumi.
3. Sistem politik islam adalah suatu
sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografis,
bahasa dan kebangsaan.8
8. Ibid, halaman ,157-166
KESIMPULAN
Pemikiran politik
islam zaman klasik dan pertengahan pada dasarnya menerima dan tidak
mempertentangkan lagi keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka temukan
pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sultan atau raja
memerintah atas dasar turun-temurun, supra nasional, dan dengan kekuasaan yang
mutlak atau hampir mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah bayangan Allah
di bumi. Para pemikir itu tidak cukup besar perhatiannya terhadap cara
bagaimana khalifah, sultan atau raja itu naik tahta, dengan pengangkatan,
penunjukkan atau pemilihan, dan kalau melalui pemilihan bagaimana cara
memilihnya dan oleh siapa.
Sebagian besar
dari mereka beranggapan bahwa kekuasaan khalifah, sultan atau raja itu mandat
dari Tuhan, dan oleh karenanya bagi mereka taat kepada kepala negara nerupakan
kewajuban agama. Hanya Mawardilah yang mengemukakan teori kontrak sosial dan
hanya dia pula yang dengan jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu kepala
negara dapat diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian tentang cara
penurunan itu.
DAFTAR PUSTAKA
H.Munawir
Sjadzali, M.A.1993.Islam dan Tata Negara.Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).