FIQIH SIYASAH

KELOMPOK : 4


MAKALAH

FIQIH SIYASAH





Dosen Pembimbing : Marhamah Saleh.Lc.MA


Disusun Oleh : 1. Dora Sahertian
                      2. Heni Nuraini
                       3. Syafiq Agung








FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA









KATA PENGANTAR


Assalammu’alaikum. Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT.karena hanya atas izin-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih siyasah. Kami juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah yang telah membimbing kami, kepada teman-teman serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini. Tak ada sesuatu hal pun yang sempurna di dunia in kecuali Allah SWT, Maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah yang telah kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin....










                                                                                                                  Wassalam

                                                                                                                    Penyusun









DAFTAR ISI


Kata Pengantar...........................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................ii
 Pendahuluan...............................................................................................1
Mawardi....................................................................................................2
Ghazali.......................................................................................................6
Ibnu Taimiyah.............................................................................................8
Jamal Al-Din Al-Afghani............................................................................10
M.Abduh..................................................................................................11
Rasyid Ridha.............................................................................................12
Al-Ikhwan Al-Muslimin.............................................................................15
Maududi...................................................................................................16

Kesimpulan...............................................................................................18
Daftar Pustaka............................................................................................19


PENDAHULUAN

Di kalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
 Aliran kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.
 Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat sistem ketatanegaraan. Dengan makalah ini pembaca diajak untuk melakukan kajian ulang tentang hubungan antara islam dan tata negara atau politik.
           
                                                                                              
Pemikiran Politik Islam Pada Zaman Klasik, Pertengahan dan Kontemporer
 Mawardi
 Nama lengkap ilmuwan islam ini adalah Abu Hasan Ali Bin Habib al-Mawardi al-Bashri, yang hidup antara tahun 364 H atau 975 M dan 450 H atau 1059 M. Dia seorang pemikir islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhya dalam pemerintahan Abbasyiah. Setelah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain sebagai hakim, akhirnya dia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat kedudukan yang terhormat pada pemerintahan Khalifah Qadir.
Situasi politik di dunia islam pada masa Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada masa Farabi, dan bahkan lebih parah. Semula Baghdad merupakan pusat peradaban islam dan poros negara islam. Tetapi kemudian lambat laun kedudukan khalifah mulai melemah. Pada waktu itu khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah.

Asal Mula Tumbuhnya Negara
Sebagaimana Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’, Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tetapi Mawardi memasukkan unsur agama dalam teorinya. Menurut Mawardi adalah Allah yang menciptakan kita supaya tidak sanggup memenuhi kebutuhan kita orang-seorang. Mawardi juga berpendapat bahwa perbedaan bakat, pembawaan dan kemampuan antara manusialah yang merupakan pendorong bagi mereka untuk saling membantu. Kelemahan manusia, yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri,  semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan mendirikan negara. Dengan perkataan lain sebab lahirnya negara adalah hajat umat manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama. Menurut Mawardi, dari segi politik negara itu memerlukan enam sendi utama :
(1)   Agama yang dihayati
(2)   Penguasa yang berwibawa
(3)   Keadilan yang menyeluruh
(4)   Keamanan yang merata
(5)   Kesuburan tanah yang berkesinambungan
(6)   Harapan kelangsungan hidup

Sistem Pemerintahan
Situasi politik pada zamannya Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy, bahwa wazir tafwidh atau pembantu utama khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan harus berbangsa Arab, dan perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.

Imamah (Kepemimpinan)
Yang dimaksud Mawardi dengan imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik.

Cara Pemilihan atau Seleksi Imam
Menurut Mawardi, untuk pemilihan atau seleksi diperlukan dua hal. Pertama, Ahl al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat.Pertama, Ahl al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat : (1) Memiliki sikap adil; (2) Memiliki ilmu pengetahuan; (3) Memiliki wawasan yang luas dan kearifan. Kedua, Ahl al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat : (1) Sikap adil dengan segala persyaratannya; (2) Ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; (3) Sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) Utuh anggota-anggota tubuhnya; (5) Wawasan yang memadai; (6) Keberanian yang memadai; dan (7) Keturunan Quraisy.

Kemudian terdapat dua cara pengangkatan imam. Pertama, dengan cara pemilihan oleh Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli. Kedua, penunjukan atau wasiat oleh imam sebelumnya. Terdapat perbedaan pendapat antara para ulam tentang jumlah peserta dalam pemilihan yaitu :
(1)   Sekelompok ulama berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau dilakukan oleh “Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli”..
(2)   Kelompok ulama kedua berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan oleh lima orang, dan seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat orang yang lain.
(3)   Kelompok ulama ketiga (ulama kufah) berpendirian bahwa pemilihan itu sah kalau dilakukan oleh tiga orang, apabila seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan orang lain.
(4)   Kelompok ulama keempat berpendirian bahwa pemilihan imam sah dilakukan oleh seorang.

Kehati-hatian Mawardi
Dari uraian tentang banyaknya cara pengangkatan imam, baik yang melalui pemilihan maupun penunjukan Mawardi hanya mengemukakan berbagai pendapat tanpa memberikan preferensi atau pilihannya. Sikap hati-hati Mawardi itu dapat juga diartikan bahwa baik dari sumber-sumber awal islam maupun fakta-fakta sejarah dia memang tidak menemukan suatu sistem yang baku tentang pengangkatan kepala negara.
Pembebasan Imam dari Jabatannya
Dari enam pemikir politik islam yang ditampilkan untuk mewakili Zaman Klasik dan Pertengahan kiranya hanya Mawardi yang dengan jelas mengemukakan sebagai khalifah atau kepala negara kalau ternyata sudah menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh orang-orang dekatnya atau tertawan.
Macam Wazir
Menurut Mawardi terdapat dua macam wazir : wazir tafwidh dan wazir tanfidz. Wazir tafwidh adalah pembantu utama kepala negara dengan kewenangan atau kuasa. Persyaratan untuk jabatan wazir tafwidh sama dengan persyaratan untuk jabatan imam dikurangi syarat keturunan Quraisy, dan cukup berkebangsaan arab saja, ditambah kemampuan untuk mewakili imam dalam mengelola urusan-urusan perang dan perpajakan. Perbedaan antara imam atau kepala negara dan wazir tafwidh adalah :
(1)    Wazir harus selalu melaporkan kepada imam tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambilnya dan pelaksanaannya
(2)    Imam berhak meneliti kebijaksanaan dan pekerjaan wazir
Dalam pada itu terdapat tiga hal yang berhak dilakukan oleh imam, dan yang tidak dapat dilaksanakan oleh wazir tafwidh : (1) Hanya imam yang berhak menunjuk putra mahkota atau calon pengganti; (2) Hanya imam yang berhak meminta kepada rakyatnya untuk dibebaskan dari imamah; (3) Imam berhak memecat pejabat yang diangkat oleh wazir tafwidh.
 Teori Kontrak Sosial
Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiar dan imam atau kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Terdapat empat pemikir politik barat yang mengemukakan teori kontrak sosial. Yang pertama adalah Hubert Languet, Ilmuwan perancis, yang hidup antara tahun 1519 dan tahun 1581 M; yang kedua Thomas Hobbes, Ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1588 dan tahun 1679 M; yang ketiga John Locke, juga Ilmuwan Inggris yang hidup antara tahun 1632 dan tahun 1704 M; dan yang keempat adalah Jean Jaques Rousseu, ilmuwan Perancis yang hidup antara tahun 1712 dan tahun 1778 M.1
1. H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara edisi kelima (Jakarta : penerbit Universitas Indonesia, (UI-Press) 1993)
 
 Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali atau Imam Ghazali, seorang teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orijinal, ahli tasawuf terkenal dan yang mendapat julukan Hujjah al-Islam. Karya tulisnya yang terbesar Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) yang terdiri dari enam jilid. Ghazali dilahirkan di kota Thus, yang termasuk wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat juga di Thus pada tahun 505 H atau 1111 M.
 Pada zaman Ghazali kekuasaan khalifah hampir semata-mata terbatas pada bidang spiritual, sedang kekuasaan politik yang sebenarnya berada pada penguasa-penguasa lokal apakah mereka itu bergelar sultan, raja atau amir. Pada waktu yang sama berkembang berbagai mazhab atau aliran, baik dalam bidang akidah seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah serta Syi’ah, maupun dalam bidang hukum seperti Maliki, Hanafi, Syar’i, Hambali dan sebagainya. Pada zaman Ghazali di Afrika Utara sebelah barat telah berdiri dua kerajaan : Murabithin yang dibangun oleh Abdullah bin Yasin dan Yusuf bin Tasyfin, dan yang wilayahnya meliputi Aljazair, Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia; dan Muwahidin yang dibangun oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Maghrib Arab, Afrika Barat dan Andalusia.
Asal Mula Timbulnya Negara
Tentang asal timbulnya negara, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan politik sebelumnya, Ghazali juga berpendapat bahwa manusia itu makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian, yang disebabkan oleh dua faktor : pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia; dan kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian dan pendidikan anak.
Kebutuhan Akan Sejumlah Industri atau Profesi
Menurut Ghazali, untuk pengadaan kebutuhan hidup manusia tersebut diperlukan pembagian tugas (division of labour) antara para anggota masyarakat, dan sejumlah industri atau profesi inti bagi tegaknya negara : pertanian untuk pengadaan makanan; pemintalan untuk pengadaan pakaian;  pembangunan untuk pengadaan tempat tinggal; dan politik untuk penyusunan dan pengelolaan negara. Profesi politik, menurut Ghazali, meliputi empat subprofesi :
(a)    Subprofesi pengukuran tanah
(b)   Subprofesi ketentaraan
(c)    Subprofesi kehakiman
(d)   Subprofesi ilmu hukum

Teori tentang Pimpinan Negara
Menurut Ghazali, tujuan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material dan duniawi. Bagi Ghazali dunia adalah ladang untuk menentukan perbekalan bagi kehidupan di akhirat nanti. Menurut Ghazali kewajiban mengangkat seorang kepala negara atau pemimpin negara tidak berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Oleh karenanya Ghazali meminjam suatu ungkapan bahwa agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan sultan adalah penjaganya.
Sumber Kekuasaan dan Kewenangan Kepala Negara
Menurut Ghazali, Allah telah memilih dari antara cucu-cucu Adam dua kelompok pilihan : pertama, para nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar dan yang akan membawa kebahagiaan dunia serta akhirat; dan kedua, para raja dengan tugas menjaga agar hamba-hamba Tuhan tidak saling bermusuhan dan saling melanggar hak yang lain. Menurut Ghazali terdapat sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala negara, sultan atau raja : (1) dewasa atau aqil baligh; (2) otak yang sehat; (3) merdeka dan bukan budak; (4) laki-laki; (5) keturunan Quraisy; (6) pendengaran dan penglihatan yang sehat; (7) kekuasaan yang nyata; (8) hidayah; (9) ilmu pengetahuan; (10) wara’ (tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela).2
                                                                                                                                                                                            
2. Ibid Halaman, 70-78





Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Dialahir di Haran dekat Damaskus, Suria, pada tahun 661 H atau 1263 M. Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral.
Pemikiran Politik yang Bersendikan Agama
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik adalah buku yang berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyah fi islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik yang Berdasarkan Syari’ah bagi Perbai­kan Penggembala dan Gembala). Buku Al-Siyasah al-Syar’iyah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya tentang penunjukan dan pengangkatan para pejabat negara. Bagian kedua membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana hak Tuhan & hak sesama manusia.
Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak
Suatu hal yang cukup menarik perhatian bahwa dalam bukunya itu Ibnu Taimiyah sedikit sekali berbicara tentang kepala negara, dan sama sekali tidak menyinggung tentang cara dan mekanisme pengangkatan kepala negara. Dalam hal pemerintahan bagi Ibnu Taimiyah, perkataan amanat dalam surat Al-Nisaa itu mempunyai dua arti : Pertama, yang diartikan amanat adalah kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan tanggung jawab kepala negara untuk mengelolanya. Kedua, perkataan amanat pada ayat tersebut berarti pula kewenangan memerintah yang dimiliki oleh kepala negara.
Pelaksanaan Hukum
Tampaknya yang dimaksudkan pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyah itu terutama pelaksanaan hukum pidana, yang terdiri dari dua macam. Yang pertama hukum pidana yang merupakan hak Allah, dan yang kedua hukum pidana yang merupakan hak manusia. Hukum yang merupakan hak Allah adalah hukuman bagi penyamun, pencuri, pelaku zina, dan sebagainya. Sedangkan hukum pidana yang merupakan hak manusia, seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Musyawarah dan Pemerintahan
Ibnu Taimiyah mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya peranan musyawarah dan tentang perlunya ada pemerintahan. Menurutnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran : 159 surat Ali-Imran, seorang kepala negara tidak boleh meninggalkan musyawarah. Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak hanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat, tetapi juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum Allah.3
3.Ibid Halaman, 79-8
Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani
Afghani dilahirkan dalam tahun 1838. Dia dilahirkan di As’adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afghanistan, dari satu keluarga penganut Mazhab Hanafi dan keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Tetapi ada  yang mengatakan bahwa dia lahir di As’adabad dekat Hamadan, Persia; dengan maksud untuk menyelamatkan diri dari kesewenangan penguasa Persia dia mengaku sebagai rakyat Afghanistan. Di Kabul dia mempelajari segala cabang ilmu keislaman, di samping filsafat dan ilmu eksakta. Kemudian dia pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. Sekembalinya di Afghanistan dia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhammad Khan, Afghani diangkat sebagai menteri. Dan kiranya waktu itulah awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan internasional anti kolonialisme / imperialisme Barat dan despotisme Timur.
Pada tahun 1871 dia tiba di Istambul. Di Istambul dia diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan, dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia serta masjid Ahmadiyah. Popularitas Afghani mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa dan cendekiawan di Dar al-Funun tentang nilai seni, yang menurut Hasan Fahmi merupakan pandangan yang revolusioner dan berbahaya. Selain itu Hasan Fahmi juga menuduh Afghani dalam ceramahnya dia mengatakan bahwa nubuwah (kenabian) termasuk kategori seni. Pada tahun 1883 Afghani menerbitkan majalah berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wustqa bersama Muhammad Abduh. Pada tahun 1886, atas undngan Syah Nasirudin dia pergi ke Teheran, dan di percaya menduduki satu jabatan penting dalam pemerintahan. Kehadiran Afghani di London kali terakhir tidak lama. Di London dia menerima undangan tertulis dari Sultan Abdul Hamid untuk datang dan tinggal menetap di Istambul sebagai tamu sultan. Dia wafat di Istambul pada bulan Maret tahun 1897, karena kanker yang berawal dari dagunya.4
 
4. Ibid Halaman,117-120





Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan dari keluarga petani pada tahun 1849 di Mesir Hilir. Setelah belajar membaca dan menghafal Al-Quran di kampungnya, pada tahun 1826 dia di masukkan ke sekolah agama di Thantha, tetapi tampaknya kurang menarik. Karena itu ia keluar dari sekolah dan baru mau kembali belajar atas bujukan adik kakeknya. Pada tahun 1865 dia kembali ke Thantha, tetapi tahun berikutnya dia meninggalkan Thantha dan belajar di Al-Azhar, Kairo. Dalam tahun 1872, pada usia 23 tahun Abduh berkenalan dengan Afghani. Kemudian Abduh menjadi pengikut Afghani yang setia. Pengaruh Afghanilah yang mendorong Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik, yang terus dipraktekannya. Pada tahun 1880, setelah terjadi pergantian pemerintahan di Mesir, Abduh diangkat untuk memimpin majalah resmi Al-Waqa’i al-Misriyah, yang dibawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal. Dari Mesir semula dia pergi ke Beirut, Libanon, kemudian pada tahun 1884 menggabungkan diri dengan Afghani di paris. Bersama Afghani dia membentuk organisasi Al-Urwah al-Wutsqa, dan menerbitkan majalah yang senama dengan organisasi itu. Buku tulis Afghani berisi sanggahan terhadap paham atheisme, dari bahasa persia ke bahasa arab.

Pada tahun 1889 Abduh diangkat menjadi hakim pada Pengadilan untuk Pribumi, dan dua tahun kemudian diangkat sebagai penasihat pada Mahkamah Banding. Pada tahun1899 Abduh diangkat sebagai mufti negara, dan jabatan ini didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1905.5

5. Ibid, halaman ,120-121









Muhammad Rasyid Ridha
Ridha dilahirkan dalam tahun 1865 di kota Tripoli yang terletak disebelah utara Beirut, Libanon, dan yang sebelum Perang Dunia I masuk wilayah Suria. Ia keturunan Husein bin Ali bin Abu Thalib. Memang sejak membaca tajuk-tajuk karangan dalam Al-Urwah al-Wutsqa telah terjadi perubahan dalam orientasi keagamaan Ridha.

Ridha bertemu pertama kali dengan Abduh pada akhir tahun 1882 disebut terakhir di Beirut. Pembacaan Al-Urwah al-Wutsqa dan pergaulannya dengan Abduh selama tinggal di Beirut telah mendorong Ridha untuk meyakini kebenaran gerakan Salafiyah yang dipelopori oleh Afghani an Abduh. Pada tahun yang sama Ridha berhasil meyakinkan Abduh tentang amat perlunya diterbitkan satu majalah Al-Manar di bawah asuhan Abduh-Ridha. Sepeninggal Abduh, Ridha meneruskan penerbitan majalah Al-Manar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar. Muhammad Rasyid Ridha wafat pada tahun1935.

Salafiyah adalah satu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kajayaannya, umat islam harus kembali kepada ajaran islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama islam disebut salaf Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
1.                  Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali islam hanya terwujud kalau umat islam kembali kepada ajaran islam yang masih murni.
2.         Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi barat, baik politik, ekonomi maupin kebudayaan.
3.         Pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi.
Jami’ah Islamiyah. Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran islam, serta pengembalian keutuhan umat islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat islam yang dalam bahasa arab disebut Jami’ah Islamiyah. Gerakan itu dalam istilah asing disebut Pan-Islamisme. Ikatan tersebut, bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat islam dalam perjuangan :
1.                  Menentang tiap sistem pemerintahan (di negeri sendiri) yang despotik atau sewenang-wenang.
2.         Menentang kolonialisme dan dominasi barat.

Reformasi dan pembaharuan politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik adalah pelaksanaan ajaran islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat). Menurut Afghani, cara yang terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat. Sedangkan menurut Abduh melalui evolusi dan usaha-usaha bertahap.
Kekuasaan keagamaan. Menurut Abduh islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dengan arti : (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat dari agama atau Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
Lembaga Khalifah. Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, Ridha adalah pendukung dinasti Utsmaniyah yang setia dan mempergunakan majalah yang dipimpinnya, Al-Manar, untuk melawan kritik dan kecaman. Dalam rangka melestarikan lembaga khalifah, dia menulis serangkaian artikel di majalah Al-Manar yang dihimpun menjadi satu buku yang diberi judul : Al-Khilafahau al-Imamah al-Uzhma (Kekhalifahan atau Kepemimpinan Agung). Kumpulan artikel dibagi dalam dua bagian. Dalam bagian pertama Ridha hanya “mengutip” kembali apa yang telah ditulis oleh banyak pemikir politik islam sampai pada zaman pertengahan. Dalam bagian kedua, Ridha mengetengahkan gagasannya untuk menghidupkan kembali lembaga kekhalifahan yang pada garis besarnya adalah :
(a)    Tempat kedudukan khalifah baru
(b)   Cara mempersiapkan calon-calon khalifah
(c)    Muktamar Akbar Islam6

6. Ibid halaman ,121-136




 Al-Ikhwan Al-Muslimin
Al-Ikhwan al-Muslimin, secara harfiah ke dalam bahasa indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismailiyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang karismatik, Syeikh Hasan al-Banna.
Hasan al-Banna, yang hidup antara tahun 1906 dan 1949 M lahir di Mahmudiyah, kota kecil yang terletak di sebelah timur laut Kairo. Dari tiga serangkai tokoh Salafiyah, Afghani-Abduh-Ridha, yang terakhir itulah yang paling besar pengaruhnya pada Al-Banna muda, terutama keyakinan Ridha bahwa islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan segala sistem yang dibutuhkan bagi kehidupan umat islam.
Sayyid Quthb, yang dilahirkan pada tahun 1906 dan wafat pada tahun 1966 memulai kariernya sebagai guru sekolah, sama seperti hasan al-Banna. Kemudian dia diangkat menjadi penilik pada Kementerian Pendidikan. Dengan latar-belakang dua tokoh utama Al-Ikhwan al-Muslimin maka dapat dimengerti bahwa terdapat banyak kemiripan atau bahkan persamaan pandangan serta paham keagamaan serta politik antara Rasyid Ridha, Al-Banna, Sayyid Quthb pada khususnya, Al-Ikhwan al- Berikut ini akan diutarakan pokok-pokok pikiran Al-Ikhwan al-Muslimin tentang “sistem politik” islam yang dapat disimpulkan dari dua buku karya dua tokoh organisasi tersebut : (1) Al-Adalah al Ijtima’iyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) oleh Sayyid Quthb, dan (2) Al-Ikhwan al-Muslimin : Du’at la Qudhat (Al-Ikhwan al-Muslim, Mengajak Bukan Menghakimi) oleh Dr.Hasan Ismail al-Hudhaibi. Dalam buku Al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam tersebut Sayyid Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran seperti berikut :
1.      Pemerintahan Supra Nasional
2.      Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama
3.      Tiga Asas Politik Pemerintahan Islam.7

7. Ibid Halaman ,145-150



Maududi
Nama lengkap pemikir besar islam kontemporer dari anak benua India itu adalah Abu al-A’la al-Maududi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah, dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di salah satu rumah sakit di New York, Amerika Serikat. Dia merupakan salah seorang propagandis terkemuka dari gerakan Khilafah, dan kemudian dipercaya memimpin penerbitan organ panitia pusat gerakan itu, bernama Al-Jam’iyah dari tahun 1924 sampai dengan tahun 1928. Dia mulai menulis sejumlah artikel yang pada tahun 1927 diterbitkan dalam satu buku dengan judul Perang dalam Islam.
Pada tahun 1941 Maududi, bersama-sama dengan tujuh puluh lima pengikutnya, mendirikan satu organisasi yang diberi nama Jamiah Islamiyah. Sebagaimana Al-Ikhwan al-Muslimin organisasi itu pada permulaannya lebih merupakan gerakan ideologi dari pada gerakan politik.
Pokok-pokok Pikiran Maududi tentang Kenegaraan
Dari sekian banyak karya tulis Maududi, selain buku pertamanya yang berjudul Perang dalam Islam, juga terdapat enam risalah adalah :
1.      Teori politik islam
2.      Metode revolusi islam
3.      Hukum islam dan cara pelaksanaannya
4.      Kodifikasi konstitusi islam
5.      Hak-hak golongan dzimmi dalam negara islam
6.      Prinsip-prinsip dasar bagi negara islam
Terdapat tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang kenegaraan menurut islam :
1.         Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, ternasuk kehidupan politik.
2.         Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dam umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan  Allah sebagai khalifah Allah di bumi.
3.         Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografis, bahasa dan kebangsaan.8

8. Ibid, halaman ,157-166

KESIMPULAN
Pemikiran politik islam zaman klasik dan pertengahan pada dasarnya menerima dan tidak mempertentangkan lagi keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sultan atau raja memerintah atas dasar turun-temurun, supra nasional, dan dengan kekuasaan yang mutlak atau hampir mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah bayangan Allah di bumi. Para pemikir itu tidak cukup besar perhatiannya terhadap cara bagaimana khalifah, sultan atau raja itu naik tahta, dengan pengangkatan, penunjukkan atau pemilihan, dan kalau melalui pemilihan bagaimana cara memilihnya dan oleh siapa.
Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa kekuasaan khalifah, sultan atau raja itu mandat dari Tuhan, dan oleh karenanya bagi mereka taat kepada kepala negara nerupakan kewajuban agama. Hanya Mawardilah yang mengemukakan teori kontrak sosial dan hanya dia pula yang dengan jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu kepala negara dapat diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian tentang cara penurunan itu.







DAFTAR PUSTAKA


H.Munawir Sjadzali, M.A.1993.Islam dan Tata Negara.Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).